الوداع لا يقع الا لمن يعشق بعينيه اما ذاك الذي يحب بروحه وقلبه فلا شمة انفصال ابدا

“Perpisahan tidak diperuntukkan kecuali bagi mereka yang hanya mencintai mata. Tidak ada perpisahan bagi mereka yang mencintai hati dan jiwa” (Jalaluddin Rumi);

Habibie lekat dengan kepintaran dan kecerdasan. Habibie identik dengan kejeniusan dan keistimewaan pikiran. Itulah kenapa Iwan Fals dalam lagunya mengidentikkan guru Umar Bakri sebagai sebagai orang yang bisa “bikin otak orang seperti otak Habibie”.

Habibie memang pintar, cerdas juga jenius. Bahkan dalam konteks peralihan pemikiran di Indonesia, ia bisa diteropong melalui istilah “anagnorisis”. Sebuah proses perubahan dari tidak-tahu menjadi tahu. Tak pelak, Habibie bisa ditahbis sebagai sosok bahkan model far excellence yang membawa pencerahan kesadaran dari alam mitos ke rasionalitas.

Kecerdasan dan kejeiusan Habibie bukan karena ia pernah menerima gelar diplom ingenieur dari RWTH Aachen University pada 1960. Juga bukan karena ia beroleh gelar doktor ingenieur dengan predikat summa cum laude yang diraihnya dari perguruan tinggi yang sama. Dalam konteks demokrasi di Indonesia, kejeniusan Habibie nampak karena disebut sebagai sosok yang berhasil menumbuhkan dan membuka kebebasan pers.

Habibie memang sosok penting bagi Indonesia, dialah sosok yang berhasil menaikkan harkat dan martabat Indonesia di mata dunia. Segera setelah ia dilantik sebagai menristek di era Soeharto, Ia langsung membuat gebrakan dengan mencanangkan dan mengimplementasikan apa yang disebutnya sebagai “Visi Indonesia” yang bertumpu kepada riset dan teknologi.

Dengan visi itu, Habibie mengangankan Indonesia yang semula dikenal sebagai negara agraris dapat melompat langsung menjadi negara industri jika mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itulah, pada 26 April 1976, Habibie mendirikan PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio. Industri pesawat terbang yang pertama dan satu-satunya di Indonesia dan Asia Tenggara yang kemudian beralih nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN).

Di luar jasanya pada dua hal di atas, Habibie tetaplah manusia biasa nan istimewa. Tengoklah bagaimana gestur tubuhnya jika ia berbicara. Atau matanya yang lincah seumpama menegaskan setiap kalimat yang dilisankan mulutnya. Atau keunikan dan kekhasannya melafalkan kata “technolohi”.

Habibie yang manusia biasa nan istiwa juga pecinta sejati yang memiliki kesetiaan sempurna terhadap wanita yang dicintainya, Ainun. Bahkan, kisah asmaranya dengan Ainun diangkat menjadi film. Sebuah kisah menggugah yang menggambarkan keabadian asmara yang hanya bisa dipisahkan oleh mati. “Dulu saya takut sekali mati, tapi sekarang tidak, karena yang pertama kali menemui saya adalah Ainun”, begitu kata Habibie.

Habibie akhirnya memang pergi. Ia pergi tidak hanya menemui cinta sejatinya, Ainun, tapi ia juga kembali menemui kekasih abadinya yang tak pernah bisa mati, Tuhan.

Kepergian Habibie patut memantik kesedihan dan penyesalan. Tapi manusia mana yang tak mungkin mati. Manusia jenis apa yang tak bisa kehilangan nyawa. Tapi kepada mereka yang selalu kita cinta selalu ada alasan untuk setia. “Kamu itu orang yang paling keras kepala dan yang paling sulit yang pernah aku kenal. Tapi kalau aku harus mengulang hidupku kembali. Aku akan tetap memilih kamu”, begitu kata Ainun.

Requiem aeternam pa Habibie.

DrRadea Juli A. Hambali, M.Hum, dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *