Sejak ke Bandung Berniat Tinggal di Masjid
[www.uinsgd.ac.id] Asep Muhammad Budrik, wisudawan Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung ini pantas mendapatkan pujian. Asep Muhammad Budrik dilantik menjadi sarjana jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial Politik, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, lulus dengan nilai IPK sempurna 3,99.
Nilai yang tidak mudah didapatkan jika mengandalkan rutinitas kuliah dan kegiatannya yang padat. Sejak pertama kali dirinya masuk kuliah, Asep panggilan akbranya itu, telah menjadi Marbot Masjid Al Baqiatushshalihat di Jalan Kelurahan Cipadung RW 02 Cibiru Kota Bandung.
Kegiatan kesehariannya selain kuliah, dia juga harus mengurus jamaah masjid, dan menghabiskan waktu senggangnya sepulang dari kuliah, di sana. Bukan hanya menjaga dan membersihkan masjid saja, Asep juga mengajar mengaji anak-anak mulai dari tingkat SD sampai tingkat SMP.
Bahkan dia rela tidak pulang ke rumahnya di Gunung Halu Bandung Barat, jika waktu liburan dan setiap kali bulan Ramadhan, demi menjalankan amanat dan profesinya menjadi marbot. “Saya kalau Ramadhan tidak pulang karena jadwal puasa lebih padat,” ujar Asep Muhammad Budrik kepada Tribun Jabar saat ditemui di Kampus UIN Bandung Jalan A H Nasution No 105 Cibiru Kota Bandung, Selasa (18/9/2018).
Selama Ramadhan Asep menjadi koordinator tarawih, bilal muadzin, dan menjadi amil zakat bersama-sama dengan DKM Al Baqiatushshalihat. Tak ayal, jika Ramadhan, dia pun membuka les secara gratis, mengajar, dan membagi ilmu pelajaran umum Bahasa Inggris, IPA dan Matematika, untuk adik-adik atau murid-murid pengajian di lingkungannya.
Cerita Menjadi Marbot Masjid
Asep mengaku jika sejak awal dirinya niat kuliah di UIN Bandung dia telah berencana menjadi marbot masjid, dan memutuskan untuk tinggal di masjid. Bukan tanpa alasan, ternyata hal itu dia putuskan karena dia senang mengajar mengaji dan berbagi ilmu. “Memang sudah basic saya suka berbagi ilmu agama, iqro, Alquran dan sejarah Islam,” ujarnya.
Dia juga mengaku menjadi marbot masjid, tidak perlu tinggal di kosan yang harus mengeluarkan biaya setiap bulannya. Asep bisa tinggal di kamar khusus marbot masjid tanpa mengeluarkan biaya. “Lumayan juga disamping mendapatkan tempat tinggal di sana gratis, listrik, beras, air, semuanya sudah ditanggung oleh DKM,” pungkasnya.
Untuk meminimalisir biaya hidupnya selama kuliah, sekaligus berkhidmat, Asep rela menjadi marbot masjid. Asep berasal dari keluarga kalangan sederhana, kedua orangtuanya bukan berasal dari kalangan yang berpendidikan tinggi.
Ayah Asep Rustandi dan Ibu Enung Fatimah, warga Gunung Halu Kabupaten Bandung Barat. Kedua orangtua Asep berprofesi sebagai pedagang, setiap harinya hanya membuka warung berjualan kopi, gorengan, jajanan anak dan pulsa, di rumahnya. “Karena itu saya bertanya kepada mamah, kira-kira mamah bisa sanggup membiayai saya kuliah ke mana, mamah saya bilang ke UIN,” jelasnya.
Asep bercerita, karena melihat keterbatasan ekonomi, sebelum memutuskan untuk kuliah dia bertanya kepada Ibunya, menanyakan apakah kedua orangtuanya sanggup atau tidak membiayai dirinya kuliah ke Universitas yang ia inginkan, yaitu di ITB atau di Unpad.
Namun Ibunya lebih menyarankan dan sanggup membiayai Asep kuliah di UIN SGD Bandung, karena selain murah dia pun dapat sekaligus menimba ilmu akhirat. Demikian Asep mengaku telah ikhlas dan menjadikan apa yang dijalankannya saat ini merupakan takdir dan hikmah.
Asep merupakan anak pertama dan laki-laki satu-satunya dari dua bersauda perempuan. Adiknya paling besar Ludya Safitri, sekarang sekolah SMA kelas dua, dan satunya lagi Oktavia Fitriati, baru masuk SMP. Oleh karena itu dirinya mengaku termotivasi berkuliah untuk tidak hanya menikmatinya saja tapi ikut memberikan hasil dan manfaat, khususnya untuk keluarganya, dengan cara menorehkan prestasi, mandiri dan berkhidmat.
Akses Beasiswa Sulit
Rupanya sudah sejak dulu Asep memang berprestasi, sewaktu dia sekolah di SMK Mathlaul Anwar di Kopo, Asep meraih nilai tertinggi UN di semua angkatan di sekolahnya. Namun sayang, raihannya itu kurang membantunya untuk dapat masuk akses mendapatkan beasiswa ke perguruan tinggi. Karena sekolah masih terbilang cukup baru, akses mendapatkan beasiswa begitu sulit, bahkan untuk daftar SNMPTN saja, siswanya sendiri yang mengurusinya, katanya.
“Untuk mendapatkan beasiswa bidikmisi, karena sekolah kami belum terdaftar juga untuk dapat ikut akses mendapatkan beasiswa itu, jadi saya sempay bingung juga,” ujar Asep.
Oleh karena itu juga dirinya tidak mengikuti seleksi SBMPTN atau mencoba daftar ke perguruan tinggi yang lain. Terlebih untuk ikut SBMPTN saja dia harus membayar uang pendaftaran, toh jika pun lulus menurutnya, belum tentu dirinya akan melanjutkan atau mengambil hasilnya, karena ketidak sanggupan orangtuanya membiayainya kuliah.
Walaupun begitu, Asep sekarang bersyukur dan mendapatkan hikmah, kuliah di Uin Bandung, Asep mendapatkan beasiswa pada semester 3 selama dua tahun berturut-turut dari DIPA, dan dilanjutkan dengan beasiswa dari Bank Indonesia sampai dengan dia lulus.
Asep berharap, pemerintah dapat lebih memperhatikan orang semacam dirinya yang memiliki semangat belajar, dan memudahkan akses beasiswa. “Karena saya merasa akses informasi beasiswa itu masih susah didapatkan,” ujar Asep.
Upaya Mandiri Setelah Lulus
Semasa kuliah sampai sekarang Asep berwirausaha berjualan, semisal flashdisk, parfum, makanan dan juga pakaian. Dia mengaku, selagi dirinya sedang memiliki uang modal dan ada kesempatan peluang usaha, maka dia lakoni. “Selagi ada kesempatan lumayan untuk menambah uang jajan,” ujarnya.
Setelah Asep menyelesaikan studinya, dia mengaku langsung mengambil peluang usaha lainnya sebagai langkah awal melanjutkan hidupnya yang kini tidak lagi dibiayai oleh kedua orangtuanya. “Jadi saya tekadkan setelah beres kuliah untuk tidak lagi bergantung kepada orangtua,” ujarnya.
Baru satu bulan ini, Asep tengah merintis usaha berjualan beras bersama ketiga rekannya dan bergabung di Yayasan Ashabu ash Shuffah Indonesia di Ujung Berung.
Dalam Kegiatan di Yayasn Ashabu Ash Shuffah Indonesia itu, Budrik mengaku sekaligus dapat menekspresikan ilmu yang selama ini dipelajarinya. Asep berharap bisa mengembangkan diri melalui usahanya sekaligus melakukan aktivitas sosial, sebagian keuntungan yang didapatkan dia salurkan untuk kaum duafa.
Asep mengungkapkan dirinya memiliki prinsip hidup, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat. Oleh karena itu pula dirinya sebisa mungkin bersedekah kepada duafa, dan senang berbagi ilmu, senang mengajar. “Saya selalu ingin membagaikan ilmu, IPK tinggi pun mungkin hikmahnya dari hal itu,” pikirnya.
Asep mengungkapkan tidak pernah terlintas dalam pikirannya terobsesi untuk mendapatkan IPK tinggi. Dengan dapat berkuliah saja, dirasa olehnya sudah cukup dan bersyukur. Tak ada kiat-kiat tertentu untuk mendapatkan IPK tinggi tersebut, Asep mengaku hanya menjalani studinya dengan sebaik mungkin, dan hanya saja, Asep mengaku suka mengahafal setelah shalat tahajud.
Adapun Asep mempunyai rencana untuk melanjutkan studinya ke jenjang magister (S2), dia akan mengikuti seleksi beasiswa LPDP di tahun 2019 mendatang. (Hilda Rubiah, Kisdiantoro)