(UINSGD.AC.ID)-Kegigihannya melawan pasukan Belanda saat revolusi kemerdekaan pecah di Indonesia antara 1945-1949 menjadikan KH Anwar Musaddad sosok pejuang yang disegani di kawasan Garut , Jawa Barat dan sekitarnya.
Dengan bidang ilmu agama yang mumpuni ditambah keahliannya dalam bidang militer, Musaddad sukses membuat pasukan Belanda kerepotan ketika mereka mengingkari janjinya untuk mengakui kedaulatan Republik Indonesia (RI).
Sebelum menjelma menjadi ulama besar dan pejuang ulung, Musaddad kecil sudah menunjukkan karakternya yang cerdas dan kritis. Musaddad disebut memiliki garis keturunan bangsawan dari dua kerajaan besar
Ayahnya, Abdul Awwal bin Haji Abdul Kadir merupakan keturunan Sunan Gunung Djati yang membuatnya terhubung dengan Kerajaan Pajajaran dan Cirebon. Sedangkan ibunya, Marfuah binti Kasriyo adalah keturunan Pangeran Diponegoro yang terhubung dengan keluarga kesultanan Mataram Islam.
Terlahir di Garut, 22 Rabiul Awal 1328 Hijriah atau 3 April 1910, Musaddad sudah menjadi anak yatim di usia empat tahun. Selanjutnya, dia dibesarkan oleh ibu dan neneknya yang saat itu mengelola usaha batik dan dodol Garut bermerek “Kuraetin”.
Musaddad kecil mulai menapaki jenjang pendidikannya di Hollandsh-Inlandsche School (HIS) Negeri. Lulus HIS pada tahun 1922, Musaddad melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Christelijk di Sukabumi hingga melanjutkan sekolah menengah atas di Algamene Middlebare School (AMS) di Batavia (Jakarta).
Ditempa pendidikan di sekolah Belanda, yang notabene merupakan yayasan misionaris, khususnya saat di bangku sekolah menengah atas, Musaddad banyak mendapatkan informasi dengan mempelajari kitab Injil dan kristologi hingga membuat sang Ibu mengkhawatirkan akidahnya.
Setamat AMS di Batavia, Musaddad sempat menimba ilmu di Pesantren Darussalam Wanaraja, Garut selama dua tahun. Karena keinginan sang Ibu agar anaknya memperdalam ilmu agama Islam, Musaddad pun akhirnya menimba ilmu ke Mekkah selama 11 tahun di Madrasah Al-Falah.
Di Mekkah, dia menuntut ilmu kepada para ulama terkenal Makkah masa itu, di antaranya Sayyid Alwi al Maliki, Syekh Umar Hamdan, Sayyid Amin Qubti, Syekh Janan Toyyib (Mufgi Tanah Haram asal Minang), Syekh Abdul Muqoddasi (Mufti Tanah Haram asal Solo) hingga akhirnya kembali pulang ke Tanah Air saat berakhirnya penjajahan Belanda.
Berbekal ilmu agama Islam yang mumpuni ditambah pengalamannya menimba ilmu di sekolah-sekolah Belanda, Musaddad kecil yang tumbuh dewasa kemudian menjadi sosok ulama yang toleran dan modern.
Yies Sa’diyah dalam bukunya, Biografi Prof KH Anwar Musaddad menyebutkan bahwa saat berusia 32 tahun, Musaddad menerima pendidikan militer dalam program kemiliteran yang digagas Pemerintah Jepang. Program tersebut sengaja digelar untuk melatih warga pribumi dalam upaya mengantisipasi kedatangan pasukan sekutu.
Alih-alih untuk kepentingan Pemerintah Jepang, Musaddad malah memanfaatkan ilmu kemiliteran, termasuk strategi berperang yang diperolehnya itu untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap perjuangan melawan pendudukan Jepang.
Sumber, Koran Sindo Sabtu, 21 November 2020.