(UINSGD.AC.ID)- KH Anwar Musaddad (alm) merupakan tokoh nasionalis dari Kabupaten Garut, Jawa Barat, yang diusulkan kepada pemerintah untuk mendapat gelar pahlawan nasional.
Bagi masyarakat Garut, perjalanan hidup KH Anwar Musaddad dipenuhi jasa dan pengabdian diri untuk bangsa dan negara melalui gerakan dakwah yang nasionalis. Ilmu pendidikan Islam dan keahlian militer diamalkan untuk mendorong semangat perjuangan pribumi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Ketua Pembina Yayasan Al Musadaddiyah Yies Sa’diyah menceritakan bahwa Anwar Musaddad memiliki keistimewaan dalam perjuangannya melawan bangsa penjajah.
Kestimewaannya itu adalah menanamkan nilai-nilai jihad atas nama Islam yang menolak semua tindakan zalim manusia terhadap manusia lainnya seperti yang dilakukan bangsa Jepang dan Belanda yang menjajah Indonesia pada masa itu.
Saat berusia 32 tahun, Anwar Musaddad mendapatkan ilmu kemiliteran melalui sebuah program pemerintahan Jepang yang melatih pribumi untuk memenuhi kebutuhan tentara demi mengantisipasi kedatangan pasukan sekutu.
Oleh Anwar Musdaddad, kata Yies, dalam tulisannya pada buku Biografi Prof KH Anwar Musaddad. Hasil latihan kemiliteran itu ditularkan kepada generasi muda lainnya.
Dia menjadikan pengetahuan militer dan strateginya untuk menjadikan banyak pemuda sebagai pejuang bagi bangsanya.
“Pelatihan militer pemuda inilah yang kelak menjadi persiapan awal untuk membangkitkan semangat perlawanan dan perjuangan terhadap pemerintah pendudukan Jepang,” kata Yies.
Para aktivis pergerakannya itu dari berbagai latar belakang, guru, ulama, pandu, pedagang dan petani.
Dalam gerakannya itu Anwar Musaddad melahirkan gerakan massa lewat perjuangan rohani melalui dakwah dan pendidikan bagi rakyat dengan membangkitkan semangat perjuangan rakyat agar berdaya serta tidak menjadi kacung penjajah Jepang.
Menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 tentara sekutu menyerang pasukan Jepang hingga akhirnya Jepang menyerah,
Namun ketika proklamasi dikumandangkan, KH Anwar Musdaddad dalam keadaan sakit dan dirawat di rumah sakit di Bandung karena kakinya terluka akibat jatuh dari sepeda motor ketika hendak berdakwah.
Setelah kondisinya pulih, Anwar Musadad mendapatkan kabar tentang kedatangan bangsa sekutu dengan kekuatan pasukan Belanda hendak kembali untuk menjajah Indonesia.
Selain terjadi pertempuran di Surabaya, Jawa Timur, 10 November 1945 yang akhirnya dikenal dengan Hari Pahlawan, di Bandung juga terjadi perlawanan dari pejuang kemerdekaan terhadap sekutu dengan munculnya peristiwa Bandung Lautan Api, 23 Maret 1946.
Sedangkan gerakan perlawanan rakyat Kabupaten Garut terhadap sekutu juga dilakukan yang dipimpin Anwar Musaddad bersama KH Mustofa Kamil dengan semangat melawan kezaliman bangsa penjajah.
Anwar Musaddad dengan dakwah itu mampu menjalankan fungsi gandanya sebagai ulama dan pejuang yang menimbulkan ketidaksenangan Belanda karena dipandang telah berhasil membangkitkan semangat juang rakyat untuk menentang Belanda.
Bentuk perjuangan Anwar Musaddad dengan Mustofa Kamil, yakni melatih keprajuritan militer sekitar 200 pemuda yang menjadi pasukan Hizbullah.
Pasukan Hizbullah yang dipimpin dua kiyai itu meraih kemenangan dalam pertempuran melawan Gurkha, tentara Inggris yang diisi orang asal India.
Gerakan lainnya adalah perjuangan pasukan Hizbullah, yaitu seringkali menyerang markas pertahanan Belanda yang bersifat sporadis hingga membuat repot pasukan Belanda di Kabupaten Garut.
“Perjuangan beliau itu bahkan tersebar di berbagai daerah di nusantara, seperti Bung Tomo mengagumi perjuangan beliau,” kata Yies saat ditemui di kediamannya di komplek Al Musadaddiyah, Garut Kota.
Bung Tomo, pimpinan gerakan perlawanan Arek-Arek Suroboyo, mengajak Anwar Musaddad bergabung melawan Belanda di Surabaya ada pertepuran.
Permintaan itu dikabulkan dengan hasil kesepakatan bersama, yakni KH Mustofa Kamil membawa satu peleton barisan Hizbullah ke berangkat ke Surabaya, untuk berjuang hingga akhirnyaa Mustofa Kamil gugur dam perjuangan tersebut.
Selanjutnya Anwar Musaddad bersama KH Yusuf Tauziri menjadikan Cipari sebagai markas perjuangan baru untuk melawan penjajah.
Anwar Musaddad diinterogasi eh seorang komandan tentara Belda di Garut dengan bahasBelanda, Anwar Musaddad menjawab pertanyaannya dengan bahasa Belanda yang fasih.
Setelah menjalani pemeriksaan dan diminta untuk tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda, akhirnya tokoh-tokoh pejuang tersebut termasuk Anwar Musaddad dibebaskan oleh Belanda dan kembali ke Cipari.
Perjuangan Anwar Musaddad bukan hanya dihadapkan pada bangsa penjajah Belanda, melainkan dari bangsa sendiri, yaitu gerakan pengacau keamanan, yakni Darul Islam dengan Tentara Islam Indonesia yang dikenal dengan nama DI/TII pimpinan Kartosoewiryo.
Gerakan Kartosoewiryo ingin membentuk Negara Islam Indonesia dan Anwar Musaddad mendapat tawaran untuk bergabung, tetapi menolak.
Berdasarkan keterangang ditulis dalam buku Prof Dr Herlina Lubis penolakan Anwar Musaddad terhadap tawaran DI/TII itu sebagai langkah nyata untuk membangun kesatuan bangsa demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Anwar Musaddad secara bijaksana menjelaskan waktu itu bahwa yang harus diperjuangkan itu negaranya, yakni Republik Indonesia. Alasan lainnya tidak mungkin mengelola negara di dalam negara.
Menurut Anwar, yang harus dipertahankan adalan NKRI yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Artinya tidak akan pernah ada negara lain selain Republik Indonesia.
Mengaji
Anwar Musaddad lahir di Garut 3 April 1909 dari pasangan Abdul Awwal bin Haji Abdu dan Marfuah binti Kasriyo.
Dia mengikuti pendidikan Islam dari guru ngaji yang tidak jauh dari rumahnya. Orang tuanya memasukan ke Sekolah Dasar milik lembaga pendidikan Nasrani Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Christeljik yang dianggap tidak ada sekolah lain yang lebih baik waktu itu.
Anwar Musaddad muda itu kemudian melanjutkan sekolah MULO di SUkabumi, kemudian sekolah AMS Chsteljik di Jakarta.
Anwar kemudian kembali ke Garut dan menjadi santri di Pesantren Cipari selama dua tahun, lalu menjadi siswa Madrasah Al-Ikhlas di Jakarta untuk mempelajari lebih dalam ilmu-ilmu agama Islam dengan baik, termasuk belajar bahasa Arab karena dianggap penting sebagai bahasa Al Quran dan ilmu pengetahuan agama lainnya.
Selama belajar itu, Anwar tinggal di rumah Haji Oemar Said Tjokrominoto (HOS Tjokrominoto), seorang pemikir muslim dan tokoh politik Indonesia yang disegani pada masa penjajahan.
Kemudian usia 21 tahun atau tahun 1930, Anwar Musadd berangkat ke Tanah Suci, Mekah, untuk belajar agama Islam.
Anwar menjadi santri di Madrasah Al-Falah di Mekkah dan berhasil menyandang dua predikat secara bersamaan, yaitu sebagai santri dan ustad mengajarkan mata pelajaran bahasa Inggris.
Setelah merdeka, Anwar Musaddad terus melakukan perjuangannya melalui pendidikan pendidikan keislamannya hingga akhirnya mendapat gelar Guru Besar IAIN Sunan Gunung Djati Bandung di bidang Ilmu Perbandingan Agama tahun 1974.
Anwar Musaddadga memiliki peran dalam pendirian Perguruan Tinggi Agama Negeri di Yogyakarta dan juga mendirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) yang disahkan pemerintah tahun 1967. Sekarang menjadi Universtitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.
Dia merupakan sosok yang telah memberikan sebagian besar hidupnya untuk umat, bahkan jiwa yang nasionalisnya telah menunjukkan kecintaan membela Indonesia.
Anwar Musaddad mendapatkan gelar pahlawan dari pemerintah, merupakan suatu kebanggaan bagi keluarga sebagai pengakuan pemerintah terhadap kepahlawanannya itu.
“Usulan gelar pahlawan hanya untuk pengakuan dari pemerintah saja, meskipun pada dasarnya beliau bagi saya adalah pahlawan untuk keluarga,” kata Yies yang pernah mengajar sebagai Dosen Tarbiyah di UIN Bandung itu.
Sumber, Antara Jabar Rabu, 11 November 2015 10:33 WIB