[www.uinsgd.ac.id] Seluruh mahasiswa baru Pascasarjana UIN SGD Bandung jenjang Magister (S2) dan Doktor (S3) tahun akademik 2012/2013 mengikuti Kuliah Umum bersama Burhanudin Muhtadi, dosen FISIP UIN Jakarta dan Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) bertajuk Prospek dan Masa Depan Muslim Indonesia yang dipandu oleh Dr. H. Dindin Jamaluddin, M. Ag di Aula Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) Jawa Barat, Jumat (31/8)
Indonesia memiliki dua pemilu yang sangat demokratis pada 1955, yakni pemilu untuk anggota DPR pada 29 September 1955 dan pemilu untuk memilih anggota Majelis Konstituante pada 15 Desember 1955. Dalam pemilu tersebut, dari 10 partai berbasis Islam, dua di antaranya memperoleh dukungan yang sangat signifikan dalam pemilu Majelis Konstituante, yakni Masyumi (20,6 persen) dan NU (18,5 persen). Adapaun peringkat pertama diraih PNI (24 persen) dan PKI berada di urutan keempat dengan perolehan 16,5 persen.
“Namun, jika kita melihat masa depan muslim Indonesia dari sudut pandang politik, khususnya politik aliran karena pembahasan ini yang menjadi bidang keahlian saya, maka dapat disebutkan bahwa keberadaan politik islam yang secara faktual partai Islam pada pemilu 1999, 2004 dan 2009 mengalami penurunan dan tidak memiliki daya tawar yang menggembiran jika dibandingkan dengan pemilu 1955.” ujarnya
Gabungan partai Islam pada pemilu 1955 sebesar 43, 7 persen, tak terllau jauh terpaut dengan total suara partai-partai nasionalis. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU dan partai Isalm lainnya) anjlok menjadi 36, 8 persen. Pada pemilu 2004, suara partai Islam naik menjadi 38, 1 persen. “Perlu dicatat, total suara ini masih memasukan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, maka suara partai Islam lebih sedikit. Bahkan pada pemilu 2009 yang lalu, total perolehan suara partai-partai Islam kurang dari 30 persen saja,” jelasnya
Kategori partai Islam di atas termasuk mencakup platform atau ideologi partai yang secara terbuka mencantumkan Islam maupun partai-partai yang secara tegas tidak menyebut islam, namun berbasis konstituensinya berasal dari umat Islam. Dengan demikian, karakteristik partai Islam bisa dilihat dari dua hal; Pertama, Asas dan Kedua, Basis masa. Dari asa partai, PPP, PBB dan PKS bisa disebut partai Islam karena asas dan ideologinya adalah Islam. Sementara PKN dan PAN bisa dikelompokkan Islam karena menkipun menjual ideologi pluralis, dua partai itu mengandalkan basis masa muslim.
Uniknya perbedaan karakter ideologis Islamis dan non-Islamis itu tidak terllau berpengaruh dalam perolehan suara partai-partai Islam. Hasil korelasi pemilu 1999 dan 2004 yang dilakukan Anies Baswedan, penurunan suara PDI Perjuangan cenderung beralih ke partai nasionalis, terutama partai Demokrat. Sementara, peningkatan suara PKS berasal dari partai-partai berbasis Islam seperti PAN dan PPP. Suara PKB relatif tetap karena partai ini menangguk suara dari kalangan Islam tradisionalis di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.
Pada pemilu 2009 yang lalu, agregat perolehan suara partai-partai Islam secara umum semakin merosot drastis. Hanya 4 partai Islam yang lolos parliamentary threshold dengan total suara kurang lebih 25 persen, yaitu PKS, PAN, PKB dan PPP. “Dengan demikian, penurunan suara partai Islam bukan lagi diambil oleh partai Islam yang lain karena partai-partai Islam lainya juga mengalmai degradasi elektoral.” kilahnya
Melihat keberadaan pemilih muslim yang cenderung memilih partai nasionalis ketimbang partai Islam. Setidanynya terdapat tiga jawaban; Pertama, partai-partai nasionalis sukses melakukan paradigma shift dari positioning partai yang awalnya dicap kurang ramah terhadap agenda-agenda religio-politik muslim menjadi lebih reseptif terhadap aspirasi umat. Hal ini terlihat dari dukungan Fraksi Golkar dan Demokrat terhadap RUU Sisdiknas dan RUU Anti-Pornografi yang menjadi investasi politik elektoral partai nasionalis dalam merebut simpati pemilih. Kedua, selain bermain pada isu-isu simbolis-keagamaan, partai-partai Islam, perlu menyiapkan strategi elektoral untuk menarik simpati pemilih muslim yang makin rasional. Mayoritas pemilih muslim sekarang lebih tertarik dengan isu-isu non-agama, terutam masalah ekonomi, ketimbnag isu-isu keagamaan. Ketiga, yang mengakibatkan parta-partai Islam kurang kompetitif dalam pemilu 2009 lalu adalah terjadinya krisis kepemimpinan umat. Di saat politik elektoral kita masikin dipengaruhi tokohisme yang semakin kuat, partai-partai islam kurang mampu menjual pemimpin atau tokoh yang memiliki magnet yang cukup kuat untuk menarik pemilih.
Upaya memperolah suara partai yang cukup signifikan Burhan menyarankan “Harus ada tokoh atau pemimpin yang bisa diakui dan mampu menyatukan umat Islam yang berbeda-beda untuk membangun bangsa yang lebih baik. Citra partai yang bersih dari korupsi juga harus diingatkan. Meskipun terjadi dilema karena banyak partai politik yang tersandung korupsi. Di sinilah publik menghadapi dilema konsumen politik. Jika kredibilitas partai rendah, program partai hanya indah di atas kertas dan calon yang ditawarkan buruk, pemilih hanya dihadapkan pada dua pilihan; tetap memilih dari pilihan yang buruk atau menambah deretan panjang golput.” pungkasnya [Ibn Ghifarie]