Ketergesaan Digitalisasi

(UINSGD.AC.ID)-Kendati kebutuhan mendesak, migrasi televisi analog ke digital tidak perlu tergesa-gesa. Selain fokus Pemerintah dan masyarakat sedang pada upaya melepaskan diri dari belenggu Pandemi Covid-19, mematikan tv analog (Analog Switch Off/ASO) dan menggantinya dengan digital bukan tanpa problem risk. Masih banyak hal yang harus dibenahi.

Lahirnya Pasal 60A, tambahan pada UU No.32/2002 tentang Penyiaran yang termuat pada Pasal 72 UU No. 6 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang eksplisit menyuratkan batas akhir ASO, 22 November 2022 harus disikapi bijak. Tidak diterjemahkan dalam dunia hampa, sehingga dengan mudahnya dikeluarkan Permen Kominfo No.6/2021 tentang Penyelenggaraan Penyiaran yang bersubstansi mempercepat ASO.

Setadinya, mulai 17 Agustus 2021 tv analog harus mati di 15 kabupaten/kota dalam enam provinsi. Andai jadi, masyarakat Kab. Aceh Besar, Bintan, Karimun, Serang, Kutai Kartanegara, Bulungan, dan Nunukan, serta Kota Banda Aceh, Batam, Tanjungpinang, Cilegon, Serang, Samarinda, Bontang, dan Tarakan akan kehilangan siaran tv analog. Beruntung “dianulir” melalui Permenkominfo No. 11/2021.

Desakan Dunia
Kebijakan ASO seirama dengan desakan masyarakat penyiaran dunia yang “menarik-narik” Indonesia untuk segera aktif dalam pencaturan digitalisasi penyiaran. Sebagian besar negara di dunia, termasuk di Asia Tenggara sudah jauh melangkah bermigrasi. Indonesia, yang notabene dikategorikan negara besar di Asia Tenggara, walaupun sudah mencanangkan belasan tahun ke belakang, tetapi prakteknya masih jalan di tempat, sehingga wajar jika harus lahir ketegasan melalui UU Cipta Kerja (Omnibus Law).

UU Cipta Kerja merupakan bentuk reformasi kebijakan percepatan perbaiki ekonomi, sehingga diharapkan mampu menjadi solusi cepat bagi berbagai problem kehidupan ekonomi rakyat. Persepsi strategis itu pula yang menjadi dasar sehingga digitalisasi penyiaran ikut memperkaya substansi UU Cipta Kerja. Pemerintah memandang, digitalisasi penyiaran merupakan bagian program pembangunan strategis bagi solusi kehidupan ekonomi rakyat karena revisi UU No. 32/2002, walaupun sudah lama masuk prolegnas DPR RI, tapi entah kapan ketuk palu.

Digitalisasi penyiaran diharapkan tidak hanya berdampak pada peningkatan kualitas layanan siaran, tetapi juga mendorong Program Transformasi Digital Nasional, penyehatan industri telekomunikasi dan penyiaran serta optimalisasi sumber daya terbatas. UU Cipta Kerja diharapkan berkontribusi pada Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran dalam Transformasi Digital, Penciptaan Lapangan Pekerjaan, dan Pertumbuhan Ekonomi Digital.

Namun, bukan berarti digitalisasi tanpa masalah. Dunia penyiaran sangat kompleks karena melibatkan banyak pihak: penonton, lembaga penyiaran, pabrikan, pedagang perangkat, dan pelaku industri periklanan. Terlebih Indonesia negara besar, penduduk lebih dari 270-an juta, luas wilayah sekitar 7,81 juta km2, dan memiliki 17.499 pulau dengan kontur topografi sangat varian. Kondisi tersebut merupakan potensi besar bagi kemajuan digitalisasi, tetapi juga dapat menjadi hambatan dan tantangan berat.

Problem Digitalisasi
Oleh karena itu, mapping the problem terhadap upaya realisasi ASO menuju sukses migrasi siaran televisi analog ke digital menjadi sangat urgen. Indonesia berharapan besar dapat menyejajarkan diri dengan negara-negara besar yang sudah lama take off digitalisasi. Namun, Indonesia pun harus mempertahankan komitmen untuk konsisten pada tujuan memperbaiki nasib masyarakat penyiaran. Digitalisasi bukan hanya untuk mengangkat citra negara di mata dunia, tetapi juga harus berefek pada kesejahteraan rakyat.

Sejatinya, ketika Pemerintah menetapkan ASO harus terealisasi November 2022, apalagi “dipercepat” dengan Permen, semua suprastruktur dan insfrastruktur penyiaran harus sudah siap. Apalagi penetapan tersebut melalui UU Cipta Kerja yang merupakan UU “super darurat”, kesiapan suprastruktur dan insfrastruktur syarat utama. Kalau tidak, keberadaan Pasal tersebut akan sia-sia; akan menjadi “pajangan” belaka.
Kendati Pemerintah berkomitmen segera menyiapkan infrastruktur dan suprastruktur penyiaran, tetapi dengan kondisi penduduk banyak, wilayah luas, serta waktu terbatas nyaris tidak mungkin dikerjakan “sendirian”. Partisipasi rakyat, khususnya masyarakat penyiaran merupakan instrumen penting dan sangat menentukan.

Infrastruktur penyiaran harus dibangun “kejar tayang”, terutama terkait aspek pemerataan, sehingga daerah-daerah blank spot segera diselesaikan agar dapat menikmati siaran free to air/FTA. Badan Aksesibilitas Telekomunikasi & Informasi (Bakti Kominfio:2018), misalnya, mencatat masih banyak wilayah blank spot seluler, terutama di area terdepan, terluar dan tertinggal (3T) serta perbatasan. Kendati sudah dibangun 8.300 site, tetapi dibutuhkan lebih dari 5.000 site lagi.

Wilayah bebas blank spot pun bukan tanpa masalah. ASO sangat mungkin berdampak pada hilangnya kesempatan sebagian besar penikmat televisi karena rata-rata pesawat televisi mereka tidak berteknologi connected digital. Pesawat televisi mereka memerlukan antena ultra high frequency (UHF) dan alat bantu penerima siaran digital decoder set top box (STB). Bagi sebagian besar masyarakat tingkat ekonomi menengah ke bawah, harga STB di pasaran cukup mahal, sehingga perlu merogoh kocek dalam-dalam.
Andai pun Pemerintah mensubsidi STB gratis, harus menyiapkan dana sangat besar karena jumlah pemilik televisi sangat banyak. Misalnya, hasil Survey Indikator TIK Kominfo 2015, warga pemilik televisi di Indonesia 86,7%, jika dikalikan jumlah penduduk sekitar 270 juta, pemilik televisi sekitar 232 jutaan dikalikan harga STB X rupiah, maka dana yang diperlukan cukup besar dengan penyaluran yang rumit karena wilayah tersebar dari Sabang sampai Merauke.

Oleh karena itu, diperlukan partisipasi masyarakat pemilik televisi analog (receiver konvensional) untuk siap migrasi beresiko minimal pengadaan STB mandiri. Makanya, kebijakan simulcast (siaran berbarengan analog dan digital) di antara daerah berbeda kemampuan ekonomi dapat menjadi pertimbangan untuk dilakukan dalam tahapan transisional menuju digitalisasi total.
Jika ASO dilaksanakan serempak November 2022, apalagi dipercepat sebagaimana roadmap Kominfo, potensi kelompok masyarakat yang belum terjangkau jaringan digital, akan menjadi korban tidak mendapat layanan siaran televisi. Padahal penyiaran adalah hak seluruh masyarakat tanpa terkecuali. ***

Mahi M. Hikmat, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Ketua Bidang Profesi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jawa Barat.

Sumber, Pikiran Rakyat 29 September 2021

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *