Keterbukaan Mahkamah Konstitusi dalam Sidang Pilpres 2014

Ada satu fenomena luar biasa yang terjadi seputar persidangan gugatan Pemilihan Presiden 2014 di Mahkamah Konstitusi (MK). Para hakim dalam persidangan itu memiliki spirit transparansi yang besar, sehingga pandangan mereka terhadap gugatan keberatan pasangan Prabowo-Hatta pun menjadi informasi meluas di media massa. Mereka memaparkan penilaianya dengan “gamblang”.

Padahal, kalau berkaca pada kisah sebagian hakim masa lalu, penilaian mereka terhadap “isi” persidangan kadangkala dinyatakan tabu. Mereka baru terbuka setelah vonis dijatuhkan. Sebelumnya, mereka menutup pintu rapat-rapat. Bahkan, pertimbangan atas vonis pun hanya terbuka pada putusan, sedangkan penilaian pribadi di antara hakim cenderung tidak diketahui banyak pihak.     

Spirit transparansi para hakim MK seputar persidangan Pilpres 2014, tentu bukan perlawanan atas ketertutupan sebagian hakim masa lalu. UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pun memfasilitasi bagi para penegak hukum untuk merahasiakan (mengecualikan) informasi sepanjang dapat menghambat proses penegakan hukum. Pertimbangan bahwa penilaian mereka terhadap “isi” gugatan tidak dapat menghambat proses pengambilan putusan bisa saja menjadi salah satu alasan keterbukaan MK.

Selain juga karena posisi MK sebagai lembaga pemutus perkara yang “super body”. Sangat berbeda dengan lembaga pemutus perkara lainnya, MK memiliki banyak kelebihan kewenangan, selain lembaga pemutus perkara-perkara yuridis, MK pun harus memutuskan perkara-perkara politis.

Berdasarkan UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, MK memiliki kewenangan untuk : a. menguji undang-undang terhadap UUD 1945; b. memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945; c. memutus pembubaran partai politik; dan d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kredibilitas MK tidak hanya dipertaruhkan dengan pihak-pihak yang berperkara, tetapi juga terkait kepercayaan seluruh rakyat.Misalnya, dalam dua kewenangannya, MK akan berhadapan dengan pengurus Parpol dan para simpatisannya dari elit sampai ke grassroots serta berhadapan dengan rakyat pemilih jika harus memutuskan perselisihan hasil Pemilu.

Apalagi pada Pasal 24C UUD 1945 ditegaskan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya  bersifat final untuk ….” Sifat dari putusan MK final dan mengikat, sehingga tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Putusan MK bersifat erga omnes, berlaku dan mengikat bagi semua orang sesuai isi Pasal 47 UU No.24/2003, “Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.”

Apalagi Putusan MK dalam perselisihan hasil Pemilu tidak dalam konteks proses demokrasi saja, tetapi kadang memenangkan salah satu pasangan calon, seperti dalam perkara Pemilukada. MK memiliki energi besar untuk turut serta menentukan hasil proses demokrasi. Suara rakyat yang sejatinya menjadi penentu utama, dapat “dikalahkan” oleh kewenangan MK.

Oleh karena itu, spirit transparansi bagi MK merupakan point penting bagi tumbuhnya kehidupan demokrasi yang sehat. Apalagi, salah satu prinsip dan syarat negara demokrasi adalah transparansi dan akuntabilitas dari para penyelenggara negara terhadap rakyatnya, termasuk juga para penegak hukum. []

Mahi M. Hikmat, Dosen UIN SGD Bandung, Komisioner Komisi Informasi Jawa Barat dan Dewan Pakar ICMI Jawa Barat.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter