Sejak 1 Mei 2010 (atau mulai 30 April 2010), Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Keterbukaan Informasi mulai diberlakukan. Secara substansial, lahirnya UU ini merupakan bentuk keseriusan pemerintah dalam upaya meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan informasi. Dalam UU ini diatur secara ekplisit tentang kewajiban-kewajiban lembaga, badan, atau pejabat publik, baik yang berada dalam institusi pemerintah maupun nonpemerintah untuk ikut meningkatkan pelayanan di bidang informasi. Bahkan, dalam takaran tertentu kelalaian atas kewajiban tersebut dapat mengakibatkan sanksi berat; pidana.
Keterbukaan informasi di negara yang berlabel demokrasi merupakan aspek yang paling penting. Bahkan, hal ini merupakan bagian dari agenda reformasi yang selama ini merupakan arah kebijakan utama semua lembaga di republik ini. Keterbukaan informasi adalah salah satu pilar penting yang akan mendorong terciptanya iklim transparansi. Oleh karena itu, berlakunya UU ini harus mendapatkan sambutan yang gegap gempita dari seluruh elemen di negeri ini.
Dalam konteks real, seluruh masyarakat Indonesia, baik dalam konteks individu maupun kelompok (lembaga/badan) harus menunjukkan dukungan yang nyata terhadap implementasi UU ini. Semua pihak tentu tidak berharap UU ini bernasib seperti sejumlah aturan perundang-undangan yang lahir hanya sebagai lipstik demokrasi dan bumbu reformasi.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah merupakan bagian terpenting dalam merealisasikan ruh keterbukaan informasi, mulai dari menunjuk pejabat pengelola informasi dan dokumentasi, membentuk komisi informasi sampai tindakan teknis menyediakan dan memberikan informasi yang dibutuhkan. Peran masyarakat pun tidak kalah pentingnya dengan kepedulian mengakses informasi dan mengadukan jika ada akses informasi publik yang tersekat.
Namun, optimalnya peran pemerintah dan tingginya kepedulian masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari aspek budaya yang berkembang biak selama ini. Sosiolog Edward T. Hall (1976) mengategorikan komunikasi dalam konteks budaya sehingga melahirkan istilah komunikasi konteks tinggi (high context communication) dan komunikasi konteks rendah (low context communication). Komunikasi konteks tinggi pada umumnya berkembang biak dalam budaya timur seperti Indonesia yang juga memiliki latar belakang budaya konteks tinggi (high context culture). Dalam konteks komunikasi ini, kebanyakan pesan implisit, terdapat dalam konteks fisik atau terpendam dalam benak pesertanya.
Informasi yang disampaikan dalam proses komunikasi high context sangatlah minimal karena diasumsikan komunikan sudah memiliki pengetahuan tentang informasi yang akan disampaikan komunikator atau informasi itu sudah tersedia dalam lingkungan tempat komunikasi itu berlangsung. Oleh karena itu, dalam masyarakat dengan kultur komunikasi high context, pesan-pesan biasanya disampaikan secara tersirat dan bersifat tidak langsung.
Budaya konteks tinggi tersebut pun mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Istilah-istilah tabu, pamali, dan label-label lainnya yang sering dijadikan alasan pembenar untuk merahasiakan sesuatu, menjadi bagian kisah hidup masyarakat Indonesia. Hal ini diperkuat dengan budaya birokrasi yang masih kental dengan feodalisme yang menganggap rakyat adalah ”budak” dan penguasa adalah ”juragan”. Realitas itu sering melahirkan rasa sungkan pada diri rakyat untuk mengakses informasi sekaligus juga menanamkan sifat pelit pada penguasa untuk membagi informasi. Oleh karena itu, jangankan keterbukaan, transparan pun masih menjadi dambaan pada agenda reformasi di Indonesia ini.
Dalam budaya konteks tinggi pun, menurut Hall, mempunyai kecenderungan lebih besar untuk membedakan orang dalam dari orang luar. Implikasinya, seraya menyatupadukan dan meningkatkan solidaritas kelompok, masyarakat yang berbudaya konteks tinggi membuat para anggotanya lebih curiga terhadap orang luar. Oleh karena itu, informasi hanya dibuka di sekitar kroni-kroniknya dan menutup rapat bagi pihak-pihak di luar kelompok mereka, berkembangbiaklah budaya nepotisme yang dari dulu hingga kini sulit dikikis.
Bagi sebagian kelompok masyarakat yang sudah ”melek pergaulan” atau konsep berpikirnya low context culture karena mengenyam pendidikan di luar negeri; menikmati media globalisasi; hidup di kota metropolis, mereka akan menikmati keterbukaan. Bahkan, bukan hal yang tidak mungkin keterbukaan dimaknai penuh dengan euforia sehingga mengobral gaya hidup globalisasi yang lepas dari nilai-nilai ketimuran.
Padahal, di belahan lain sebagian besar rakyat Indonesia masih terikat high context culture sehingga mereka shock dengan keterbukaan; transparan pun masih dambaan. Bukan hal yang tidak mungkin bagi mereka keterbukaan adalah tidak sopan; musuh yang menakutkan karena dapat merenggut kekuasaan, penghormatan, bahkan mungkin harga diri dan keyakinan.
Oleh karena itu, agar keterbukaan informasi ini sesuai harapan; dapat meningkatkan pelayanan terhadap publik alih-alih rakyat Indonesia perlu kebijakan-kebijakan yang arif. Undang-Undang Keterbukaan Informasi ini selayaknya diberlakukan setelah infrastruktur dan suprastrukturnya siap.
Hingga Mei 2010 ini, masih banyak Komisi Informasi di daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang belum terbentuk. Padahal, lembaga inilah yang berfungsi menjalankan UU ini, baik melalui penetapan petunjuk teknis standar pelayanan informasi publik maupun penyelesaian sengketa, baik melalui mediasi maupun ajudikasi nonlitigasi.
April 2010, Komisi Informasi Pusat (KIP) memang sudah mengeluarkan peraturan, tetapi belum disosialisasikan. Sementara itu, pemerintah belum membuat peraturan pemerintah yang teknis mengatur pelaksanaan UU ini. Padahal, dalam UU No. 14 Tahun 2008, banyak hal yang masih perlu dijelaskan lebih teknis.
Setidaknya, jika infrastruktur dan suprastrukturnya sudah siap, andaikan berhadapan dengan kondisi masyarakat high context culture, implementasi keterbukaan informasi perlahan dapat meyakinkan dan sekaligus sudah memiliki pagar bagi euforia kelompok masyarakat yang low context culture. Hal itu sangat memungkinkan dapat meminimalisasi terjadinya konflik, baik di antara pengguna informasi dengan badan publik maupun di antara kelompok masyarakat yang masih high context culture dengan low context culture. Kita semua pasti tidak ingin lahirnya perundang-undangan baru malah akan menciptakan kekisruhan. Kita berharap UU ini dapat memberikan maslahat yang besar bagi bangsa ini. Amin. ***
Mahi M. Hikmat, dosen UIN Sunan Gunung Djati, Unpas, dan Unikom Bandung, kandidat doktor Ilmu Komunikasi PPs. Unpad.
Sumber, pini Harian Pikiran Rakyat Edisi 03 Mei 2010