Taat pada negara tidak perlu diperdebatkan lagi, wajib. Substansi dari ketaatan pada negara adalah ketaatan pada konstitusi. Dalam teori politik aliran Sunni (sebuah aliran pemikiran politik Islam) dikatakan, ketaatan pada negara tidak terkait dengan baik atau buruknya pemimpin, sebab yang ditaati adalah konstitusi bukan individu.
Terjadi sebuah ironi pada saat Taufik Kiemas, Ketua MPR RI, wafat. Pemerintah mengajak agar menaikkan bendera merah putih setengah tiang, sebagai penghormatan kepada pemimpin lembaga tinggi negara. Namun, ajakan tersebut hanya didengar oleh segelintir orang. Tidak ditemukan banyak orang yang menaikkan bendera setengah tiang, baik di rumah-rumah penduduk maupun di kantor-kantor instansi pemerintahan.
Ajakan yang disampaikan pemerintah untuk menaikkan bendera setengah tiang adalah dalam rangka menghargai lembaga negara, bukan menghargai individu. Namun, ajakan tersebut tidak mendapat respon positif dari rakyat. Apakah ini sebuah pertanda bahwa bangsa Indonesia tidak cinta pada pemimpinnya?
Hal ini merupakan persoalan penting yang harus mendapat perhatian. Kehilangan pemimpin di negeri ini, wafat umpamanya, tidak menjadikan sedih masyarakat dan merasa kehilangan. Berapa orangkah orang yang meneteskan air mata ketika ada pemimpin atau mantan pemimpin meninggal? Saya pikir hanya keluarganya yang meneteskan air mata. Bahkan, mungkin saja ada yang berbahagia, terutama lawan politiknya. Fenomena ini merupakan data kasat mata yang bisa dibaca bahwa militansi dan rasa memiliki rakyat pada negara sangat lemah, sebagaimana tercermin dalam ketidakmerasaan kita ketika kehilangan pemimpin negeri ini.
Ketika kita berbicara NKRI, pertanyaan yang muncul, siapa yang berani pasang badan untuk menaruhkan nyawa dalam rangka membela negeri ini? Adakah para pemuda bangsa ini yang siap untuk berada di garis depan medan perjuangan untuk mengangkat senjata, andaikan (mudah-mudahan tidak pernah terjadi) ada serangan militer negara lain?
Adagium Islami yang popular di tahun 80-a dan sering didengungkan adalah: cinta tanah air bagian dari keimanan (hubbul wathan minal iman). Belakangan ini kata-kata tersebut hilang dari peredaran. Para juru dakwah dan birokrat sudah tidak banyak lagi menggunakan kalimat tersebut dalam biantara mereka.
Jadi, apa penyebab melunturnya militansi bangsa ini terhadap negara dan mengutuhnya apatisme? Kita pernah menuding atau mengambinghitamkan modernisasi yang meluluhlantahkan militansi bangsa ini, termasuk melunturkan ideologi yang dipegangnya.
Tudingan tersebut keliru. Toh, di negara-negara yang lebih modern dibanding kita rakyatnya tidak kehilangan keberpihakan pada negara. Nasionalisme mereka sangat kuat. Mereka tetap bersedia bayar pajak yang tinggi pada negara dan tidak kehilangan taat pada aturan-aturan yang dibuat negara. Bahkan, ketika salah seorang pemimpin mereka meninggal, gambaran sedih dan kehilangan tampak dari sikap mereka. Belakangan ini kita menyaksikan bagaimana rakyat Venezuela yang merasa sedih atas kehilangan Hugo Chavez dan rakyat Inggris yang kehilangan Margaret Thatcher. Kurang modern apa mereka dibanding kita, tapi keberpihakan pada Negara tetap tinggi.
Muncul sebuah dugaan bahwa penyebab melunturnya ketaatan bangsa pada negara adalah perilaku orang-orang yang menjalankan organisasi negara ini. Tampaknya, ini dugaan kuat. Syahwat korupsi yang tidak mengendur di kalangan para penyelenggara negara ini, bahkan semakin meluap-luap, merupakan faktor dominan yang menyebabkan lunturnya keberpihakan bangsa ini pada negara.
Selain syahwat korupsi, ada juga faktor yang membinasakan ketaatan rakyat pada negara, yaitu kepurapuraan para pemimpin. Purapura simpatik, purapura merakyat, purapura sederhana, dan purapura lainnya.
Kita sering melihat kepurapuraan pemimpin pada saat terjadi bencana. Ketika terjadi banjir, upamanya, seorang pemimpin, lebih banyak lagi calo(n) pemimpin, disorot kamera berada di tengah-tengah luapan air. Itu pun di tempat yang dangkal, bukan di tempat yang deras airnya. Perbuatan ini disangka sebuah bentuk simpatik kepada rakyat dan rakyat pun tertipu dengan ulah tersebut; mereka menganggap dia pemimpin yang sebenarnya.
Apakah dengan berada si pemimpin di tengah-tengah luapan air tersebut banjir menjadi teratasi? Tidak. Toh, dia bukan mau mengatasi banjir, melainkan mau mencuri perhatian rakyat untuk kepentingan-kepentingan pragmatis. Buktinya, banjir masih tetap parah dan malah semakin tidak teratasi.
Menurut saya, itulah salah satu problem mendasar kenapa ketaatan bangsa ini pada negara sangat rendah. Selama para penyelenggara negara terus-terusan dikuasai oleh syahwat korupsi dan dijangkiti kepurapuraan, dipastikan rakyat ini akan semakin luntur ketaatannya pada negara.
Saya ingin mengingatkan kepada banyak orang. Kita harus membedakan antara ketaatan pada individu dan pada negara. Ketaatan pada individu itu terbatas oleh ruang dan waktu, sedangkan ketaatan pada negara abadi, tidak terbatas. Sehubungan dengan ini pula, kita tidak elok mengamuk dan merusak fasilitas publik, hanya gara-gara calon pemimpin yang kita usung kalah dalam pertarungan politik.
Resiko dari sebuah negara yang didasarkan pada konstitusi adalah bahwa keberpihakan tertinggi hanya pada aturan bukan pada perseorangan. Ketika menurut konstitusi individu kalah atau salah, tidak ada lagi ruang untuk berbuat anarkis dengan dalih membela individu yang bersangkutan. Kita belajar berpihak pada konstitusi, walaupun sulit dan susah dilaksanakan.
Deddy Ismatullah, Guru Besar Hukum Tata Negara, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber Pikiran Rakyat, 14 Juni 2013