“Kesenyapan” Kenaikan BBM

(UINSGD.AC.ID)-Apapun alasan Pemerintah, menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tetap menyesakan dada rakyat karena akan berdampak pada kenaikan harga-harga lainnya, termasuk harga kebutuhan pokok rakyat. Apalagi, banyak juga penelitian lalu membuktikan, kenaikan BBM berdampak juga pada makin meningkatknya angka kemiskinan. Realitas tersebut kontras dengan grand desain pendirian negara ini yang ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Secara historis, peran negara bergeser seiring perkembangan waktu. Awalnya, kehadiran negara melindungi rakyat dari hommo homini lupus, bellum omnium contra omnes, yakni mencegah manusia tidak menjadi serigala yang menerkam manusia lainnya; mencegah berlakunya hukum yang kuat menguasai yang lemah. Berikutnya, kehadiran negara keeping law and order, sehingga rakyat merasa aman dan nyaman. Kemudian, peran negara meluas meningkatkan welfafe state atau kesejahteraan rakyat (Ountarto (2019). Ketika kebijakan negara cenderung kontras dengan tujuan menyejahterakan rakyat, pergeseran apa lagi yang menjadi tujuan negara?

Komunikasi Politik
Namun fenomena yang sangat menarik, kebijakan kenaikan BBM tahun ini tidak terlalu riuh, bahkan nyaris “senyap”. Mungkin komunikasi politik Pemerintah yang hebat karena dapat meyakinkan rakyat bahwa kebijakan menaikkan BBM dipahami rakyat sebagai pilihan tepat dengan kondisi dan situasi dunia dan negara seperti sekarang ini.

Dalam studi komunikasi politik, para penyelenggara negara menduduki posisi aktor politik utama. Dalam pendekatan linier, Pemerintah sebagai komunikator yang memiliki daya deteminasi politik sangat kuat, sehingga berpengaruh besar pada kognisi, afeksi, dan konasi rakyat. Bahkan, pendekatan sirkuler pun “tidak berdaya” untuk memberikan ruang yang cukup pada berkembanya two way traffic coommunication yang sehat.

Dalam sistem politik demokrasi, seharusnya komunikasi politik lebih cair; two way traffic communication mewujud. Pemerintahan, walaupun dikategorikan sebagai aktor politik berada pada wilayah suprastruktur politik, tetapi “bukan” komunikan karena pendekatannya sirkuler, tetapi partisipan politik pertama. Rakyat sebagai partisipan politik kedua. Di antara keduanya sejajar saling menyampaikan pesan politik yang setara.

Rakyat memiliki kekuasaan atas pengelolaan negara, sehingga menurut Surbakti (2008) rakyat mendelegasikannya kepada para pengelola Pemerintahan di suprastruktur politik sebagai Presiden, anggota DPR, anggota DPD, bahkan sampai ke tingkat lokal para pengelolaan pemerintahan di daerah.

Sejatinya, komunikasi politik pun beradaptasi dengan sistem politik. Dalam sistem politik demokrasi, kebijakan Pemerintahan sebagai message ber-resiprokal dengan respon rakyat, sehingga komunikasi politik dinamis. Kebijakan pro-rakyat gayung bersambut dengan dukungan; kebijakan kontra-rakyat kata berjawab dengan kritikan, bahkan unjuk rasa turun ke jalanan. Namun, kebijakan Pemerintah menaikkan BBM awal September tahun ini justru berespon “senyap”. Hanya satu dua orang; hanya satu dua kelompok rakyat yang mencoba “bernegosiasi”.

Kalau berkaca pada masa lalu, baik pada masa Orde Lama, Orde Baru, bahkan pada awal-awal Orde Reformasi pun hampir semua kebijakan Pemerintah terkait kenaikan BBM bersambut ketidaksetujuan rakyat. Bahkan, tidak jarang disambut dengan kemarahan rakyat, unjuk rasa yang terkadang berakhir chaos atau tuntutan mundur pada penguasa Pemerintahan.

Sikap DPR
Bagi para wakil rakyat di DPR pun, kenaikan harga BBM menjadi momentun khusus untuk merebut kepercayaan rakyat. Jika DPR berhasil mematahkan kebijakan Pemerintah menaikkan BBM, media massa dan rakyat mencatat bahwa DPR peduli terhadap aspirasi rakyat. Memang secara esensial tugas para wakil rakyat mengontrol kebijakan Pemerintah agar tidak bertolak belakang dengan kehendak rakyat. DPR harus memastikan bahwa seluruh kebijakan Pemerintah Pro-rakyat.

Pemikiran, sikap, dan perilaku politik anggota DPR seringkali mengibarkan bendera fraksi yang teridentifikasikan sebagai tindakan Parpol. Keberpihakan mereka pada rakyat pun sering diinterpretasikan sebagai investasi politik bagi masa depan Parpol yang mungkin dapat menjadi tabungan pada Pemilu berikutnya. Pernyaatan dan perjuangan para anggota DPR di Senayan, seringkali menjadi kampanye gratisan bagi mereka dan Partai Politiknya.

Namun, hasil mapping DPR 2019-2024 menunjukkan, nyaris semua fraksi berkoalisi dengan Pemerintah, sehingga sangat memungkinkan mereka akan mendukung berbagai kebijakan Pemerintah, termasuk kebijakan menaikkan BBM. Namun, apa kabar dengan PKS dan Partai Demokrat yang selama ini terpetakan sebagai Parpol oposisi. Apa karena hanya menguasai sekitar 15% kursi DPRD, sehingga suaranya tidak lagi nyaring.

Padahal konsepsi ideal checks and balances merupakan prinsip ketatanegaraan yang demokratis menghendaki agar kekuasaan legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) sama-sama sederajat dan saling mengontrol. Namun, ketika fakta fraksi-fraksi di DPR dominan berkoalisi dengan eksekutif dan yang tersisa hanya sekitar 15% kursi, maka prinsip checks and balances sulit untuk terjadi. Justru yang sangat memungkinkan executive heavy, seperti halnya pada masa Orde Baru.

“Kesenyapan” respon rakyat atas kenaikan BBM sangat prediktif. Bisa jadi pertanda executive heavy akan hidup kembali, tetapi tidak sinergis dengan usia Pemerintah yang tinggal lebih kurang setahun. Atau apatisme rakyat yang kian menebal karena teriakan mereka seringkali tidak didengar. Namun, untuk menjaga husnudzon, “kesenyapan” bisa saja menjadi pertanda kekuatan kejujuran niat Pemerintah bahwa kendati pahit kenaikan BBM merupakan solusi terbaik bagi rakyat, sehingga rakyat pun paham dan bersambut dukungan. Karena diam pun boleh jadi bermakna mendukung.

Mahi M. Hikmat, Dosen Komunikasi Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber Pikiran Rakyat 7 Agustus 2022.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *