Kesadaran identitas yang sangat jarang disebut adalah agama. Sangat jarang terdengar ketika ditanya seperti itu, jawaban kita: ‘Saya Muslim’ atau ‘Saya orang Islam,’ padahal agama adalah kesadaran yang paling primordial pada setiap manusia. Kemusliman adalah kesadaran sejak di dalam rahim, identitas yang kita bawa sejak azali: “Alastu birubbikum? Bala syahidna!” (Apakah aku ini Tuhanmu? Benar, kami bersaksi). “Ana Muslim qabla kulli syai-in” (saya adalah seorang Muslim sebelum yang lain-lain) adalah ajaran yang mengingatkan untuk menyadari identitas agama sebagai yang pertama dan utama dalam kehidupan. Kemusliman adalah identitas asli, genuine, bukan buatan.
Apa konskuensinya? Kesadaran identitas utama akan mempengaruhi pikiran dan tindakan kita selanjutnya. Bila tentang diri yang kita sadari pertama kali adalah nama, status dan pekerjaan, maka itulah yang akan mengendalikan dan menjadi kesadaran kita. Bila kita sukses, maka kesadarannya adalah saya (Ahmad/Dewi) yang sukses, atau saya laki-laki/perempuan yang hebat, atau ‘saya/dia adalah karyawan, guru, direktur, manajer yang hebat.’ Atau, saat berada dalam kesulitan, saya adalah Ahmad/Dewi yang terpuruk, karyawan atau manajer yang sedang jatuh. Bila kita terserang penyakit, yang kita obati adalah Ahmadnya, Fitrinya, karyawannya, gurunya, dosennya, direkturnya dll, semuanya adalah identitas luar/buatan atau status lahiriah. Bila hidup kita menderita atau ditimpa persoalan berat, yang akan kita obati adalah nama dan status lahiriahnya itu, bukan jiwanya atau kemusliman sebagai identitas aslinya. Maka, obatnya pun adalah obat-obat luar yaitu hiburan, jalan-jalan, makan minum di kafe, nonton, kumpul-kumpul, clubbing dll, padahal yang menderitanya adalah jiwa. Lain kata, sakitnya di jiwa obatnya lahiriah, gak nyambung. Ibaratnya, sakit gigi berobat ke bengkel, motor rusak datang ke apotek. Karena gak klop, penderitaan jiwa gak sembuh-sembuh dan tak hilang-hilang.
Demikian pun dalam soal yang lain. Kita merasa tak sukses bila kedudukan sebagai pejabat tinggi kok rumahnya cuma satu, direktur kok mobilnya tidak mewah, dosen kok rumahnya kecil, ustadz terkenal kok istrinya satu dst. Yang mengendalikan diri dan menjadi kesadaran adalah status-status, bukan kesadaran agama yaitu kesadaran diri sebagai seorang Muslim. Yang muncul adalah tuntutan-tuntutan, keinginan-keinginan, asesoris-asesoris material dll. Kesadaran kemusliman akan mengatakan, ‘saya sukses karena kehendak dan ridha Allah saja, terlalu sombong kalau itu hasil usaha saya,’ ‘saya jatuh karena saya sombong,’ ‘saya rugi karena saya melakukan kesalahan,’ ‘saya sakit karena jiwa saya tidak seimbang,’ dst. Kesadaran identitas sebagai Muslim juga akan mengutamakan pertimbangan salah benar dalam melangkah dan menentukan pilihan karena Muslim sadar akan konsekuenasi hari akhirat. Kesadaran ini sekarang relatif sudah hilang, tidak menjadi kesadaran diri dan umat. Akhirnya, agama tidak nyambung dengan perilaku. Agama atau kemusliman tidak menjadi kesadaran tindakan sehari-hari dari rakyat jelata hingga para koruptor ‘Muslim’ yang merajalela.
Dominasi kesadaran identitas lahiriah sudah menjadi sistem kesadaran umum dan cara berfikir yang merata. Persoalan-persoalan diri dan bangsa Indonesia banyak berakar dari kesadaran identitas yang palsu ini!! Wallahu ‘alam. [Moeflich Hasbullah]