KEMURNIAN ISLAM

Kita dihentakkan lagi oleh sebuah kasus demo berdarah di Libya, yang memakan korban pejabat Amerika Serikat. Duta Besar Amerika Serikat untuk Libya, J.Cristhoper Stevens, meninggal dunia akibat gedung konsulatnya mendapat hantaman roket dari para pengunjuk rasa yang mengecam sebuah film amatiran berdurasi pendek, Innocence of Muslims.

Film ini disutradarai oleh orang Amerika yang bernama Sam Bacile, walaupun diragukan apakah ini nama asli atau sekadar samaran. Di beberapa negara Timur Tengah, gelombang unjuk rasa mengecam film ini terus bergelora, termasuk di Mesir.

Saya menyaksikan cuplikan film tersebut. Walaupun bukan ahli film, saya menilai film tersebut amatiran. Alur ceritanya tidak runtut dan terpenggal-penggal. Dominan ceritanya adalah visualisasi perilaku sosok yang digambarkan Muhammad. Sosok tersebut digambarkan sebagai seseoarang yang bengis dan sadis, tidak berperasaan, haus seks, gemar merebut isteri orang lain, dan sering mengkhianati kesetiaan dua isterinya, yaitu Aisyah dan Hafshah. Di akhir kisah, film ini memvisualisasi Nabi Muhammad yang kepergok sedang berselingkuh dengan wanita lain oleh Aisyah dan Hafsah, sehingga dia dipukuli oleh sandal yang sedang dipakai oleh keduanya.

Isi film ini sangat jauh dari judulnya, Kemurnian Islam. Kemurnian Islam itu tauhid, tenggang rasa, kasih sayang, keharmonisan, toleransi, dan anti kekerasan. Film tersebut justeru membalikkan semua itu.

Wajar kalau kaum Muslim beraksi keras atas film tersebut, walaupun tidak wajar disikapi dengan kekerasan. Saya memperkirakan, pembuat film ini memiliki tujuan lain dari sekadar seni. Yang paling kentara adalah provokasi untuk menyulut kekerasan.

Kita tidak habis pikir, betapa teganya mereka yang membuat film ini. Apa yang terpikir dalam benak mereka. Selain itu, betapa teganya mereka menjadikan sosok yang sangat diagungkan untuk dijadikan bahan pelecehan.

Bagi umat Islam, walaupun dilecehkan seratus ribu kali lebih parah dari film Innocence of Muslims, Muhammad  tetap agung. Keagungannya tidak akan terganggu dan tercoreng oleh pelecehan tersebut. Oleh sebab itu, kita sikapi film tersebut secara tepat. Kita kritik dan kecam film tersebut, namun tidak harus dengan kekerasan.

Saya teringat pernyataan Hasan Bashri, seorang ulama sufi Abad Ketiga, yang menyatakan bahwa sehebat apapun orang melecehkan Muhammad, dia tidak akan rendah gara-gara dihinakan. Toh, dia sudah agung dari sananya. Keagungan seseorang yang telah diagungkan oleh Allah tidak akan turun derajatnya, gara-gara direndahkan oleh orang lain. Baru dia akan turun derajat, justeru apabila dirinya merendahkan dirinya sendiri.

Nabi Muhammad memang mulia. Mereka yang mencoba melecehkannya memang tahu bahwa beliau manusia mulia. Andaikan mereka tidak tahu kemuliaan dan keagungan Muhammad, ngapain  harus membuat film untuk melecehkan beliau. Artinya, mereka yang melecehkan Muhammad menyadari sekali keagungan beliau dan mengetahui potensi di balik keagungan ini.

Sekali lagi, tidak penting kita menyikapi film Innocence of Muslims dengan kekerasan. Apabila kita menyikapi dengan kekerasan, berhasillah target mereka. Bagi mereka, keagungan Muhammad adalah potensi kekerasan. Dijadikanlah keagungan tersebut sebagai pembakar emosi masyarakat, secara khusus umat Islam.

Kita merasa miris. Potensi-potensi kekerasan terus dicari oleh mereka yang tidak menghendaki kedamaian di muka bumi. Justeru, kesucian dan kemuliaan agama dianggap sebagai potensi kekerasan dan pembinasaan.

Perilaku semacam itu merupakan pemicu maraknya terorisme. Di satu sisi ada upaya global untuk menangani terorisme. Namun, di sisi lain ada juga upaya global untuk membangkitkan terorisme. Di satu sisi terdapat sejumlah orang yang komitmen memberantas terorisme, namun di sisi lain terdapat juga sejumlah orang yang komitmennya sangat kuat untuk membangkitkan terorisme. Wajarlah, apabila terorisme tidak mudah diberantas dan dihentikan.

Kita tidak menghendaki hal-hal suci dijadikan bahan baku kekerasan. Keagungan Muhammad dan Islam, juga keagungan agama lain, bukan untuk dijadikan peluru kebencian dan kedengkian. Keagungan-keagungan tersebut justeru untuk memuliakan manusia dan kemanusiaan. Tuhan menurunkan agama hanya untuk kemaslahatan umat manusia, bukan untuk menistakannya.

Ajakan saya, hentikan penistaan agama, sebab efeknya bukan kepada agama yang dinistakan. Melainkan justeru efeknya adalah kedamaian, ketenteraman, dan keselamatan umat manusia. Begitu halnya kita mesti menghentikan pembajakan agama untuk kepentingan kekerasan. Tempatkan agama sebagai hal yang mulia. Jadikan ia sebagai sumber kebaikan, sumber perilaku, dan sumber kedamaian dunia.

Deddy Ismatullah, Guru besar hukum Tata Negara, Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Sumber, Opini Pikiran Rakyat 17 September 2012
 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *