(UINSGD.AC.ID)-Alkisah, seorang yang bodoh diganggu dan digoda sekelompok anak kecil. Untuk mengusir anak-anak itu, dikarang cerita bahwa ada pembagian kue di kampung sebelah. Berangkatlah anak-anak yang menggangu itu ke kampung sebelah. Kala orang bodoh melihat itu, dia pun berpikir jangan-jangan benar ada yang membagikan kue di kampung sebelah, lalu dia pun ikut pergi ke kampung tersebut.
Begitulah kebodohan, kadang tertipu kebohongan yang dikarang diri sendiri. Ketika kepalsuan telah diviralkan, kerap seolah-olah menjadi kebenaran. Ketika kebaikan tak diviralkan, seolah kejahatan.
Dalam Al-Quran, pembohong tulen itu dipredikati orang munafik. Allah SWT menyebut mereka sebagai orang yang benar-benar bodoh. Hanya menipu diri sendiri. Berlebihan dalam kedustaan, sehingga seolah olah menjadi kebenaran. Lupa bahwa dia lah yang awalnya menciptakan kebohongan.
Ada dua jenis kebodohan, biasa dan sangat bodoh. Kebodohan yang biasa itu disadari pemiliknya, sehingga mau belajar. Mendengar dan rendah hati untuk mendalami ilmu pengetahuan karena mengakui kekurangan. Bilapun usia menginjak tua, tetap bersemangat membekali diri dengan kebenaran. Terus meningkatkan kemampuan untuk membina generasi penerus nanti.
Selain itu, ada kebodohan yang berlebihan. Dimana orangnya tidak menyadari bahwa ia sangat bodoh, karena keangkuhan yang menyelimutinya. Terjebak pada merasa pandai dan bijak. Malas untuk belajar, menganggap rendah dan bodoh teman dan bahkan gurunya sendiri. Ingin didengar, tak mau mendengar.
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, “Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.
Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari.” (QS Al-Baqarah: 11-12). Setelah di ayat tiga sampai lima surah Al-Baqarah, Allah SWT menjelaskan ciri orang yang bertakwa, di ayat enam sampai dua puluh, dijelaskan tentang kelompok orang yang menolak kebenaran (kafir) dan munafik. Mengolok-olok keimanan, membeli kesesatan dengan petunjuk, terombang ambing dalam kesesatan.
Hidupnya dihinggapi kebutaan, bisu dan tuli karena penyakit hati. Bentuknya berupa kesombongan, fanatisme, mengikuti nenek moyang dan orang besar tanpa sikap kritis. Penyakit hati lainnya yang menyebabkan manusia menjauhi kebenaran yaitu kemewahan, kejahatan dan kenistaan yang menyebabkan enggannya menerima kebenaran.
Sebenarnya hal itu bisa dihindari bilamana mau belajar sekuat tenaga meletakkan tauhid dalam sanubari dan menjauhi penyakit hati. Pintalah selalu petunjuk kepada Tuhan, agar diri ini lapang dan menerima kebenaran.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a: Rasulullah SAW bersabda, “Ada empat macam sifat yang jika ada pada diri seseorang, dia menjadi seorang munafik tulen, dan barang siapa mempunyai salah satu sifat itu, maka melekat padanya sifat munafik hingga dia meninggalkannya, yaitu apabila berbicara dia berdusta, apabila membuat persetujuan dia berkhianat, apabila berjanji dia tidak menepati, apabila bertengkar, dia berbuat jahat,” (HR. Muslim).
Iu Rusliana, dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber, Republika 29 November 2021