Penerusan pesan, transmisi, hadis telah berlangsung 13 abad, sejak pembukuan. Diawali dari praktek muslim sejak masa Rasulullah Saw., kemudian dibukukan ke dalam kitab hadis. Sejak rampung pembukuan di abad ke-8, transmisi hadis di seluruh dunia telah berlangsung 13 abad.
Paling tidak, ada dua model utama transmisi hadis Pertama, transmisi melalui penjelasan (syarah) teks hadis. Kedua, transmisi melalui ulasan atas syarah (hasyiyah), yakni syarahnya syarah. Syarah kitab hadis secara fenomenal memuncak hingga abad 12. Adapun hasyiyah berlangsung secara intensif selama abad ke-13. Dua model utama ini dibentuk oleh situasi dan kondisi dunia Islam.
Lompat ke abad ini, yakni kelangsungan transmisi setelah 13 abad. Khususnya, di abad 20, kajian hadis dipenuhi tahrij dan tematik.
Tahrij adalah penelusuran hadis ke dalam kitab-kitab primer lengkap dengan rantai periwayatnya. Tematik ialah menghimpun tema-tema hadis untuk dikelompokan secara konsepsional dikaitkan dengan isu-isu aktual. Paling mutakhir, berkembang living hadis, suatu pendekatan baru yang beroperasi “memeriksa” nilai-nilai hadis yang hidup di masyarakat.
Ada pepatah mengatakan “hidup dijalani ke depan tetapi dipahami ke belakang.” Ketika Islam masuk Nusantara, transimsi hadis mula-mula berlangsung secara lisan sepanjang abad 13. Sampai abad 18 dan 19 ditemukan karya-karya lokal dalam bentuk kitab tauhid, tafsir, tasawuf, dan lain-lain. Jejak ini, memang beberapa luput dari potret sejarah.
Realitas boleh hilang dari catatan sejarah, tetapi transmisi senyatanya terus berlangsung. Sebagian “terlipat waktu” seluk-beluknya. Seperti transmisi hadis oleh aulia, para wali, melalui pendekatan budaya. Transmisi oleh para kiyai di pesantren-pesantren hingga ke pelosok, hal ini tentu tidak sepenuhnya terekam. Senyatanya, transmisi hadis terus berlangsung, sejak sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia.
Bagaimana keberlangsungan transmisi hadis abad 21. Abad ini dikenal tidak menentu, ambigu, dan tak terprediksi. Anotasi ini untuk diskusi, artikel-artikel tengah dihimpun, dan kontribusi pembaca yang budiman pasti sangat diharapkan untuk penulisan artikel secara ilmiah [Tabik].
Dr. Wahyudin Darmalaksana, M.Ag., Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung