PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) tidak efektif. Demikian Presiden Joko Widodo mengevaluasi kebijakan “perang” terhadap pandemi covid-19. PPKM memang tidak lebih istimewa ketimbang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), sehingga dapat diprediksi, hasilnya pun tidak akan lebih baik dari PSBB. Bahkan, mungkin lebih buruk karena masa, situasi, dan kondisi pemberlakuan PPKM lebih sulit.
PSBB lahir berdasarkan PP No. 21/2020 tentang PSBB dalam Rangka Pencepatan Penanganan Covid-19. Kebijakan itu ditindaklanjuti dengan Permenkes No. 9/2020 tentang Pedoman PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. PSBB dimulai dari DKI Jakarta, 10 April 2020 dan bertahap diberlakukan ke berbagai kota secara bottom-up.
Dengan merujuk pada PP yang sama, Mendagri mengeluarkan Instruksi Nomor 01/2021 tentang PPKM untuk Pengendalian Penyebaran Virus COVID-19. PPKM diterapkan khusus untuk beberapa kabupaten/kota di Jawa dan Bali pada 11-25 Januari yang diperpanjang hingga 8 Februari 2021. PPKM diberlakukan karena tingkat kematian di atas rata-rata tingkat kematian nasional, tingkat kesembuhan di bawah rata-rata tingkat kesembuhan nasional, kasus aktif di atas tingkat kasus aktif nasional, tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit untuk ICU dan ruang isolasi di atas 70%.
Selain PSBB dan PPKM, muncul juga sejumlah istilah dalam upaya penanganan Covid-19, yakni PSBB transisi, PSBB ketat, Pembatasan Sosial Berkala Mikro atau Kecil (PSBM/PSBK), Pembatasan Sosial Kampung Siaga (PSKS) plus AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru) dan PPKM Mikro. PSBB, PPKM, dan istilah apapun, prinsipnya sama: pembatasan kegiatan untuk penanggulangan covid-19. Tidak jauh berbeda dengan Lockdown, kendati beberapa pihak alergi dengan istilah Lockdown.
Menakar Kebijakan
Apapun istilah yang digunakan dalam “berperang” melawan pandemi covid-19, indikator efektivitas kebijakan banyak bertumpu pada angka kuantitatif. Ahli Epidemiologi diasumsikan sangat “mendewakan” pendekatan objektif untuk kesimpulan kualitatif dengan kategori zona hitam, merah, oranye, kuning, dan hijau. Secara sederhana, data merujuk pada statistik Gugus Tugas Covid-19, sehingga masyarakat “awam” pun seharusnya dapat ikut serta meng-evaluasi. Kendati ada kalanya data tersebut di-ibaratkan gunung es atau menemukan jarum di antara tumpukan jerami.
Namun apalah daya, Indonesia teramat kompleks. Teramat sulit untuk memotret bumi seluas 1.919.440 km2, penduduk sebanyak 268.074.300 yang tersebar di 34 Provinsi, 416 Kabupaten, 98 Kota, 7.246 Kecamatan, dan 803.813 Desa dan Kelurahan disertai beragam latar belakang yang terbentang dari Sabang sampai Merauke (Statistik Indonesia, 2020).
Untuk menakar formulasi efektivitas kinerja institusi, seperti Pemerintah, menurut Poerwadarminta (1991:467), dapat dengan dua kategori: berdasarkan kuantitas dan kualitas. Kategori kuantitas kinerja, menurut (Robbins, 2006), jumlah kinerja yang dihasilkan, baik berupa unit maupun siklus aktivitas. Secara kuantitatif Pemerintah sudah mengeluarkan banyak kebijakan dalam menghadapi pandemi covid-19 beserta efek dominonya.
Selain mengeluarkan Perpu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, Pemerintah juga mengeluarkan sejumlah peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, dan instruksi presiden yang diikuti dengan berbagai aturan yang dibuat sejumlah kementerian.
Kebijakan Pemprov. Jabar
Kebijakan Pemerintah pun diikuti kebijakan Pemda karena UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanahkan, Pemda pun bertanggungjawab atas berbagai bencanaa, termasuk pandemi covid-19. Seperti Pemprov. Jabar sangat reaktif ikut bertanggungjawab dalam “berperang” melawan pandemi covid-19 dengan mengeluarkan berbagai regulasi strategis sesuai kewenangan yang diatur UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan perubahannya.
Gubernur Jabar pernah mewacanakan untuk melahirkan Perda Penanggulangan Covid-19, kendati Jabar pun sudah memiliki Perda No. 02/2010 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dan Perda No.14/2019 tentang Penyelenggaraan Kesehatan.
Selain itu, Pemprov. Jabar, selama 2020, melahirkan sedikitnya 117 produk hukum yang substansinya terkait upaya penanggulangan pandemi covi-19, baik bagi korban terpapar maupun warga terdampak. Ke-117 produk hukum tersebut, terdiri dari 22 Pergub, 68 SK-Gub, 23 SE-Gub, dan 4 Insgub. Produk hukum tersebut makin banyak jika ditambah dengan kebijakan-kebijakan formal yang dikeluarkan OPD dan BUMD.
Banyaknya kebijakan “perang” covid-19 layak diapresiasi karena menindikasikan tingkat resposibilitas, kreativitas, dan inovasitas tinggi. Namun, alangkah “sempurna-nya” jika kebijakan itu pun memiliki bobot kualitas tinggi. Kualitas kinerja lembaga, menurut Robbins (2006), diukur melalui persepsi terhadap kualitas output. Dalam konteks Pemerintahan, salah satu alat ukur kualitas kebijakan adalah isi yang mampu mengakomodasi kepentingan seluruh rakyat serta mendorong pemerintah untuk menyejahterakan rakyat. Hal itu dapat ditakar melalui persepsi khalayak sebagai user.
Memotret persepsi keberterimaan sampai kepuasan rakyat Indonesia terhadap kebijakan Pemerintah, bukan hal mudah karena harus memotret persepsi ratusan juta kepala. Kendati, Pemerintah pun memiliki program sensus, tetapi seringkali tidak spesifik pada satu persoalan. Metode penelitian ilmiah pun banyak yang dapat dijadikan rujukan dengan menjanjikan validitas tinggi, tetapi terkadang acapkali terkalahkan. Dasar nilai terpenting dari persepsi rakyat adalah kerelaan Pemerintah untuk menempatkan suara rakyat sebagai suara tertinggi, sebagaimana ajaran demokrasi yang dijunjung di negeri ini. Banyak kebijakan bagus, lahir berbagai istilah kreatif, tetapi tidak mengabaikan substansi nilai kemaslahatan dan kemanfaatan bagi kehidupan rakyat. Semua kebijakan “perang” terhadap covid-19 hanya untuk membela rakyat. ***
Mahi M. Hikmat, Dosen Fakultas Adab dab Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung