Ke UIN SGD, USI Malaysia Diskusi Akidah

[www.uinsgd.ac.id] Dalam rangka program Lawatan Antarbangsa dan Musafir Ilmu, 26 mahasiswa jurusan Akidah dan Agama, Fakulti Kepimpinan dan Pengurusan (FKP), Universiti Sains Islam Malaysia (USIM) berkunjung ke fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, Jawa Barat, Kamis lalu (28/8).

Dalam kunjungan ini, rombongan dari USIM memperkenalkan profil Universtitas mereka, kemudian dilanjutkan diskusi yang bertajuk “Isu-Isu Aqidah Indonesia-Malaysia, Cabaran dan Realiti”.

Hadir memberi sambutan Dr. Ahmed Abdul Malik, salah satu dosenFKP, mengungkap bahwa fakultas ushuluddin merupakan ummul kulliyat (induk fakultas-fakultas). Sehingga, kedatangan mereka ke fakultas Ushuluddin UIN Bandung, menurutnya dikarenakan ada kemiripan dengan Fakulti Kepimpinan dan Pengurusan yang ada di USIM.

“Kami siap belajar dari fakultas Ushuluddin,” ujar peraih gelar doktor di UIN Syarif Hidayatullah yang juga pernah mengajar di Pesantren Al-Fattah Lampung ini.

Usai pembukaan, beberapa mahasiswa menanyakan isu-isu akidah di Indonesia yang sedang berkembang. Selain itu, mereka juga meminta narasumber untuk memaparkan keberadaan Syiah dan aliran-aliran sesat yang ada di Indonesia.

Sebagai narasumber utama, Dekan fakultas Ushuluddin Prof. Rosihon Anwar memaparkan bahwa ada 6 agama yang diakui pemerintah. Sehingga, agama-agama yang diakui di Indonesia berlindungi pada undang-undang dan hak asasi manusia.

Menerima Beda Pendapat

Menyangkut pertanyaan soal keberadaan Syiah di Indonesia, Wakil Ketua PWNU Jabar ini menerangkan, dalam sejarahnya, aliran Syiah mengaku termasuk bagian dari Islam. Hanya saja, persoalannya di Indonesia tidak lagi berbicara tentang sah atau tidak sah berdasarkan tentang fakta sejarah, tetapi dari siapa yang menilainya.

“Karena di Indonesia itu mayoritas Sunni, oleh karena itu mayoritas orang-orang Sunni menganggap bahwa Syiah itu aliran yang terlarang,” kata profesor yang ahli dalam bidang ilmu tafsir.

Menurutnya, permasalah Sunni-Syiah yang sampai sekarang masih ada merupakan warisan dari konflik Sunni-Syiah pada masa lalu. Khusus di Indonesia, ia mencontohkan kasus komunitas Syiah Sampang, Madura, sebenarnya bukan konflik masalah akidah, tetapi masalah sosial saja.

“Indonesia itu masyarakat yang terbuka, sudah biasa menerima perbedaan pendapat. Mungkin bagi kami, Syiah di Indonesia tidak menjadi konflik yang mengkhawatirkan, kecuali kelompok-kelompok tertentu saja,” ungkap Prof. Rosihon.

Tentang persoalan isu-isu aliran yang dikatakan sesat ataukah tidak sesat, Prof. Rosihon Anwar menjelaskan bahwa kategori sesat dalam konteks negara tidak memiliki batasan yang jelas. Selain itu, sesat juga memunculkan persoalan yang terletak pada perspektif atau sudut pandang siapa yang menilai. “Jadi dalam masalah aliran itu bukan eksak, tapi subjektif,” tambahnya.

Sementara itu, Dr. Ali Masrur pakar tafsir hadits UIN Bandung menyampaikan keberadaan Hizbut Tahrir yang muncul di Indonesia. Ia mencontohkan, Hizbut Tahrir  Indonesia (HTI) bedanya dengan ISIS adalah tidak memakai persenjatan. Uniknya, mereka menarik diri dari kontestasi di dalam Pemilu karena mereka mempunyai keyakinan bahwa Pemilu itu thagut, sehingga aktivitas mereka itu lebih banyak dalam demonstrasi di luar parlemen. Sepak terjang HTI, menurutnya, tidak bisa diremehkan karena gerakannya massif dan nasional.

“Barangkali nanti ada yang tertarik untuk menyusun skripsi atau tesis tentang Hizbut Tahrir yang ada di Indonesia,” tawarnya kepada mahasiswa-mahasiswa USIM yang kini sedang menempuh semester akhir.

Dalam kajian ilmu, menurut ketua Iranian Corner UIN Bandung ini mengingatkan bahwa permasalahan setuju atau tidak setuju itu diperbolehkan untuk dikritik. “Jadi, kita sering salah paham tentang pandangan orang, tetapi kita belum memahami betul pandangan orang tersebut. Ini perlunya kita kaji,” tegasnya.

Selama tiga hari di Indoenia, selain mengunjungi fakultas Ushuluddin UIN Bandung, rombongan mahasiswa USIM ini juga mengagendakan untuk mengunjungi pesantren Miftahul Falah Bandung dan Sekolah Tinggi Agama Islam Jakarta. [Muhammad Zidni Nafi’/Mahbib]

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *