Dalam suatu acara pelepasan mahasiswa saya didapuk untuk menyampaikan kata-kata “pelepasan”. Maksudnya mungkin “nasihat” atau semacam “motivasi” kepada sejumlah mahasiswa yang akan diwisuda.

Saya ragu. Apakah saya bisa menyampaikan nasihat? Lha wong saya aja masih butuh nasihat. Apalagi memotivasi. Telunjuk pimpinan sudah diarahkan kepada saya dan mustahil saya menghindar dengan alasan sakit perut atau alasan lainnya.

Sejenak saya diam. Lalu saya katakan kepada mahasiswa bahwa manusia memiliki banyak sebutan, salah satunya adalah homo sapiens, makhluk yang berpikir. Pikiranlah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Pikiran seumpama generator yang memompa manusia untuk mencipta hal-hal baru bahkan memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan datang dan belum terbayang.

Sebagai homo sapiens pula, kehidupan manusia di dunia bukanlah sebagai “viator mundi” tapi seharusnya sebagai “faber mundi”. Viator mundi adalah sosok makhluk yang hanya lewat tanpa memberikan jejak dalam hidupnya. Tapi sebagai faber mundi, manusia adalah sosok yang mencipta dan melakukan banyak hal penting tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk orang lain.

Tiba-tiba terbersit dalam pikiran saya untuk juga menyampaikan syairnya Rumi. Kata Rumi “kau bukanlah setetes air dalam lautan,
kau adalah seluruh lautan dalam sebuah tetesan”.

Saya sebenarnya tak faham syair ini. Tapi sejauh yang saya mengerti, syair ini menjelaskan hubungan antara “yang-tak-terbatas” dengan sesuatu “yang- terbatas”. “Yang-tak-terbatas” disimbolkan dengan “lautan” sedangkan sesuatu “yang-terbatas” disimbolkan dengan “setetes air”.

Hal yang paling menarik dari analogi ini adalah suatu perbandingan yang jika dilihat sepintas nampak sama, namun jika diperhatikan dan ditelisik lebih dalam ada perbedaan yang cukup mendalam. Perbandingan tersebut ibarat sebuah teka- teki dalam menjawab hubungan antara “yang-terbatas” dan “yang-tak-terbatas”.

Perbandingan manakah yang lebih tepat antara “kau adalah setetes air dalam lautan” atau “kau adalah lautan dalam setetes air”? Rumi menjawab teka teki ini dengan menjelaskan bahwa “kau adalah lautan dalam setetes air”. Alasannya karena antara Tuhan dan segala realitas termasuk manusia tak pernah terpisah.

Tapi jika kita mengatakan “setetes air dalam lautan” menjelaskan dua hal yang terpisah antara “setetes air” dan ‘lautan’. Padahal Tuhan dengan manusia tak pernah terpisah.

Jadi apa “nasihat”nya dari syair Rumi ini? Saya, anda dan kita semua tak bisa melepaskan diri dari “ikatan primordial”. Sebuah ikatan yang kejadiannya pernah berlangsung di “masa lampau”. Sebuah ikatan abadi yang memberikan keyakinan kepada saya tentang satu hal bahwa “saya berasal dari sana dan akan kembali ke sana”.

Allahu a’lam[]

16 Pebruari 2020

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *