KAMPUS ISLAM & ERA DISRUPSI

(UINSGD.AC.ID)-“The golden age of universities in the developed world is passing and life is becoming tougher”. Ini adalah ringkasan dari riset yang ditulis oleh Professor Stephen Parker AO (Penasihat Khusus Pendidikan KPMG Australia), tatkala menyorot masa depan perguruan tinggi di era disrupsi. (https://assets.kpmg)

Universitas tradisional, kata Stephen lebih lanjut, mendekati persimpangan jalan. Ia harus memutuskan apakah akan mentransformasi dirinya menjadi entitas jenis baru dan mengoptimalkan diri, atau tidak melakukan apa pun.

Ini sungguh merupakan sebuah peringatan sekaligus saran bagi pengelola perguruan tinggi menghadapi tantangan disrupsi: Melakukan inovasi besar-besaran sehingga tetap eksis, atau diam saja tidak melakukan apa-apa sehingga berada di persimpangan jalan. Pepatah yang berbunyi “berubah atau punah” nampaknya pas disebutkan dalam konteks ini.

Dampak disrupsi kini tidak hanya merambah sektor-sektor industri dan bisnis, tetapi juga sektor pendidikan. Ada tantangan besar berada di hadapan mata. “Keganasan” disrupsi yang menggilas platform tradisional sungguh sangat menghantui para pengelola perguruan tinggi.

Kampus Islam
Disrupsi kini sedang menantang kampus-kampus Islam (baca: Perguruan Tinggi Keagamaan Islam). Era perubahan radikal tersebut menantang kemapanan dan tradisi yang kini sedang berlangsung. Apakah akan punah atau eksis tentu sangat bergantung kepada para pengelolanya. Rumusnya: “Berubah akan eksis. Diam akan tergilas.”

Transformasi beberapa kampus Islam menjadi universitas sejatinya memang perlu dibaca dalam konteks menambah daya kekuatan kampus tersebut untuk menghadapi tantangan-tantangan besar, termasuk era disrupsi. Universitas dengan tawaran banyak program studi (podi), termasuk prodi-prodi umum tentu saja sebuah kekuatan tersendiri jika dimanfaatkan secara optimal. Transformasi di atas mudah-mudahan bukan hanya menyangkut perubahan lembaga, tetapi juga kurikulum, sistem pembelajaran, riset, teknologi, dan kapabilitas kampus.

Kampus-kampus Islam sejatinya tidak saja berjuang meningkatkan daya saing global dengan program-program internasionalisasi kampus, tetapi juga penting berjuang untuk mempertahankan eksistensinya sebagai lembaga perguruan tinggi. Atau, bagaimana kampus Islam ini tetap menjadi destinasi para pelajar untuk melanjutkan studinya.
Inilah persoalannya. Era disrupsi memungkinkan lahirnya institusi-institusi perguruan tinggi dengan platform yang lebih familiar, modern, dan—apalagi—dengan biaya lebih terjangkau. Atau, kompetisi antarkampus dalam melakukan inovasi memungkinkan satu kampus menantang kampus yang lain. Dalam rumus persaingan, biasanya kampus yang melakukan inovasi akan lebih diminati.

Dengan demikian, ada dua tantang besar bagi kampus Islam. Secara vertikal ia berjuang untuk menaikkan posisinya di blantika global, sedangkan horizontal ia harus berjuang untuk menjadikan dirinya tetap eksis sebagai lembaga perguruan tinggi.

Salah satu rekomendasi yang diberikan untuk menghadapi era disrupsi adalah menyelenggarakan pembelajaran yang berbasis personalisasi (personalized learning), yaitu pembelajaran pribadi yang menyesuaikan pada kekuatan, kebutuhan, dan kepentingan setiap mahasiswa.

Sekarang saatnya untuk merumuskan kurikulum berbasis kebutuhan mahasiswa dan stakeholder. Ada perubahan paradigma di sana. Perumusan kurikulum tidak lagi bersipat top-down, tetapi bersifat buttom-up di mana kebutuhan mahasiswa dan stakeholder menjadi tumpuan. Inilah ikhtiar yang harus diperjuangkan agar kampus tetap diminati.

Ikhtiar lain yang tidak kalah penting adalah inovasi. Smart campus adalah pentas yang harus dihadirkan oleh inovasi tersebut. Pentas yang memberikan kemudahan dalam pelayanan akademik merupakan ikhtiar yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Saatnya para pengelola kampus merubah sistem pelayanannya dari manual ke digital.

Optimisme
Ada optimisme besar kampus Islam dapat hadir menjawab dan membersamai era disrupsi. Label “Islam” untuk kampus Islam seolah merupakan sebuah janji bahwa kampus Islam sanggup memberikan solusi-solusi alternatif, sebagaimana jargon “Islam sebagai agama yang cocok untuk setiap zaman dan tempat.”
Jika agama diyakini sebagai kebutuhan setiap zaman, maka kampus Islam yang merepresentasikan sebagai institusi yang menyuarakan agama dalam berbagai kemasannya sejatinya akan tetap eksis dan akan tetap dibutuhkan sepanjang masa.

Kampus Islam dapat berperan di era disrupsi bukan saja dari sisi metransformasi dirinya, tetapi juga dari sisi membendung dampak-dampak negatif era tersebut. Di sinilah perlunya nilai-nilai Islam hadir sebagai ruh bagi semua produk kampus Islam.

Tawaran sikap keberagamaan yang moderat, yang saat ini terus dirumuskan formulasinya, boleh jadi merupakan kontribusi besar kampus Islam dalam membendung dampak negatif era disrupsi. Sebab, moderasi beragama adalah sebuah formula tentang bagaimana cara beragama yang benar di tengah perubahan zaman yang terus terjadi; Juga, meminjam ungkapan Menteri Agama, Gus Yaqut, tentang cara berbangsa.

Di sisi lain, kampus Islam dapat hadir sebagai penerjemah nilai-nilai Islam yang luhur menjadi rumusan-rumusan teori yang dapat diterapkan dalam semua sendi kehidupan. Di sinilah nampaknya integrasi keilmuan menjadi agenda penting di kampus-kampus Islam. Kampus Islam harus mampu menghadirkan rumusan-rumusan etik yang menjadi acuan dalam beragama dan bernegara.

Kontribusi-kontribusi di atas pada gilirannya nanti akan memposisikan kampus Islam sebagai pengendali arah dan laju era desrupsi menuju arah yang konstruktif bagi kemanusiaan dan peradaban. Ini artinya kampus Islam akan tetap eksis di tengah laju perubahan yang terus terjadi. Semoga.***

Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag, Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Sunan Gunung Djati Bandung

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *