Kampanye Hitam Capres

Pernyataan kegundahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono atas indikasi keberpihakan sejumlah petinggi TNI/Polri dan sejumlah Menteri pada Pilpres 2014 merupakan citra positif bagi netralitas lembaga kepresidenan. Hal itu juga menguatkan asumsi sikap “oposisi” yang sempat dimainkan Demokrat yang dipimpinnya untuk tidak menyatakan secara gamblang dukungannya dengan membiarkan para kadernya menyebar dukungan pada kedua pasangan Capres. Kendati akhirnya Demokrat berkoalisi juga. 

Padahal dalam konteks lain, pernyataan Presiden Yudhoyono pun dapat memberi peluang makin suburnya kampanye hitam. Sangat dimungkinkan di antara salah satu atau kedua pasangan Capres menebar bukti siapa di antara mereka yang telah melibatkan petinggi TNI/Polri atau Menteri. Tindakan itu nyata-nyata melanggar aturan main Pilpres. Dalam beberapa negara demokrasi modern, pelanggaran atas aturan main pemilihan merupakan salah satu kampanye hitam yang efektif karena menunjukkan komitmen yang lemah dari kandidat.

Kampanye hitam merupakan metode rayuan yang merusak: merayu pemilih merusak lawan politik. Penyindiran menukik pada lawan politik agar menimbulkan presepsi buruk atau tidak etis pada pemilih. Metode kampanye ini digunakan untuk menyerang lawan politik atau kandidat lain melalui permainan emosi para pemilih agar akhirnya meninggalkan kandidat atau calon pilihannya.

Fenomena tersebut tergambarkan secara kasat mata dalam Pilpres 2014, terutama terungkap pada berbagai pemberitaan dan acara media. Penguasaan media massa, khususnya media televisi oleh kelompok tertentu yang ber-apiliasi politik telah menumbuhkan media partisipatoris. Kendati fakta historis telah menjadi pembenar bahwa dalam banyak peristiwa politik di berbagai belahan bumi ini keberpihakan media pada partai politik atau kandidat penguasa politik selalu ada. Namun, dalam konteks negara-negara demokrasi modern, media massa jujur dan lugas menyatakan dirinya berpihak, berapiliasi sebagai media kampanye partai atau calon tertentu.   

Sementara itu, dalam konteks Pilpres 2014 indikasi keberpihakan media sangat kental dan terdeskripsikan melalui pemberitaan dan acaranya. Namun, mereka tidak jujur terhadap publik bahwa medianya berpihak. Mereka tetap menawarkan netralitas, objektivitas, dan independensi,  sembari melanggarnya. Hal itu tidak efektif lagi ketika tingkat melek rakyat terhadap media sudah memadai. Namun, fakta sebagian rakyat Indonesia masih beredukasi rendah telah menumbuhkan kekhawatiran sebagaimana Teori Kultivasi yang menganggap, apa yang ada, terjadi, dan disampaikan televisi itu benar, sehingga menjadi rujukan pengambilan keputusan. 

Konsekuensi itu menajam tatkala Capres hanya dua pasangan. Perang terbuka di antara mereka tidak dapat dihindari. Berbeda jika pasangan Capres tiga, empat, atau lima seperti pada Pilpres 2004 dan 2009, mereka sulit mengidentifikasi mana kawan dan mana lawan. Namun, ketika Capres hanya dua pasang, mereka berhadap-hadapan langsung. Realitas itu sangat kentara dalam gambaran-gambaran siaran televisi, baik berbentuk pemberitaan, talk show, iklan, maupun acara lainnya. Bahkan, rakyat pun dapat mengidentifikasi keberpihakan media, kendati dengan menyambung-nyambungkan karena latar belakang pemilik media tersebut. Kampanye hitama dalah satu materi yang dominan menjadi substansi kampanye media karena teruji dapat memberikan daya persuasi yang kuat terhadap pemilih.

Dalam konteks komunikasi politik, banyak strategi yang dapat dilakukan oleh para kandidat untuk berkampanye. Namun, strategi yang paling banyak dilakukan karena memiliki daya pengaruh yang besar adalah strategi persuasi. Hal itu berangkat dari fakta bahwa Presiden-Wakil Presiden adalah dipilih langsung oleh rakyat. Proses kelahirannya pun melalui pase-pase demokrasi langsung, sehingga harus menjunjung musyawarah dan kesetaraan, bukan aspek dominasi kekuasaan. Oleh karena itu, cara-cara doktrinisasi, paksaan, dan sikap-sikap yang menempatkan rakyat sebagai objek tidak tepat lagi untuk dilakukan. 

Salah satu model strategi persuasi yang tergolong sering digunakan pada peristiwa politik adalah model Hugh Rank (Pawito,2009). Model ini mengajarkan pelibatkan dua komponen pokok, yakni: mengekspose secara intensif ide-ide, peristiwa, kegiatan atau substansi informasi yang bernilai kebaikan-kebaikan dan kelebihan-kelebihan (sisi positif) kandidat dan memainkan, menyamarkan, atau menyembunyikan (downplay) aspek-aspek sisi negatifnya. 

Untuk menguatkan strategi tersebut, fokus taktik persuader melalui teknik-teknik pengulangan, asosiasi, dan komposisi untuk kepentingan ekspose (intensify) sisi positif dan teknik penghilangan, mengubah, dan mengaburkan sisi negatif sembari memberikan perlawanan terhadap calon lain melalui pembalikan strategi: mengekspos keburukan lawan dan membenamkan kebaikannya. Inilah yang mengesankan dalam pandangan publik kekinian sebagai upaya Kampanye hitam.  

Model kampanye politik ini dalam kancah perpolitik Indonesia, cenderung jarang dugunakan karena dianggap tidak santun, bahkan melanggar peraturan. Padahal memberikan kontribusi besar pada daya reseptif pemilih berupa referensi track record kandidat. Rakyat disajikan pada dua informasi tentang track record positif dan negatif dari kandidat, sehingga mereka dapat mempertimbangkan kandidat yang layak dipilih.

Kendati sangat dimungkinkan susbtansi kampanye model ini dimanfaatkan untuk menyerang lawan politik dengan bohong, fitnah, dan tidak konstruktif dalam bumbu siaran media yang partisipatoris. Namun, berbagai peraturan yang berlaku di Indonesia telah nyata-nyata melarang tindakan bohong dan fitnah, baik melalui KUHP, aturan main Pilpres, bahkan juga aturan terkait dengan media penyiaran. Jika peraturan itu ditegakan dengan benar, dapat menjadi pagar agar model kampanye politik ini tidak berujung pada Kampanye hitam.

Namun untuk menjaga pagar agar tidak roboh karena didobrak syahwat berkuasa, peran para penegak hukum  pun tidak kalah pentingnya; Polisi, Bawaslu, KPI, dan institusi lainnya yang kompeten tidak boleh diam. Pilpres adalah milik kita, harus kita jaga sesuai kompetensi yang kita miliki.[] 

 

Mahi M. Hikmat, Peneliti Komunikasi Politik, Dosen Pancasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Dewan Pakar ICMI Jawa Barat.

 

Sumber, Pikiran Rakyat 9 Juni 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *