Kadar Intelektual & Kesejahteraan, Akar Radikalisme di Indonesia

[www.uinsgd.ac.id] “Buku ini luar biasa karena mengungkapkan hal yang jarang diungkapkan oleh yang lain”. Begitu komentar Yusuf Wibisono saat membuka pembicaraan pada bedah buku “Agama & Konflik Sosial, Studi Pengalaman di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan (BEM-J) Perbandiangan Agama dan BEM-J Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin (FU) UIN SGD Bandung  di Aula Fakultas Ushuluddin, Senin (03/06).

Mengutif buku yang dikarang oleh Prof. Dr. Afif Muhammad, MA, Yusuf menjelaskan bahwa “Radikalisme bukan representasi Islam Indonesia, tapi sempalan-sempalan Islam yang diimpor, lebih banyak bercorak Arabisme,” ucapnya.

“Menurut Prof. Afif, bangsa timur cinta damai, namun  jangan tergesa-gesa untuk mengeneralisasinya. Pertanyaannya, apakah di Barat tidak cinta damai? Bahkan di dalam Jurnal Ulumul Qur’an sendiri menggugat adagium bahwa bangsa timur cinta damai,” kritiknya.

Dalam bab tiga buku tersebut membahas bagaimana hubungan agama Islam dan Kristen yang mengalami ketegangan. Ini masih ada kaitannya dengan Perang Salib. Perang terlama di dunia selama dua abad.

“Sulit dihilangkan, bukan karena persoalan teologis tapi juga masa lalu. Dalam penelitian prof. Afif, konflik tersebut dipicu karena kedua agama melakukan penyebaran di daerah yang sudah memiliki agama.”

Ia melanjutkan komentarnya bahwa di Indonesia, setiap ada kekerasan, Islam selalu muncul, kenapa ini bisa terjadi, ini yang harus diangkat kemudian yang tidak dibahas dalam buku ini. “Pertanyaan selanjutnya yang belum dijawab dalam buku ini adalah kenapa konflik banyak muncul setelah orde baru?”

Setelah memaparkan isi buku tersebut, Yusuf menganalisis hasil dari tulisan Prof. Afif Muhammad bahwa kondisi objektif konflik agama dipicu oleh; Pertama, doktrin yang mengarah pada klaim kebenaran. Ini yang menjadi pemicu konflik. Kedua, historis yang menjadi jalan satu-satunya keselamatan, sehingga hanya ada satu pandangan dari penganut agama masing-masing bahwa agama yang diyakininya adalah agama kebenaran yang berasal dari Tuhan, ia tidak menyadari bahwa agamanya telah mendapat campur tangan konstruksi manusia.

“Problem dari kondisi diatas adalah bahwa ada pemahaman tentang Islam sebagai agama yang kaffah sehingga tidak mengenal sekularisasi. Selanjutnya, agama lemah dalam menyelesaikan persoalan agama,”tegasnya.

Ia menjelaskan tentang solusi yang ditawarkan oleh pengarang yang menjabat sebagai kaprodi Religious Studies tersebut; pertama pembinaan internal keagamaan dalam pendidikan, kedua penguatan institusi negara terutama penegakan hukum yang adil, dan ketiga pemenuhan kesejahteraan.

Sementara itu, Afif Muhammad, selaku pengarang buku membeberkan potensi-potensi konflik yang ada di Indonesia; pertama, keunikan dan keberagaman oleh berbagai macam agama dan suku bangsa. Menurut ahli filsafat tersebut, keragaman dapat menjadi sumber konflik  jika tidak mampu dikelola, tetapi akan menjadi Indah jika dapat diatasi. Kedua, konflik ideologi antara sekularisme dan agama.

Menanggapi komentar Yusuf Wibisono tentang adagium Bangsa Timur, bangsa yang cinta damai, ia menjelaskan secara epistemologis.

“Dari sisi epistemologis, orang Timur sangat akrab dengan alam dan tanaman. Tanaman adalah sahabat. Sedangkan orang Barat justru mengeksploitasi alam. Ini menunjukan bahwa Barat itu keras. Orang Timur kalo dimarahin banyak diam, diam dalam arti gak mau kerja, gak mau ngomong. Oleh karena itu terkenal perlawanan tanpa kekerasan seperti yang dilakukan oleh Mahatma Ghandi. Begitupun ketika agama luar masuk, gak pernah ditentang. Di Timur pun ketika terjadi peperangan tidak pernah merusak yang lain kecuali yang terlibat dalam peperangan, misalnya perang Majapahit hanya menggunakan keris. Tetapi di Barat, perang ikut menghancurkan yang lain juga.

Ia menggarisbawahi, bahwa radikalisme yang terjadi di Indonesia selama ini  tidak dilakukan oleh  orang-orang yang highclass tetapi mereka yang kelaparan atau miskin dan juga secara intelektualitas rendah.” Oleh karena itu salah satu solusi yang ditawarkan seperti yang telah disampaikan oleh Yusuf adalah pemenuhan kesejahteraan dan pembinaan internal keagamaan dalam pendidikan,” terangnya.

Sebagai pembanding, Yusuf Wibisono berharap bahwa hadirin dapat membaca buku tersebut karena menginspirasi dan mencerahkan. Sementara penulis buku berharap, jangan melihat buku tersebut dari covernya tetapi dari isinya.***[Dudi, Ibn Ghifarie]

 

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *