Prof. Dr. H. Asep Saeful Muhtadi, M.A., atau yang akrab disapa Kang Samuh, Guru Besar Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung memiliki cita-cita mendedikasikan 50 buku sebelum dirinya meninggal. Sambil berkaca-kaca, Kang Samuh menyampaikan keinginannya tersebut kepada hadirin.
Hal tersebut disampaikan pada peluncuran buku terbarunya berjudul Komunikasi Lintas Agama yang diterbitkan oleh Simbiosa Rekatama Media Bandung di Aula Fakultas Dakwah dan Komunikasi Lt. 4 pada Rabu (18/09/2012) yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Kang Samuh dipandu oleh Subagyo Budi Prajitno, menceritakan latar belakang terbitnya buku Komunikasi Lintas Agama, yaitu bahwa 10 tahun terakhir di Jawa Barat sering terjadi konflik,”Sedikit-sedikit konflik, sedikit-sedikit konflik. Dalam 10 tahun terakhir Jawa Barat dikenal sebagai provinsi yang tingkat intoleransinya tinggi,”ujar Samuh.
Menurut pandangan Samuh, konflik bukan hanya terjadi antar umat beragama, namun juga antar penganut agama yang sama, yaitu intra agama. Walaupun pemerintah telah berupaya untuk melakukan dialog namun bagi Samuh, upaya tersebut terlalu permukaan, tidak menyentuh substantif. Oleh karena itulah buku tersebut lahir.
Hal yang lebih mendasar terkait dengan perbedaan dari bangsa Indonesia, Samuh, melalui bukunya ingin agar perbedaan tersebut tetap menjadi kepribadian, namun perbedaan tersebut juga harus mengarah pada pemahaman masing-masing perbedaan yang dianut orang lain.
“Buku ini saya dedikasikan untuk bangsa Indonesia,”ujar Kang Samuh.
“Dialog antar agama yang dilakukan oleh pemerintah hanya berada pada permukaan, kulit-kulitnya saja. Tidak pada substansi persoalan. Kenasa saya bisa komunikatif dengan anda? Karena ada kesamaa. Jika tidak ada kesamaan tidak mungkin ada komunikasi. Tapi dalam konteks komunikasi litas budaya justeru terjadi karena ada perbedaan-perbedaan. Nah teori ini menjadi dasar dari penyusunan buku ini,” tegas Kang Samuh.
Bagi Samuh, perbedaan itu harus dijembatani, yaitu oleh komunikasi. Perbedaan tidak bisa disama-samakan. Ia mencontohkan dengan Orang Papua yang tidak bisa disama-samakan dengan orang sunda. Oleh karena itu bagi Samuh, perbedaan bukan berarti harus sama. Dia bisa tetap beda dan tetap rukun dengan perbedaan itu sehingga jadi indah.
Berdasarkan hasil pengamatannya, upaya mencari kerukunan di Indonesia sudah gagal karena dialog hanya untuk mencari persamaan. Di Indonesia sejak TK sampai SMA dididik agar sama. Harus seragam. Padahal kalau di luar tidak ada penyeragaman seperti itu.
“Oleh karena itu Ilmu komunikasi harus jadi mata kuliah wajib untuk memahami perbedaan, bukan agar sama. Tetapi agar yang beda bisa rukun dan hidup bersama, yaitu direkatkan oleh komunikasi,” papar Kang Samuh.
Ia meyakini bahwa ilmu komunikasi menjadi alat perekat yang dapat menyatukan perbedaan-perbedaan, bukan dipaksakan agar sama.
Pada penutupan paparannya, Kang Samuh memberikan kunci kerukunan antar agama di Indonesia, yaitu dengan merekatkan perbedaan-perbedaan sehingga tetap menjadi identitas sehingga tetap rukun dengan alat perekat yaitu komunikasi.
“Buku ini saya dedikasikan untuk bangsa Indonesia yang berbeda suku, ras, agama,” tegasnya.***
Sumber, Portal Fakultas Dakwah dan Komunikasi 19 September 2019