Setiap kali bertugas melayani jemaah untuk ziarah ke medan Khandaq, penulis selalu teringat sebuah situs bersejarah di medan pertempuran khandaq, khaimah Rufaidah (tenda Rufaidah). Sebuah tenda yang didirikan oleh seorang perempuan heroik bernama Rufaidah untuk memberikan pertolongan medik kepada para tentara Rasulullah yang terluka di medan laga.
Saat peperangan terpaksa dilakukan, yang memiliki taji dan nyali untuk menjadi syuhada, ternyata bukan hanya kaum laki-laki, tetapi juga kaum perempuan. Mereka setia mengawal pasukan Rasulullah sejak keberangkan ke medan laga hingga panji kemenangan dikibarkan. Meski tidak ikut serta bertempur melawan musuh, perannya sebagai relawan medik, menjadi semacam penyambung nyawa bagi para syuhada yang terluka.
Luka, derita, hingga bayang-bayang kematian tidak sedikitpun membuat nyali mereka ciut. Kecintaaanya kepada kemanuisaan, dedikasinya kepada agama dan kerinduannya untuk menjadi penghuna surga, menjadi semacam spirit yang memompa keberanian para perempuan berhati mulia turun ke medan laga. Dalam pertempuran-pertempuran besar seperti di Medan Badar, Uhud, Khandak, dan Khaibar, sejarah mencatat peran heroik seorang perempuan legendaris bernama, Rufaidah binti Sa’ad Bani Aslam al-Khazraj, putri salah seorang sahabat Ansor dari etnik Khazraj.
Dalam setiap pertempuran besar, Rufaidah, selalu diizinkan Rasulullah untuk berada pada baris belakang pasukan. Bersama muslimah lainnya dari Madinah, dengan penuh keberanian ia mengambil peran untuk memberi pertolongan medik dan kebutuhan logistik. Dalam salah sudut pertempuran Khandak, Rufaidah pernah berjasa menyelamatkan nyawa seorang penghafal Al-Qur’an Sa’adz bin Muadz, yang terluka parah karena tembakan panah lawan.
Di luar medan laga, jihad medikal tidak pernah Rufaidah tinggalkan. Di depan masjidin Nabawi, ia membuka layanan pengobatan bagi kaum muslimin. Kemampuannya dalam membantu menyembuhkan penyakit, ditambah kepiawainnnya dalam membangkitkan motivasi, telah memberi inspirasi bagi perempuan Madinah kala itu untuk mengikuti jejaknya sebagai public health nurse dan social worker. Hingga tercatat nama-nama mujahidah paramedik lainnya seperti Ummu Amara, Aminah binti Qays, Ummu Ayman, Safiyah, Ummu Sulaiman, dan Hindun. Karena rekam jejak pengabdiannya di dunia medik itu, Rufaidah digelari para sejarahwan sebagai Mumarridah Al Islam Al Ula, Perawat Pertama Wanita dalam sejarah Islam.
Selain Rufaidah, para sejarahwan menyebut pula dua sosok perempuan mulia sebagai mujahidah medik lainnya, yaitu Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Kultsum bin Ali Bin Abi Thalib. Tidak diragukan lagi isteri baginda Nabi ini disebut sebagai perempuan agung yang memiliki muti kecerdasan dan ragam pengabdian kepada Islam. Karena itu, Ibnu Abdil Barr Berkata, “Aisyah adalah satu-satunya wanita di zamannya yang memiliki kelebihan dalam tiga bidang ilmu: ilmu fiqih, ilmu kedokteran, dan ilmu syair.” Begitupun Ummu Kultsum bin Ali Bin Abi Thalib, dalam pengabdiannya terhadap kemanusiaan dan kehidupan, ia ekpresikan dalam dunia medik. Tercatat dalam sejarah, beliau seringkali menjadi relawan yang membantu kaum hawa dalam proses persalinan.
Diantara simpulan dari secuil catatan sejarah ini, bahwa mengambil peran pengabdian hidup pada dunia medik, sesungguhnya merupakan pilihan mulia bagi seorang perempuan. Selain diberi contoh oleh perempuan agung yang pernah mendampingi Baginda Nabi, membantu menyelamatkan ummat manusia dari kematian karena penyakit apalagi pandemi adalah bagian dari jihad dalam wajahnya yang lain. Bahakan Dalam surat Al-Maidah ayat 32 Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan seluruh umat manusia”.
Untuk perempuan muslimah yang telah mengambil jalan hidup sebagai mujahidah medik dan gugur karena pandemik covid 19, kalian adalah syuhada yang layak mendapat tempat mulia dan terhormat di sisi-Nya. semoga.
Dr. H. Aang Ridwan, M.Ag, Pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan Dosen FDK UIN Bandung
Sumber, Pikiran Rakyat 5 Mei 2020