(UINSGD.AC.ID) — Sebagai sebuah bangsa yang multikultur, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki ribuan suku, bahasa daerah, dan kaya akan kebudayaan. Diantara keberagaman itu, ruang lingkup kampus menjadi salah satu miniatur yang cukup ideal untuk memperlihatkan kebhinekaan, terlebih mahasiswa yang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN).
Pada saat mendengar nama salah satu kampus yang masuk di jajaran PTKIN, sudah menjadi keumuman secara logika di masyarakat bahwa mahasiswa yang menempuh pendidikan di kampus tersebut mempelajari semua materi perkuliahan dasar yang berbasis keislaman dan tentunya mahasiswa di perguruan tinggi tersebut merupakan orang yang beragama Islam.
Namun, akhir-akhir ini melalui gebrakan moderasi beragama yang digagas oleh Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI), pemerintah terus berupaya agar kampus PTKIN tidak hanya dirasakan oleh warga negara yang beragama islam saja, tetapi juga bisa dirasakan pula oleh semua pemeluk agama, salah satunya di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung.
Baik mahasiswa ataupun dosen yang beraktifitas belajar ataupun mengajar di UIN SGD Bandung juga tidak hanya berasal dari daerah yang berbeda saja, melainkan ada juga berasal dari agama yang berbeda.
Berangkat dari informasi tersebut, NU Online Jabar menghubungi birokrasi kampus, dalam hal ini menemui Wakil Rektor I UIN Bandung, Dadan Rusmana di ruangannya. Dalam kesempatan tersebut, ia mengatakan bahwa kampus UIN Bandung tidak pernah membatasi keberadaan mahasiswa non-muslim.
Pihaknya juga membenarkan ada mahasiswa non-muslim baik di Fakultas Sains dan Teknologi (FST) maupun jurusan Studi Agama-Agama (SAA) Pasca Sarjana UIN SGD Bandung dan jumlahnya memang tidak banyak.
“Kita nggak pernah membatasi. Buktinya sampai hari ini ada kan mahasiswa yang non-muslim, di Pascasarjana ada, di Saintek ada. Bahkan, ada juga dosen yang berasa dari Non-Muslim,” jelas Wakil Rektor I UIN SGD Bandung Dadan Rusmana dikutip dari NU Online Jabar, Senin (25/12/2023).
“Aturan perkuliahan di kita, kita kan menyelenggarakan pendidikan yang inklusif, moderat, berkeadilan. Berkeadilan bagi kelompok rentan itu kalo dikita kan ada difabel, kemudian, mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu, dan berbeda agama, termasuk perempuan. Kita memberikan hak-hak yang sama kepada mereka untuk dapat mengenyam pendidikan, yang kurang mampu dikasih beasiswa, yang difabel diberi fasilitas dalam konteks dia memperoleh hak pendidikan yang sama kemudian beberapa infrastruktur di bangun supaya ramah difabel,” tuturnya.
Kemudian yang perempuan, sambung Dadan, diberikan fasilitas yang sama walaupun mungkin ada infrastruktur yang tetap harus ada karakteristik buat laki-laki dan Perempuan.
Itu tetap di perhitungkan, berbeda tetapi bukan untuk membeda-bedakan,” paparnya. “Khususnya bagi mereka yang beragama selain islam, tetap diberikan hak yang sama, supaya mereka bisa mengakses pendidikan yang dilakukan oleh kita, dan jika masuk berarti kan bisa merasakan atmosfer akademik sistem pendidikan yang ada di kita. Sama saja, perkuliahannya kan kita memberi pilihan apakah mereka mau mengikuti seluruh rangkaian kegiatan yang ada di UIN misalnya banyaknya sekarang kan di prodi umum, islamologi nya sedikit sehingga mereka bisa mengikuti. Ketika tau mereka non muslim, kita juga ada eksepsional untuk beberapa kegiatan seperti praktek ibadah, tilawah. Tapi pada dasarnya kalo tilawah kan lebih banyak mengakses pada kitab kuning, bahasanya saja yang kemudian masuk sebagai pengantar, masuk tidak sebagai konteks doktrinisasi. Jadi, jangan alergi dengan bahasanya,” tambahnya.
Dadan juga menuturkan, selama ini mereka yang masuk ke UIN kristen keluar ya kristen juga, dosen juga di kita ada juga yang beragama Kristen. “Bagi kita tidak masalah, ya memang kalo dalam konteks kehidupan keseharian karena memang mayoritas muslim, kemudian nampak coraknya kemusliman ya bukan persoalan di create dalam konteks untuk mengkontraskan dengan agama lain tidak, tidak dalam kompetitif, kebencian, hegemoni. Jadi tetep berjalan semuanya,” tuturnya.
Lebih dari itu, ia mengatakan selagi tidak ada aturan yang melarang, kampus UIN Bandung akan menerima mahasiswa non-muslim. Tetapi, ia juga menjelaskan mahasiswa non-Islam harus mengikuti alur pembelajaran yang sudah ditetapkan. “Sebagai kampus terbuka inklusif ya kita tidak pernah melarang agama mahasiswa non-muslim. Silahkan aja, gitu. Untuk daftar di UIN. Ya, tapi kalau sudah masuk UIN tentu kan harus mengikuti aturan-aturan yang sudah ditetapkan,” ucapnya.
Dadan menegaskan, bahwa UIN itu milik bangsa yang harus terbuka terhadap segala macam realitas dan perubahan. Realitas dikita untuk etnis dari berbagai etnis kita terima, tidak melakukan diskriminasi. Kita membuka ruang yang memiliki keyakinan yang berbeda baik beda madzhab ataupun agama sekalipun, tidak eksklusif.
“UIN memberikan kesempatan untuk belajar sekalipun ada keterbatasan bagi siapapun. Secara umum kita punya kebijakan membuka untuk semua Masyarakat yang ingin masuk ke sini, bahkan kelompok rentan juga kita perhatikan. Kita nggak pernah memilah-milah. Jadi kalau misalnya nanti ada yang non-muslim, kemudian ikut seleksi nggak lulus, itu bukan karena ia non-muslim, karena nilainya aja mungkin ia tidak memenuhi,” ucapnya.
“Terkait MKDU, ketika sudah masuk kemudian ada dalam konteks kebebasan ya, tapi kalau kajian-kajian keislaman sebagai islamologi itu menjadi wajib sebagai pengetahuan, tetapi kalo sudah masuk pendalaman atau pengembangan ritual keagamaan itu diberi kebebasan. Kalau untuk learning to know sama learning to do demonstrasi itu harus bisa dalam konteks pengetahuan dan praktek, tetapi ketika harus menjadi learning to be dan learning to leave to gathernya itu tidak yah. Tetap ada kompromi yang bisa dinegosiasikan dilapangan,”
Kedepan, pihaknya mengimplementasikan moderasi beragama dengan membuka jalur masuk ke UIN SGD Bandung melalui jalur moderasi beragama jadi supaya non muslim bisa terfasilitasi yang kemudian bisa dikelola secara baik dan mendapatkan hak hak yang penuh terutama dalam konteks pembinaan keagamaannya.
Secara umum kebijakannya adalah semua mahasiswa diberikan hak-hak sebagai mahasiswa. Secara normatif, tentu kita juga harus memperbaiki tata aturan dikita, seiring dengan keterbukaan dan kita juga membuka akses seluas-luasnya bagi non muslim,”
Terkait kebijakan pedoman bagi mahasiswa non muslim, pihaknya juga akan ada pembahasan mengenai aturan salah satunya menggunakan kerudung apakah dia menjadi identitas sosial atau dia sebagai simbol dari keagamaan.
“Nah itu juga harus dibicarakan dan itu akan diagendakan. Sejauh ini belum ada turunan kebijakan soal itu. Nanti kita akan ada tim yang membahas hal tersebut,” tandasnya.