Para sufi menyadari betul, hidup itu ibarat kilat; sesaat dan sangat singkat. Karenanya, buat apa meneguk kenikmatan duniawi bila hanya sekejap, bila kelak abadi dalam azab Allah.
(UINSGD.AC.ID)-BOLEH jadi semua sepakat, dunia memang indah tiada tara. Gemerlap dan kilau kemegahannya sungguh amat mempesona. Sungguh, bila manusia hendak menikmatinya, tentu bukanlah suatu dosa, juga bukan sesuatu yang terlarang.
Mengapa? Sebab keindahan dan pesona yang ada di dalamnya memang karunia Allah untuk dinikmati siapa pun dan di mana pun.
Anda mau menikmatinya? Silakan, tapi hati-hati jangan sampai lupa diri, kurang-kurangnya bisa terjebak kenikmatan semu. Fatamorgana dunia bisa melelapkan dan menjerumuskan ke jurang kenistaan.
Sadarilah dengan sepenuh hati, dunia bukanlah segala-galanya. Hanya sarana menuju hidup sesungguhnya di alam baqa kelak. Di alam inilah kita akan menikmati kehidupan sejati, sebuah kehidupan yang sesungguhnya.
Tapi sayang, banyak manusia yang terjebak dan terperosok pesona dunia. Gemerlapnya dunia terkadang membuat mata hati kita buta, terlelap dininabobokan nafsu duniawi. Mudah terpedaya dan menjadi penghamba harta, pemburu tahta. Kemegahan dunia bisa dengan mudah menyihir manusia seolah hidup akan abadi selamanya di alam fana ini.
Harta dan tahta terus diburu, terkadang dilakukan dengan cara batil, cara yang tidak halal. Anehnya, kerap merasa tak berdosa dan tidak merasa harus bertaubat. Inilah tragedi terbesar manusia abad ini.
Terbujuk Fatamorgana
Cinta dunia menjadi gejala yang begitu jelas. Mata hati menjadi buta terbujuk fatamorgana duniawi dengan sangat luar biasanya. Karena itu, amat bisa dipahami bila para sufi kemudian memencilkan diri dari kesenangan duniawi yang bersifat semu ini.
“Pelarian” para sufi, tentu bukan tanpa kesadaran. Mereka paham betul kelezatan duniawi tak seberapa dibanding kelezatan yang akan dirasakan di alam baqa kelak.
Firman Allah dalam sebuah hadis qudsi mengingatkan kedunguan kita, “Aku sediakan bagi hamba-hamba-Ku yang beriman dan beramal saleh, kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terlintas di hati manusia.”
Para sufi menyadari betul, hidup itu ibarat kilat sesaat dan sangat singkat. Karenanya, buat apa meneguk kenikmatan duniawi, bila hanya sekejap, bila kelak abadi dalam azab Allah. Kesadaran inilah yang mulai langka dimiliki manusia, yang kabarnya lebih cerdas dan lebih modern. Sebagian manusia lupa, dunia sesungguhnya hanya persinggahan sementara. Yang abadi, tiada lain, adalah hidup di alam baqa kelak, tempat ‘persinggahan’ terakhir yang dijanjikan Allah.
Di tempat itulah manusia mendapatkan balasan dari apa yang diperbuatnya di dunia. Bila amalnya bagus, surga adalah balasannya. Sauda-raku sebelum maut menjemput, tengoklah amal yang telah kita lakukan untuk bekal kelak.
“Hitung-hitunglah dirimu, sebelum engkau diperhitungkan,” begitu pepatah Umar bin Khatab dalam setiap kesempatan.
Dalam berbuat kebaikan, juga berhati-hatilah. Tumbuhkan keikhlasan, jauhkan riya, agar amal tidak sia-sia. Dalam sebuah hadistnya, Rasulullah SAW mengisahkan betapa pentingnya keikhlasan.
Di hari kiamat nanti, kata Baginda Rasul SAW, beberapa lembar catatan amal yang tertutup rapat didatangkan lalu dibeberkan di hadapan Allah Ta’ala, tiba-tiba Allah berfirman, “Campakanlah yang ini.” Para malaikat berkata, “ Demi keagunganmu, tak kami lihat didalamnya kecuali hal-hal yang baik saja.” Allah menjawab “Sesung-guhnya semua itu, dahulu ditujukan bukan untu Ku, dan Aku hanya akan menerima amal yang dilakukan semata kehadirat Ku.”***
Dr. Enjang Muhaemin, M.Ag, Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Jurnalistik Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sumber, Galamedia 25 Februari 2022