Perjalanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam membumikan misi sucinya begitu terjal dan kian menebar ancaman mematikan. Padahal korupsi adalah penyakit kronis yang mengancam kelanggengan negeri ini. Dukungan dari berbagai kalangan untuk penyelamatan lembaga super body ini pun berdatangan. Karena penyelamatan KPK berarti penyelamatan Indonesia.
Ancaman utama KPK kini datang dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang inti persoalannya kasus keterlibatan Inspektur Jenderal Djoko Susilo dalam korupsi pengadaan simulator berkendara untuk mendapatkan surat izin mengemudi (SIM).
Pertikaian KPK versus Polri menjadi berita yang menggemparkan lantaran ketua tim penyidik KPK yang menangani kasus simulator SIM, Komisaris Polisi Novel Baswedan, akan ditangkap karena diduga terlibat kasus pembunuhan pada saat masih bertugas di Polres Bengkulu tahun 2004 lalu. Upaya penangkapan yang dilakukan sekonyong-konyong dengan mendatangi kantor KPK pada Jumat (5/10/ 2012) mendapatkan perlawanan dari KPK.
Menurut pimpinan KPK, pada kasus pembunuhan itu Novel tidak terlibat secara langsung kecuali mengambil alih tanggung jawab atas perbuatan anak buahnya yang terlibat, dan kasusnya pun sudah dianggap selesai. Selain dibela pimpinan KPK, upaya penangkapan Novel yang merupakan cucu tokoh nasional A.R. Baswedan itu juga mengundang reaksi para aktivis dan sejumlah akademisi yang kemudian berduyun-duyun mendatangi kantor KPK untuk satu misi, menyelamatkan KPK.
Mengapa KPK perlu diselamatkan? Karena KPK merupakan lembaga negara yang lahir dengan tujuan khusus untuk memberantas korupsi. Kelahiran KPK bukan untuk mengambil alih tugas-tugas lembaga penegak hukum seperti kejaksaan dan kepolisian, tapi untuk memperkuat keduanya yang semakin lama semakin kehilangan kepercayaan dari publik. Ketidakpercayaan publik pada kedua lembaga ini bukan tanpa alasan. Karena keduanya diduga kuat telah menjadi sarang korupsi. Ibarat menyapu lantai dengan sapu yang kotor, bagaimana mungkin upaya pemberantasan korupsi (hanya) diserahkan kepada lembaga yang koruptif.
Meskipun belum bekerja maksimal, keberadaan KPK terbukti mampu menangani kasus-kasus besar yang tak mampu disentuh baik oleh kejaksaan maupun kepolisian. Para penyelenggara negara seperti bupati, wali kota, gubernur dan para pejabat tinggi yang terbukti korupsi tak luput dari kejaran KPK. Dengan begitu, harapan publik terhadap KPK sangat tinggi dalam upaya pemberantasan korupsi.
Agresivitas KPK dalam memberantas penyakit kronis (korupsi) yang bisa menghan-curkan bangsa ini memang telah menyentuh semua kalangan, termasuk yang dekat dengan jantung kekuasaan. Selain sudah dan akan memenjarakan beberapa petinggi Polri dan sejumlah anggota DPR, belum lama ini KPK juga telah memasukkan ke dalam sel pengusaha nasional Siti Hartati Murdaya yang dikenal sangat dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Karena langkah-langkahnya itulah maka sangat wajar jika KPK banyak mendapat tantangan, terutama dari mereka yang eksistensinya bersandar pada kelihaiannya menilep uang negara. Sejumlah anggota DPR mengusulkan amandemen UU KPK. Pimpinan Polri menarik para penyidiknya yang ditugaskan di KPK dan mengancam/meneror sebagian penyidik yang enggan kembali ke Polri. Upaya-upaya ini dinilai publik sebagai bagian dari proses pelemahan KPK yang dilakukan secara sistematis.
Melihat KPK dikeroyok lembaga-lembaga negara yang lain, barisan civil society pun bereaksi. Para pemimpin agama bersatu mendukung KPK, begitu pun para aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), para akademisi, dan segenap komponen aktivis mahasiswa dari seluruh penjuru tanah air. Semuanya siap membela KPK dengan mengusung tema “Save KPK, Save Indonesia” (Menyelamatkan KPK, Menyelamatkan Indonesia).
Langkah ini dilakukan dengan berbagai cara, dari demonstrasi, pengumpulan koin –untuk membiayai pembangunan gedung baru KPK yang dihambat DPR, penggalangan tanda tangan (petisi) untuk menolak upaya pelemahan KPK, hingga pentas musik bertajuk “Konser Save KPK” yang menampilkan para penyanyi ternama dan artis-artis ibu kota yang peduli dengan pemberantasan korupsi.
Pertanyaannya yang muncul kemudian, apakah langkah-langkah segenap kekuatan civil society itu sudah cukup untuk menyelamatkan KPK? Jawabannya tidak. Karena civil society hanya memiliki kekuatan moral yang secara normatif tidak memiliki kewenangan apa-apa kecuali sekadar tekanan (pressure) politik. Yang memiliki kekuatan riil dan bisa menyelamatkan KPK adalah DPR dari segi landasan hukum, dan presiden dari segi kewenangan struktural, karena Polri yang kini berupaya menghambat langkah KPK adalah lembaga negara yang langsung di bawah presiden.
KPK kini tengah berada di terjal dan susah untuk melakoni misi sucinya: memberangus gurita korupsi yang kian mencengkram negeri ini. Oleh karena itu, segenap rakyat menunggu langkah konkret presiden untuk menyelamatkan KPK.
ACEP HERMAWAN, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan STAI Alazhary Cianjur
Sumber, 22 Oktober 2012