Seorang sahabat dengan mimik serius mengajukan sebuah pertanyaan, “Ya kekasih Allah, bantulah aku mengetahui perihal kebodohanku ini. Kiranya engkau dapat menjelaskan kepadaku, apa yang dimaksud ikhlas itu?”

Nabi SAW, kekasih Allah yang paling mulia, bersabda,”Berkaitan dengan ikhlas, aku bertanya kepada Jibril AS apakah ikhlas itu? Lalu Jibril berkata, ‘Aku bertanya kepada Tuhan yang Mahasuci tentang ikhlas, apakah ikhlas itu sebenarnya? Allah SWT yang Mahaluas Pengetahuannya men jawab, ‘Ikhlas adalah suatu ra hasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Kucintai,'” (HR al-Qazwini).

Hadis di atas menjelaskan bahwa rahasia ikhlas itu hanya diketahui oleh hamba-hamba yang dicintai-Nya. Alangkah beruntungnya orang yang beramal dengan tulus karena Allah. “Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,” (QS al-An’am: 162).

Orang-orang yang ihlas (mukhlisin) senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapatkan pujian atau celaan, karena mereka yakin Allah Maha Melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apa pun.

Jika ber mal karena ingin dilihat oleh orang lain, sebenarnya niatnya telah di desak syirik. Hatinya belum terbebas dari segala sesuatu selain Allah. Ingatlah tidak akan ada pujian yang dapat bermanfaat maupun celaan yang dapat membahayakan. Orang-orang yang ikhlas memiliki beberapa ciri, di antaranya senantiasa ber sungguh-sungguh dalam ber amal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan.

Selanjutnya, ciri lain orang yang ikhlas adalah terjaga dari segala yang diharamkan Allah SWT, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadis, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debudebu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Namun, mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.”(HR Ibnu Majah).

Di sinilah seorang hamba akan terus berusaha bertemu dengan Tuhannya kelak dalam keadaan iman dan mengikhlaskan seluruh amal per buatannya. Belajarlah terus agar keikhlasan menjadi bagian keseha rian. Menempuh jalan keikhlasan per lu proses pembelajaran sepenuh hati dalam kehidupan. Wallaahu’alam.

Iu Rusliana, dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

Sumber, Republika 20 Agustus 2019

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *