Jacinda Ardern dan Politik Pendidikan

Jacinda Ardern akhirnya terpilih secara resmi menjadi Perdana Menteri Selandia Baru untuk kedua kalinya. Ardern secara mayoritas mendapatkan kepercayaan publik. Pesaing terkuat petahana Jacinda Ardern pada pemilu di Selandia Baru, Juduth Collins pun telah menyampaikan selamat atas kemenangan yang diraih Partai Buruh.

Walaupun penghitungan resmi belum diumumkan, tapi Ardern dan Partai Buruhnya dipastikan mendominasi parlemen di Selandia Baru. Peristiwa dan proses politik di Selandia Baru yang elegan itu sejatinya kerap sulit muncul di negara kita. Ini merupakan hasil proses panjang dari politik pendidikan yang dilakukan Selandia Baru.

Ardern menjadi 100 tokoh paling berpengaruh tahun 2019 versi majalah TIME, karena keberhasilannya dalam penanganan aksi terorisme di Christchurch pada 15 Maret 2019. Selain itu, Ardern pun dinilai sangat responsif dalam menangani Covid-19, dimulai dari konferensi pers pada 23 Maret 2020 tentang karantina wilayah.

Secara personal, Ardern memiliki sikap negarawan, walaupun saat dilantik menjadi Perdana Menteri masih berusia 37 tahun. Ia juga mampu melakakukan bargaining politik untuk mencapai suara mayoritas pada parlemen.

Tahun 2014, Hossein Askari, guru besar politik dan bisnis internasional di Universitas George Washington, AS, melakukan sebuah studi yang unik. Yakni, studi tentang negara yang mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Dan Selandia Baru menjadi satu dari lima besar negara paling Islami di dunia.

Studi tersebut mungkin memunculkan perbedaan pendapat, akan tetapi secara ilmiah tentu studi tersebut dapat dijadikan sebagai benchmarking. Bahwa tatanan kehidupan berdasarkan ajaran Islam lebih banyak diimplementasikan di negara-negara bukan mayoritas Muslim.

Tahun 2016, penulis dan tim melakukan penelitian tentang “The Development of Madrasah Laboratory in Islamic Higher Institution: A Case Study in Indonesia and New Zealand”, Khususnya di Auckland State School, Selandia Baru. Pendidikan menjadi prioritas dalam pembangunan bangsa, karena mereka percaya bahwa dari pendidikan akan berimbas pada proses kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai contoh, dalam wawancara dengan Kang Sobarna, orang Indonesia yang telah menjadi permanent resident, di Selandia Baru binatang piaraan memiliki hak kesehatan untuk diperiksa kesehatannya, jika terlambat maka yang memelihara binatang tersebut akan dikenakan sanksi.

Hal lain, sebagai buah dari politik pendidikan adalah untuk menjadi guru di negara itu tidak serta merta alumni dari lembaga pendidikan mendapatkan kewenangan untuk mengajar. Akan tetapi, negara memiliki kewajiban untuk melatih dan mencangkok calon guru, sebelum diizinkan untuk menjadi guru. Selain itu, seorang profesional dihargai sesuai dengan kapasitasnya. Dan, Selandia Baru adalah negara yang sangat menjaga warganya, misalnya di imigrasi, barang-barang yang dilarang masuk lebih varian, dibandingkan negara lain.

Politik pendidikan, menurut Husni Rahim, adalah segala kebijakan pemerintah suatu negara dalam bidang pendidikan berupa peraturan perundang-undangan atau lainnya untuk menyelenggarakan pendidikan demi tercapainya tujuan negara (2005:9). Tujuan negara menjadi poin penting, salah satu medium yang sangat signifikan adalah pendidikan, investasi sumber daya manusia (SDM). Dan pendidikan tidak dapat dinikmati secara instan, perlu proses panjang dari generasi ke genarasi. Butuh kesabaran dalam poses investasi SDM ini dari semua stakeholder pendidikan. Pada perspektif ini, negara memiliki peran sangat signifikan.

Sejarah mencatat, negara yang memiliki politik pendidikan dan investasi sumber daya manusia yang lebih besar mendapatkan masa keemasannya. Dinasti Abbasiyah, pada masa Harun al-Rasyid nya tercatat sebagai dinasti yang memprioritaskan investasi pendidikan dan tercatat sebagai masa keemasan. Dan tetangga kita Malaysia, berdasarkan QS Rangking Top University menempatkan 5 univesitasnya di 50 besar terbaik. Keberhasilan itu merupakan hasil proses panjang dari politik pendidikan sejak 1970-an.

Pendidikan memang harus bertanggung jawab terhadap orientasi sebuah negara. Karena pendidikan akan mempengaruhi orang-orang yang terlibat dalam seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan politik pendidikan yang dibuat oleh negara sangat menentukan kemana masa depan bangsa akan diraih. Seperti kebijakan tentang kampus merdeka dan merdeka belajar dari Mas Nadiem, Mendikbud RI periode Jokowi-Amin. Akan muncul pro-kontra, dan hasilnya tidak akan dinikmati periode Jokowi-Amin, tapi paling tidak minimal 10 tahun yang akan datang.

Politik pendidikan juga memberikan akses yang signifikan. Santri, misalnya, beberapa dekade yang lalu dianggap “kelas dua”. Maka, santri hari ini, dengan kapasitas yang dimilikinya, dapat berkompetisi, misalnya di LPDP baik beasiswa di dalam maupun di luar negeri. Santi juga memiliki kesempatan yang sama untuk berkiprah di berbagai bidang. Dan tentu saja, berkontribusi secara aktif bagi kemajuan bangsa dan negara.

Akan tetapi, dari politik pendidikan sebuah bangsa harus ada enkulturisasi -pembudayaan- yang terinternalisasi pada setiap diri bangsa Indonesia. Sehingga, jati diri Bangsa Indonesia bukan hanya dihafalkan, atau dideklamasikan semata, atau dinarasikan. Lebih dari itu, jati diri saling menghormati, saling mewangi, saling menghargai menjadi inhern dalam diri Bangsa Indonesia.

Dan itu harus dimulai dari tokoh-tokoh bangsa, misalnya Juduth Collins di Selandia Baru memberikan selamat kepada Jacinda Ardern, walaupun secara resmi belum diputuskan. Wallahu a’lam.

Dindin Jamaluddin, Dosen FTK UIN SGD Bandung

Sumber, Rabu 21 Oct 2020 10:32 WIB

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *