Ironisme Politik Islam

Nasib gerakan politik Islam semakin ironis. Itu lah gambaran dari peristiwa yang sangat mengagetkan, ditetapkannya Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera), sebagai tersangka dalam kasus impor sapi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Tentu saja, jika bukan PKS, persoalannya tak segaduh itu. Hanya saja, ini terjadi kepada partai dakwah yang terkenal dengan slogan: bersih, profesional dan peduli. Dalam bahasa beberapa kawan, jika PKS saja sudah separah itu, partai mana lagi yang dapat diharapkan untuk menjadi lokomotif perbaikan bangsa ini.

Virus korupsi menyebar hampir ke semua institusi, termasuk kepada pigur-pigur yang dianggap kebal sekalipun. Sebuah anomali yang kerap menutupi ruang optimisme tentang bersihnya Indonesia dari korupsi dan menegaskan semakin langkanya manusia-manusia berakhlaq seperti Nabi.

Tentu saja, ketika korupsi itu menimpa salah satu parpol Islam, risiko politiknya lebih besar, berlipat. Ini lah efek dari penggunaan simbol agama Islam dalam kegiatan politik. Agama  sebagai sesuatu yang sakral, haram hukumnya dikotori oleh tindakan tak etis, apalagi korupsi yang nyata-nyata dianggap najis.

Mungkin ini lah dasar mengapa Cak Nur (Nurcholish Madjid) meneriakkan: “Islam Yess, Partai Islam No.” Seolah mengingatkan bahwa gerakan politik aliran dengan simbol Islam harus dilakukan oleh manusia-manusia cerdas, jujur, sederhana dan berakhlaq mulia. Kini  sulit ditemukan politisi muslim sehebat Hadji Agus Salim, M Natsir dan yang lainnya.   Tahta, harta dan wanita  kerap membuat manusia lupa. Itu pula yang terjadi dengan para politisi muslim, bukan hanya di PKS tentunya.   

Memang, ini jamannya konsumerisme, hedonisme dan dominannya cukong juga  para bedebah terlibat mengurus negeri ini. Namun, tingginya godaan tak berarti permakluman, bahwa politisi muslim boleh salah. Mereka memang bukan malaikat, tapi, penggunaan simbol Islam dalam gerakan politik hendaknya menjadikan politisi muslim melipatgandakan kewaspadaan, mengingat level godaannya pasti akan menyesuaikan. Seperti ceramahnya para kiai dan ustadz yang kerap disampaikan, untuk ukuran jenderal, setan pengganggunya juga selevel jenderal. Tentu saja, yang salah bukan setannya. Karena manusia telah dibekali akal dan hati nurani disertai peringatan untuk tidak terjerumus dosa.   

Harus diakui, para politisi muslim tercitrakan sama saja dengan politisi dari partai non Islam. Parpol Islam terjebak pada syahwat politik untuk berkuasa, mengeruk amunisi menjelang Pemilu 2014, memperkaya diri dan berburu jabatan.         

Simbolisasi agama dalam perjuangan partai yang profan harus disertai dengan komitmen seribu persen untuk menjaga moralitas dalam semua tindakan, baik personal maupun yang terkait publik. Bila tidak, hanya akan memberi amunisi tambahan bagi mereka yang anti simbolisme gerakan Islam, atau bahkan musuh Islam.

Para politisi muslim harusnya sedari awal  sadar, bahwa mereka dituntut berperilaku seperti Nabi, karena itu lah kunci sukses untuk meraih simpati. Karena ketika hal tersebut tak terpenuhi, umat Islam yang notabene pemilih mayoritas itu hanyalah angka tak berarti.

Lihat saja faktanya, sejak Pemilu 1999, perolehan suaranya mencapai 38 persen, Pemilu 2004 mencapai 24 persen dan 2009 sebesar 12 persen. Bahkan hasil survey yang dilakukan LSI dan SMRC pertengahan Oktober 2012 lalu, disebutkan bahwa elektabilitas partai Islam diprediksi tidak akan lebih dari 5 persen. Dengan kasus Lutfi Hasan Ishaq, diyakini suara partai Islam secara total akan semakin terjun bebas.

Belum lagi, situasi persaingan politik yang makin memanas dan ketat.  Kue suaranya memang hanya diperebutkan 10 partai. Sebagaimana Surat Keputusan KPU Nomor 5 Tahun 2013, ada sepuluh partai politik yang berhak mengikuti Pemilu 2014 yaitu Partai Amanat Nasional, PDIP,  Demokrat, Hanura, Gerindra, Golkar, PKB, PKS, PPP dan Partai Nasdem.

Jika dilihat komposisi ideologinya, partai politik yang berbasiskan Islam hanya ada tiga saja, yaitu PPP, PKS dan PKB. Partai Amanat Nasional (PAN) yang selama ini diidentifikasikan sebagai partai Islam secara terbuka menyatakan sebagai partai terbuka. Pun demikian, dengan PKS dan PKB yang mencoba untuk menjadi partai terbuka.

Menguatkan Islam Kultural

Penerapan demokrasi di Indonesia, ternyata berdampak kepada semakin menguatnya gerakan Islam kultural yang sudah mengakar lama, bahkan sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia. Dengan melihat pijakan kultural dan historisnya, gerakan yang dimotori oleh berbagai organisasi sosial kemasyarakatan (Ormas) Islam tersebut diyakini akan semakin menguat perannya.

Harus diakui, gerakan Islam kultural kerap berlawanan dengan gerakan Islam politik dalam beberapa hal.  Apalagi dengan gerakan Islam simbolik, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) dan yang lainnya semakin menunjukkan geliatnya kepada publik. Berbagai demonstrasi, pemasangan spanduk, khutbah, ceramah-ceramah, penerbitan bulletin dan alat propaganda lainnya dilakukan secara terbuka dengan tema yang sama, menegakkan syariat Islam.

Itu lah memang keunikan Indonesia. Sebuah negara yang sejak era reformasi begitu terbuka, menjadi tempat berkumpul dan berkembangnya berbagai ideologi dunia, gerakan bawah tanah dan gerakan transnasional. Ideologi Barat, Timur Tengah dan Syiah masuk dan menjadi bagian dari dialektika pemahaman keagamaan dan kebangsaan negeri ini.                       

Meski demikian, karena pijakan budaya, infrastruktur, kaderisasi dan akar historisnya, gerakan Islam kultural masih akan memberikan pengaruh kuat. Karena itu, ada beberapa strategi yang harus dilakukan agar terjadi penguatan gerakan. Pertama, kurangi syahwat politik. Fakta bahwa kelompok NU dan Muhammadiyah memiliki basis masa yang sangat luas, hingga puluhan juta, menjadi magnet politik dalam setiap pemilihan umum.  Belum lagi di setiap daerah, dukung mendukung calon kepala daerah kerap terjadi. Padahal kondisi tersebut hanya akan memecahbelah komitmen di internal organisasi. Di sisi lain, menyebabkan berkurangnya hormat, komitmen dan kepedulian umat kepada organisasi keagamaan. Politisasi ormas yang dilakukan oleh para elitnya, atau pun ditarik oleh para politisi di luar ormas akan menyebabkan terjadinya perpecahan dan hilangnya elan vital pemberdayaan ormas Islam.

Kedua, perkuat terus gerakan kultural, seperti pendidikan, pemberdayaan masyarakat di bidang sosial dan ekonomi. Bukankah ini tugas utamanya sejak awal didirikan. Muhammadiyah, NU, Persis, PUI dan yang lainnya dikenal sebagai organisasi pilar pendidikan bangsa ini. Bahkan, sebelum kemerdekaan, ormas Islam telah menjadi pendidik utama umat.

Ketiga, kaderisasi mendapat prioritas dengan memberikan kesempatan kepada kader muda untuk mendapatkan pendidikan terbaik juga pengalaman kepemimpinan terbaik sehingga tertempa dan siap menjalankan organisasi di masa depan yang tentunya tantangannya lebih berat lagi.

Beberapa langkah tersebut idealnya menjadi komitmen bersama. Perkara perbedaan pandangan fiqiah dan pilihan politik, hendaknya tak mengurangi ruang silaturahmi dan ukhuwah dalam gerakan kultural bersama ormas Islam. Karena ukhuwah menjadi kekuatan utama untuk mensinergikan semua potensi pemberdayaan umat.

Oleh karena itu, sudah saatnya ego sektoral dan perebutan kepentingan antar ormas Islam dikurangi. Bertindak untuk umat tanpa kecuali adalah harga mati. Atau umat Islam akan seperti buih di lautan, yang terus terombangambing oleh deburan ombak?  Naudzubillah.

Penulis, Peminat Kajian Politik Islam dan  Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung

Sumber, Republika Jawa Barat 13 Februari 2013

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *