Suatu ketika Umar bin Khattab pernah berujar Ironi, “sangat banyak pengunjung Masjidil Haram, tetapi sangat sedikit yang benar-benar behaji”. Ungkapan ini terekspresi ketika merespon sabda Rasullah Saw, dari Anas ra, “Akan datang suatu masa, di masa itu orang kaya berhaji hanya untuk tamasya, kalangan menengahnya berhaji hanya untuk berbisnis, mayoritas mereka berhaji hanya untuk riya dan sum’ah, dan orang-orang fakir berhaji hanya untuk mengemis” (HR. Al-Khatib).
Dalam narasi para ulama, penegasan Baginda Nabi ini sejatinya dipahami sebagai otokritik untuk membersihkan hati jemaah haji dan umroh dari segala motif recehan. Sebab dalam bingkai motif ini, tak sedikitpun mafaat yang didapatkan dari ibadah yang teramat mahal ini. Sebaliknya, ketika terbangun motivasi adiluhung, seperti membangun sekaligus mengokohkan kecintaan kepada Allah dan Rasulullah, tak cukup rasanya tulisan ini untuk mengurai berapa banyak manfaat ibadah haji dan umrah yang akan didapatkan.
Sebut saja Imam Bushiri, seorang penyair yang juga ulama besar di jamannya, pemilik nama lengkap Syarafuddin Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Sa’id ibn Hammad ibn Muhsin ibn ‘Abdullah ash-Shanhaji al-Bushiri al-Mishri, sebagai mana ditulis Nadirsyah Hosen, dalam salah satu artikelnya yang bertajuk, Kisah Jubah Nabi Muhammad Saw (2019: 278). Sepulang melaksanakan haji, sebagian tubuhnya menderita lumpuh. Menemani derai air mata taubatnya yang tertumpah, sebagian tangannya yang masih berpungsi beliau gunakan untuk menulis syair pujian untuk Baginda Nabi.
Berbalut kecintaaan mendalam pada panutannya, dalam keadaan sakit yang teramat arah, Imam Bushiri menulis 162 bait syair; 10 bait tentang cinta, 16 bait tetang hawa nafsu, 30 bait tentang sanjungan pada kangjeng Nabi, 19 bait tentang narasi kelahiran baginda Nabi, 10 bait sanjungan atas kalam Ilahi, 3 bait tentang perjalanan Isra Mikraj, 22 bait tentang esensi jihad, 14 bait tentang istighfar, selebihnya sekitar 38 bait tentang tawasul dan munajat.
Diakhir merampungkan karyanya, dalam suasana kantuk yang teramat sangat, Imam Bushiri mimpi bertemu Baginda Nabi. Beliau berdialog dan membacakan syairnya untuk Sang Panutan. Ketika sampai pada bait ke-51, “fama balaghul ‘ilmi fihi annahu basyarun…”, dalam kepungan suasana haru-biru beliau tidak sanggup melanjutkannya. Setelah baginda Nabi menyapa dan menyuruhnya dengan lembut, Imam Bushiri bisa melanjutkan membaca bait berikutnya, “Wa annahu khayru khalqillahi kullihimi”. Dalam mimpi itu, Baginda Nabi mengusap bagian tubuhnya yang lumpuh kemudian beliau mengalungi Imam Bushiri Burdah (jubah,mantel, sebagian ulama ada yang menerjemahkannya dengan sorban). Saat bangun dan terjaga, Imam Bushiri bisa berjalan. Penyakitnya pulih seperti sediakala.
Atas peristiwa luar biasa ini, Imam Bushiri menamai kumpulan syairnya, Al-Kawâkib ad-Duriyyah fi Madh Khair al-Bariyyah, yang kemudian beliau populerkan dengan Kasidah Burdah. Puisi cinta penuh makna untuk Baginda Nabi ini menjadi Maha Karya yang sangat populer di dunia Islam. Tidak hanya di tempat asalnya Mesir, puisinya itu bisa menembus banyak batas dan dinding teritorial. Karena itu, para pecinta Rasululloh di Persia, India, Pakistan, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam, Inggris, Prancis, Jerman, Spanyol, Italia, sampai Rusia telah menerjemahkan karya itu dalam bahasa mereka masing-masing. Atas fakta fenomenal itu, KH Mustofa Bisri pernah berujar, tidak ada karya sastra yang dikeramatkan melebihi Kasidah Burdah.
Imam Bushiri dengan magnum opusnya Kasidah Burdah, adalah potret indah yang berbicara tentang arti cinta pada Rasululloh. Dalam kecintaan mendalam pada Nabi terakhir itu buahnya adalah ampunan dan kasih sayang Allah (Qs. Ali Imran: 31). Pada kutub itu, meski lumpuh sekalipun, produktivitas dalam karya dan amal sholeh akan tetap mengalir seumpama air.
Kembali keawal, dalam jernihnya motivasi ibadah umroh untuk memupuk kecintaan mendalam pada baginda Nabi, bukan hanya akan menghapus kabut gelap Ironi akhir zaman sebagaimana dikhawatirkan Umar bin Khatab, melainkan akan lahir pengalaman ajaib dan karya hebat semisal Kasidah Burdahnya Imam Bushiri. Semoga.
Aang Ridwan, Pembimbing Haji Plus dan Umroh Khalifah Tour dan dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN SGD Bandung.
Sumber, Pikiran Rakyat 14 Januari 2020