Integritas Kesehatan Pilkada Serentak 2020

Idealnya, Pilkada Serentak 2020 ditunda dalam jangka yang panjang; hingga pandemic covid-19 usai. Namun hingga kini, tidak ada yang tahu pasti kapan pandemic covid-19 akan berakhir; belum ada ilmuwan yang dapat menemukan serum anti covid-19. Bahkan, Kementerian Kesehatan pun mengibaratkan covid-19 virus flu yang akan selalu “berdampingan” dengan manusia. Ketika manusia lengah dan lemah imun, maka terpaparlah; ketika daya tahan tubuh meningkat akan sembuh dan ketika melemah, wafatlah.

Oleh karena itu, Pemerintah, DPR RI, dan KPU RI duduk bersama untuk bersepakat menentukan tanggal baik dan hari baik menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020. Akhirnya, keputusan politik menetapkan, Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan 9 Desember 2020. Kendati kegelisahan, kekhawatiran, dan pesimistik meradang dari berbagai kalangan. Mereka berharap Pilkada Serentak tidak diselenggarakan tergesa-gesa karena covid-19 masih mengancam.

Namun penyelenggara Pilkada di semua tingkatan pun sudah menabuh genderang tahapan kendati mereka dalam keluh kesah dengan berbagai kesulitan: anggaran yang belum cair, regulasi protokol kesehatan yang belum ada, dan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja yang belum jelas. Namun, spirit mereka menandakan, apapun faktanya
Pilkada Serentak 2020 tetap akan dilaksanakan.

Apalagi Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian dalam Webinar IKA Unpad, Sabtu (27/06), baik secara tersurat maupun tersirat menegaskan, banyak alasan kuat sehingga Pilkada Serentak harus diselenggarakan 2020. Selain merupakan hasil kesepatakan politik, Pilkada Serentak 2020 harus 9 Desember di antaranya karena terkait upaya penguatan indeks demokrasi, menunjukkan eksistensi negara demokrasi stabil dalam kondisi walaupun pandemi covid-19, dan melegitimasi eksistensi kepala daerah agar tidak dipegang Pjs terlalu lama.

Problem Pilkada
Sudah disadari dan diakui banyak pihak, penyelenggaraan Pilkada masih menyisakan banyak problem. Kendati berbagai perbaikan sudah dilakukan, bahkan telah melahirkan Pilkada Serentak tiga gelombang (2015, 2017, 2018), tetapi problem-problem tersebut tetap saja terjadi. Selain menghamburkan dana rakyat, Pilkada pun rentan konflik, mewabahnya money politics, tingkat partisipasi rendah, menghidupkan politik dinasti, dan sejumlah problem lainnya. Bahkan, Pilkada acapkali berujung pada tidak signifikannya antara pengorbanan dengan hasil yang didapatkan. Di beberapa daerah, Kepala Daerah hasil Pilkada banyak berakhir di Meja Hijau.

Berbagai pengalaman Pilkada dengan berbagai problem seharusnya menjadi bahan evaluasi untuk membangkitkan semangat penyelengaraan lebih baik. Pilkada Serentak 2020 akan diselengarakan di 270 daerah, 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota, satu di antaranya Pilkada ulang di Kota Makasar; Delapan di antaranya di Jawa Barat: Kota Depok, Kabupaten Bandung, Sukabumi, Indramayu, Cianjur, Tasikmalaya, Karawang, dan Pangandaran. Sejatinya, Pilkada Serentak Gelombang IV terjadi perbaikan dari berbagai masalah Pilkada Serentak sebelumnya. Namun, realitasnya sangat berat, bahkan nyaris tidak mungkin karena dalam Pilkada 2020 justru dihadapkan pada masalah baru: diselenggarakan pada masa pandemic covid-19.

Padahal secara substansial, Pilkada tetap harus menjalankan amanah UUD 1945, dalam kondisi apapun, demokratis harus tetap menjadi ruh penyelenggaraan, termasuk dalam kondisi pandemi covid-19. Dalam pandangan Surbakti (2008), setidaknya ada empat hal yang dapat dijadikan parameter derajat demokrasi dalam penyelenggaraan pemilihan.

Pertama predictable procedures: Pengaturan setiap tahapan penyelenggaraan harus mengandung kepastian hukum dengan indikator jelas dan logis. Jelas diartikan tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis yakni menjadi sistem norma yang tidak berbenturan dengan norma lain atau menimbulkan konflik norma. Kedua free and fair election ; Pengaturan setiap tahap penyelenggaraan berdasarkan asas-asas demokratis: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Ketiga electoral integrity ; Sistem pengawasan dalam penyelenggaraan Pilkada harus mendapat pengawasan pada setiap tahapan secara akurat dan tepat, sehingga hasilnya memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Keempat, sistem penyelesaian sengketa memiliki prosedur yang jelas dan keputusan yang adil.

Integritas Kesehatan
Saat ini, selain masih berkutat perbaikan regulasi yang sudah ada, penyelenggara pun harus menguras semua potensi untuk membuat regulasi protokol kesehatan dalam tahapan krusial rentan penularan covid-19. Regulasi itu pun tetap harus mencerminkan nilai demokratis, sehingga alasan-alasan kesepakatan politik Pilkada tetap dilaksanakan dapat tercapai.

Yang urgen juga dalam memupuk nilai demokrasi pada Pilkada adalah legalitas politis dan sosiologis yang dibuktikan dengan angka partisipasi rakyat. Bahaya covid-19 yang mematikan dengan daya tular masif akan menjadi alasan realistis bagi pemilih untuk tidak hadir di TPS. Apalagi, warga pun baru saja “bangun” dari aturan PSBB : harus di rumah saja, menjaga jarak, dan menghindari kerumuman. Padahal di TPS aktivitas tersebut nyaris semua “dilanggar”.

Dalam konteks inilah, penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 sangat berat. Pencapaian tingkat partisipasi di atas 70% merupakan angka yang pesimistik. Penyelenggara harus membangun trust bagi pemilih. Tidak hanya trust integritas seperti yang selama ini banyak dipertanyakan, tetapi trust kehandalan regulasi protokol kesehatan, sehingga menjamin tidak terciptanya cluster baru penularasan covid-19. Penyelenggara harus menjamin, pemilih tetap sehat sembari mereka pun dalam amcaman bayang-bayang Pemilu 2019 yang telah menggugurkan para pahlawan politik.

Mahi M. Hikmat, Dosen Komunikasi Politik Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Pengurus ISKI Jawa Barat

Sumber, Pikiran Rakyat 18 Juli 2020

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *