Integritas dan Profesionalisme Kerja dalam Islam

Ilustrasi perempuan, laki-laki bekerja /foto Freepik

UINSGD.AC.ID (Humas) — Dalam sejarah Islam, terdapat kisah yang menunjukkan tidak adanya profesionalisme dalam bekerja. Seperti tragedi perang Uhud, yang membuat Nabi dan para sahabatnya diserang balik oleh para musuh sehingga membuat kelompok Islam mundur dan kalah. Ini akibat dari sikap para sahabat yang tergiur terhadap harta ghanimah sehingga menjadikan mereka tidak disiplin sebagaimana arahan nabi Muhammad SAW. Namun para sahabat segera menyadari kesalahan tersebut. Mereka menjadikan perang Uhud sebagai pelajaran berharga agar tidak sampai terulang kembali. Alhasil, pada perang-perang berikutnya para sahabat melakukannya sesuai arahan dan strategi yang telah disepakati bersama Nabi.

Di era saat ini, tidak adanya integritas dan profesionalisme dalam bekerja dan menjalankan amanat jabatan sering kita dengar di berbagai kesempatan. Padahal kedua aspek ini mestinya dijadikan prinsip sekaligus komitmen dalam melakukan sebuah pekerjaan, terlebih pekerjaan yang menyangkut hajat banyak orang. Sebab pada dasarnya sebuah pekerjaan itu merupakan amanah, maka sudah seyogyanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya. Allah berfirman di surat an-Nisa’: 58:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.”

Agama Islam sendiri mengajarkan agar ketika bekerja hendaknya kita melakukannya secara optimal dan penuh tanggung jawab. Hal ini sebagaimana sabda Nabi yang diriwayatkan imam al-Thabrani di dalam kitab al-Mu’jam al-Awsath:

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai seseorang ketika mengerjakan sebuah pekerjaan dilakukan dengan profesional.”

Patut menjadi catatan di sini bahwa profesionalisme bukan berarti harus serba sempurna. Akan tetapi profesionalisme di sini bermakna sungguh-sungguh dalam bekerja sesuai kapasitas dan kredibilitasnya. Kedua aspek inilah yang perlu kita sadari bersama. Kita harus mengaca dan merenung akan bakat dan kemampuan kita masing-masing.

Apabila memang pada dasarnya pekerjaan itu bukan bidang kita namun kita tetap memaksakan diri untuk mengerjakannya, maka sudah pasti hasilnya tidak akan maksimal. Bahkan bisa saja masuk pada pepatah ‘jauh panggang dari api.’ Diakui atau tidak, banyak pekerjaan di sekitar kita yang dilakukan oleh bukan ahlinya. Di dunia pendidikan, kantor, perusahaan, wirausaha, dan bidang lainnya, seringkali proses rekrutmen dan penentuan jabatan dan pekerjaannya bukan berdasarkan kapasitas, melainkan berdasarkan kedekatan, baik personal maupun sosial. Kita harus mengingat ultimatum yang pernah disabdakan Nabi sebagaimana diriwayatkan imam al-Bukhari di dalam kitab Shahih-nya:

إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ
Artinya: “Apabila sebuah urusan diberikan kepada bukan ahlinya maka tunggulah waktu kebinasaannya.”

Kandungan yang pertama. Dalam hadits ini Nabi hendak menegaskan agar kita memberikan mandat kepada seseorang yang memang mempunyai kapasitas sesuai bidangnya, sehingga yang bersangkutan dapat mengerjakan mandat tersebut secara profesional. Yang kedua, kita juga harus jujur kepada diri sendiri mengenai kapasitas kita sendiri. Kita tidak boleh terlena dengan gaji atau upah yang dijanjikan sehingga membuat lupa diri terhadap kapasitas yang kita miliki. Bila memang tidak mampu untuk mengemban sebuah jabatan atau pekerjaan, maka lebih baik tidak menyentuh ranah tersebut sama sekali.

Sikap integritas dan profesinal dalam dunia kerja yang harus diterapkan seluruh pekerja. Pasalnya integritas merupakan salah satu poin penting dalam profesionalisme kerja. Sikap integritas memiliki pengaruh yang besar dalam perjalanan karir seseorang. Hal ini karena integritas menjadi salah satu poin dalam penilaian atasan terhadap kinerja bawahannya. Umumnya pekerja dengan integritas tinggi akan mendapat nilai yang baik. Sebagaimana ditegaskan dalam kaidah ushul fiqh:

ما ال يتم الواجب إال به فهو واجب
Artinya: “Sebuah kewajiban tidak dapat dilaksanakan secara sempurna tanpa keberadaan sesuatu, maka sesuatu itu menjadi wajib.”

Demikian pula dalam hadits Rasullah SAW dari Abdullah bin Mas’ud RA:

طلب الكسب فريضة على كل مسلم
Muhammad bin al-Hasan as Syaibani (132 H/750 M – 189 H/804 M); mengatakan bahwa bekerja keras merupakan tharîqah para nabi dan rasul dalam memenuhi kebutuhan hidup serta sebagai bekal beribadah dan berdakwah.

Pola hidup para nabi dan rasul merupakan keteladanan yang harus dicontoh sebagaimana perintah Allah SWT dalam surah AlAn’am: 90;

أُولَٰئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۖ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ ۗ قُلْ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا ۖ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرَىٰ لِلْعَالَمِينَ
Artinya, “Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an)”. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat”. (QS. AlAn’am [6]:90) .

Pada prinsipnya integritas mengacu pada konsistensi perkataan dan tindakan, serta keselarasan nilai-nilai yang dianut di semua bidang kehidupan, termasuk kehidupan kerja. Dengan kata lain, integritas adalah berpegang pada prinsip-prinsip moral dan bertindakan berdasarkan nilai-nilai yang diyakini oleh seseorang, bahkan ketika itu sulit. Dalam dunia kerja, integritas merupakan sikap ketika seseorang mampu bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang sudah diamanahkan terhadapnya, mengerjakannya dengan penuh profesionalitas, dan menjauhkannya dari kepentingan pribadi. Seseorang dengan sikap integritas berarti sekuat mungkin menghindari praktek tidak etis yang melanggar prinsip, seperti suap, korupsi, atau manipulasi data yang merugikan pihak lain.

Biasanya, semakin tinggi jabatan seseorang, semakin banyak pula peluang untuk menggoyahkan sikap integritas seseorang. Dalam situasi tersebut, penting bagi pekerja untuk memperkuat integritasnya.

Terdapat sejumlah cara menjadikan integritas dan profesional sebagai sikap utama yang selalu diterapkan dalambekerja. Berikut 4 contoh di antaranya.

Pertama: Selalu Siap Bekerja; Ketika atasan memberikan tugas, sudah semestinya seorang pekerja harus siap mengerjakan apa yang ditugaskan oleh atasan dan bertanggung jawab atas semua pekerjaan yang dilakukannya.

Surah At-Taubah ayat 105 berisikan perintah Allah SWT kepada hamba-Nya agar senantiasa bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pekerjaan yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan keluarga serta mendekatkan diri kepada Allah SWT dapat bernilai ibadah. Firman Allah SWT dalam surah At-Taubah ayat 105 berbunyi:

وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: “Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Taubah 105).

Menurut Hamka, surah At-Taubah ayat 105 ini berhubungan dengan Surah Al Isra ayat 84 yang artinya, “Katakanlah: tiap-tiap orang beramal menurut bakatnya tetapi Tuhan engkau lebih mengetahui siapakah yang lebih mendapat petunjuk dalam perjalanan”. Kaitan surah At-Taubah ayat 105 dengan Surah Al-Isra ayat 84 tersebut adalah pada surat Al-Isra tersebut dilengkapi lagi bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berusaha dan bekerja keras sesuai dengan bakat, tenaga serta kemampuannya. Dengan demikian Surah At-Taubah ayat 105 mengisyaratkan bahwa kita harus berusaha sesuai dengan kemampuan maksimal kita dan hal itu akan diperhitungkan oleh Allah SWT. Orang beriman dilarang bersikap malas, berpangku tangan dan menunggu keajaiban menghampiri tanpa adanya usaha.

Kedua: Datang Tepat Waktu; Salah satu cara termudah dalam melihat sikap integritas seorang pekerja adalah dari caranya menghargai waktu. Pekerja dengan sikap integritas tinggi akan bekerja sesuai dengan waktu yang ditentukan dan tidak pernah telat. Berbicara soal disiplin biasanya dikaitkan dengan pemenuhan aturan, terutama sekali pemanfatan waktu. Seseorang kita sebut disiplin apabila mengerjakan tugas dan pekerjaan yang diembannya dengan tepat pada waktunya. Contoh lainnya, seseorang dikategorikan disiplin dalam berlalu-lintas apabila dijalanan mematuhi segenap rambu-rambu lalulintas yang telah digariskan. Islam mengajarkan bahwa menghargai waktu lebih utama sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah Al-Asr 103 ; ayat 1-3 ;

وَالْعَصْرِ(1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ(2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ(3
Artinya:“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya tetap di atas kesabaran.” (QS. Al-’Ashr[103]: 1-3).

Bahkan setiap hari kita diingatkan dengan apa yang disebut Shalat lima waktu, Betapa waktu sangat tertata, itu semua dihadirkan oleh Allah SWT, salah satunya adalah pengingat betapa ketepatan waktu dalam aktivitas adalah sesuatu yang mutlak adanya.

Ketiga: Menyelesaikan Konflik Secara Profesional; Seseorang dengan sikap integritas yang tinggi artinya dapat membedakan kepentingan dan konflik profesional dengan pribadi. Jika menemukan masalah dalam bekerja, pekerja harus menyelesaikannya secara profesional. Konflik merupakan salah satu dari keniscayaan dalam sebuah kehidupan manusia. Tidak berlebihan jika sebagian ahli berkata bahwa sejarah manusia adalah sejarah konflik. Namun demikian, hal ini tidak berarti berbagai konflik dan kekerasan agama akan dibiarkan begitu saja tanpa adanya upaya-upaya mengelola konflik dan meredamnya. Bukankah secara psikologis semua manusia mendambakan kehidupan yang damai dan harmoni di tengah multikultural?. Jika kita bisa melakukan resolusi konflik, niscaya suasana kehidupan akan menjadi damai, penuh kasih sayang, toleran, saling menghargai dan tolong menolong, tanpa membedakan agama apapun yang dianut oleh setiap umat akan menjadi kenyataan, bukan sekedar sebuah mimpi di siang bolong.

Untuk itu,al-Quran sebagai sumber nilai tertinggi dalam agama Islam sangat layak dijadikan sebagai rujukan untuk melakukan beberapa terobosan resolusi konflik demi terciptanya sebuah kedamaian. Bukankah al-Quran sendiri merupakan syifa’ (penawar, obat dan solusi) bagi sebagian problem kemasyarakatan, termasuk di dalamnya masalah konflik dan kekerasan agama. Salah satu nama Alquran ialah asy-Syifa yang berarti obat penyembuh. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS. Yunus [10]: 57).

Berkaitan dengan fenomena kekerasan agama, dalam hal ini ada beberapa ayat al-Quran yang bisa dijadikan inspirasi motivasi dan advokasi untuk terwujudnya resolusi konflik demi terwujudnya perdamaian antar umat manusia. diataranya: 1) Upaya Mediasi (tahkim). dalam (QS. an-Nisa ayat 35) ; 2) Musyawarah (syura). (QS. Ali Imran ayat 158); 3) Saling Memaafkan dan berdamai (ishlah). (Q.S. al-Baqarah: 237). 4) Jaminan Kebebasan (al-Hurriyah). (Q.S. al-Baqarah: 237).

Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh Islam adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Bebas di dini juga bukan berarti bebas tanpa batas, semaunya sendiri, melainkan kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain.

Keempat: Menjaga Rahasia; Pekerja dengan sikap integritas tinggi akan selalu menjaga rahasia institusi/lembaga/perusahaan yang sudah dipercayakan kepadanya dan tidak akan mempublikasikannya kepada masyarakat umum maupun digunakan untuk kepentingan pribadi. Menjaga rahasia adalah sebuah nilai yang diamanahkan dalam Islam. Dengan demikian, menjaga rahasia adalah tanda dari keimanan yang kuat. Seorang Muslim yang benar akan memahami bahwa kepercayaan yang diberikan oleh orang lain untuk menjaga rahasia, merupakan sebuah amanah dari Allah. Oleh karena itu, mereka akan menghargai dan memeliharanya dengan sebaik mungkin.

Maka etika menjaga rahasia bukan sekadar kewajiban, tetapi juga sebuah amalan yang dianugerahkan nilai tinggi dalam Islam. Hal ini merupakan bagian integral dari karakter seorang Muslim yang taat, mengutamakan kepercayaan, keadilan, dan kebaikan dalam hubungannya dengan sesama. Disebutkan juga dalam hadis, bahwa setiap orang yang tidak menetapi janjinya disebut orang munafik.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ عَلاَمَاتِ الْمُنَافِقِ ثَلاَثَةٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Di antara tanda munafik ada tiga: jika berbicara, berdusta; jika berjanji, tidak menapati; jika diberi amanat berkhianat. (H.R Muslim).

Menjaga rahasia juga menjadi salah satu bentuk menghargai dan menapati janji ataupun amanah yang disampaikan oleh seseorang. Namun, jika orang tersebut tidak bisa melaksanakan amanahnya sehingga ia menyebarkan rahasia, maka orang tersebut telah berkhianat dan disebut sebagai orang munafik seperti yang dimaksudkan dalam hadis Muslim. Firman Allah tentang menjaga rahasia;

وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً
Penuhilah janji, karena sesungguhnya janji itu akan ditanyakan. (Q.S al-Isra: 34).

Rasulullah bersabda:

من ستر عورة أخيه المسلم ستر الله عورته يوم القيامة
Barangsiapa yang menutupi aib saudaranya, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat kelak. (HR Ibnu Majah).

Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa seorang Muslim hendaknya menutup aib saudaranya sendiri untuk suatu kebaikan. Karena dalam Islam diajarkan untuk sesama Muslim saling menjaga rahasia maupun aib saudaranya sebagai rasa kehormatan dan menjaga martabat. Tidak hanya menutup aib saudaranya, tetapi Allah juga menekankan untuk tidak mencari-cari aib orang lain untuk disebarluaskan sehingga hal tersebut bisa menjadi fitnah.

Inilah yang menjadi PR kita bersama demi membangun peradaban yang lebih baik. Kita gali potensi dan bakat kita agar dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi dunia, minimal di lingkungan sekitar. Dunia saat ini serba berlomba-lomba dalam berbagai aspek, sehingga bila kita hanya menjadi penonton atau objek, maka kita selaku umat Islam akan tertinggal jauh. Marilah kita fokus mengembangkan kapasitas yang sudah kita miliki saat ini dengan memperbanyak belajar. Kemudian kita mengambil peran sesuai dengan kapasitas kita sehingga integritas dan profesionalisme dapat terealisasi. Dunia kerja yang sedang kita jalani hari ini seyogyanya dilakukan dengan semaksimal mungkin.

Setiap profesi yang melekat pada diri kita pasti masih bisa dikembangkan. Maka bekerja secara profesional pada sejatinya tidak terlena dengan zona nyaman. Dengan kata lain, kita tidak boleh merasa cukup atas kapasitas dan kemampuan yang kita miliki saat ini. Sebab profesionalisme meniscayakan adanya berbagai perubahan dan inovasi jitu yang sekiranya mampu menciptakan kehidupan yang lebih baik. Begitu pula dengan integritas mengandalkan pada kejujuran dalam setiap pekerjaan yang kita tekuni. Bila kita berintegritas dalam bekerja, kita akan menjadi ‘pribadi yang seharusnya’, bukan ‘yang seenaknya’. Kita akan mengerahkan seluruh kemampuan kita demi memberikan hasil yang terbaik. Serta, tidak ada kata menyerah dalam kamus bekerja kita.

Penting juga untuk dipertegas di sini bahwa melaksanakan ibadah dan kewajiban agama lainnya juga termasuk dari sebuah pekerjaan. Maka dari itu, bagaimana caranya kita mengerjakan berbagai kewajiban agama kita secara profesional. Ibadah shalat, puasa, sedekah, dan lainnya, baik yang fardhu maupun yang sunnah, yang personal maupun yang sosial, kita lakukan dengan maksimal. Dengan demikian, kita bukan hanya akan menjadi pribadi yang baik di mata manusia, melainkan juga akan mendapatkan derajat yang tinggi di hadapan Allah. Semoga kita dapat melakukan itu semua seiring taufik dan hidayah-Nya. Amin.

A. Rusdiana, Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *