Hari ini, Rabu 8 April 2020, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung (UIN Bandung) memasuki miladnya yang ke-52. Tentu tidak ada peringatan terbuka karena pandemi corona (Covid-19) telah memaksa seluruh sivitas akademika, sebagaimana masyarakat umum lainnya, harus work from home (WFH), study from home (SFH), social distancing (pembatasan sosial), dan sebagainya.
Peringatan dilakukan di rumah masing-masing melalui telekonferensi dalam zoom meeting. Peringatan diisi dengan sambutan Rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof, Dr. H. Mahmud, M.Si, dan panjatan do’a rasa syukur (tasyakur) seluruh sivitas akademika seraya memohon do’a kepada Allah Swt untuk segera keluar dari cengkraman pandemi Covid-19.
Sejauh ini, Perguruan Tinggi Keagamaan Islam yang dirintis dan dirikan oleh sejumlah cendekiawan dan ulama Jawa Barat tersebut banyak menghadirkan kontribusi nyata bagi segala lapisan masyarakat. Terutama kontribusi melalui publikasi karya ilmiah dan aksi pengabdian kepada masyarakat. Karena itu, UIN Bandung terus menerus mendapatkan pengakuan (rekognisi) dari segala pihak, baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional.
Kontribusi nyata UIN tersebut juga tampak pada cara bagaimana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang seiring sebangun dengan kebutuhan masyarakat dalam upaya mengatasi pemasalahan keagamaan, kemasyarakatan, kebudayaan, kemanusiaan, kenegaraan, dan lain sebagainya.
Berbasis Program Studi
Menariknya, semua itu berbasis program studi yang selama ini dikembangkan. Program studi dibuka dan dikembangkan di lingkungan UIN memang tidak hanya untuk mempersiapkan mahasiswa untuk bisa lulus serta siap memasuki dunia kerja, namun juga menyediakan hasil penelitian yang dapat digunakan bagi pengabdian kepada masyarakat.
Salah satu program studi yang dibuka dan dikembangkan adalah Program Studi Ilmu Politik. Program studi baru yang diresmikan dua tahun lalu dengan SK Menristekdikti RI Nomor 283/KPT/I/2018, tertanggal 15 Maret 2018, bertepatan dengan rangkaian setengah abad milad UIN Bandung. SK tersebut ditindaklanuti dengan surat kesediaan yang ditandatangani oleh Rektor pada Hari Senin, 9 April 2018, tepat sehari setelah tanggal milad UIN Bandung.
Sebagaimana program studi lainnya yang telah lama dan terlebih dahulu hadir sebagai icon UIN Bandung, Program Studi Ilmu Politik terus ‘ngabret’ mengejar perealisasaian visi, misi, tujuan, dan program yang telah ditetapkan sebelumnya.
Kehadiran Program Studi Ilmu Politik senapas dengan kebutuhan masyarakat yang dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan hidup yang berdimensi politik atau kepublikan. Saat ini memang tidak ada satu pun lapisan masyarakat yang luput dari aktivitas politik. Kendati demikian, aktivitas politik yang sering hadir adalah ekspresi-ekspresi keburukan dan kejahatan sehingga masyarakat memukul rata bahwa politik itu kotor.
Menghadirkan Politik Thayyibah
Berpijak pada itu, Program Studi Ilmu Politik berupaya menghadirkan politik thayyibah sebagai pengejawantahan dari visi akhlak karimah. Politik thayyibah hadir sebagai ilmu pengetahuan, teknologi dan sekaligus nilai-nilai universal Islam.
Sejauh ini konsep politik thayyibah harus diakui masih asing dalam pendengaran dan pengucapan. Dewasa ini publik lebih mengenal istilah politik demokrasi, politik militer, politik dinasti, dan lain-lain.
Apalagi kata thayyibah itu sendiri belum sepopuler kata “halal” dalam kehidupan kita bersosial dan bernegara. Di mana kata halal kian populer seiring banyaknya kajian akademik yang dikaitkan dengan dunia kuliner, pariwisata dan lain sebagainya.
Padahal dalam ayat al-Qur’an kedua kata tersebut acapkali berdampingan. Misalnya dalam QS al-Baqarah ayat 168, yang menekankan pentingnya makanan “halalan thayyiban”. Ada pula kata thayyibah yang berdiri sendiri tanpa kata halalan, seperti pada surat Ibrahim ayat 24: “Alam taro kaifa dharaballah matsalaa kalimatan thayyibah ka syajaratin tayyibah…”.
Banyak pendapat tentang makna dari lafadz thayyibah tersebut. Misalnya tafsir dalam al-Qur’an yang diterbitkan oleh Khadim Al Harmain Asy Syarifain, thayyibah pada ayat yang disebutkan kedua adalah perbuatan baik serta segala ucapan dan tindakan yang menyeru atau mengajak kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran.
Ironisnya, ketidakpopuleran istilah politik thayyibah tersebut, sekali lagi, berlangsung di tengah maraknya hiruk-pikuk praktik berkenegaraan yang cenderung buruk. Hiruk-pikuk yang telah memporak porandakan fitrah politik yang sesungguhnya. Karena itu, wajar bila istilah politik banyak direkonseptualisasi dengan sandingan kata yang sebenarnya saling kontradiktif.
Panggilan Alam
Tentu harus diakui bahwa politik itu sendiri memiliki banyak definisi karena ia merupakan konsep yang abstrak. Oleh karena itu, ia membutuhkan upaya pendefinisian agar dimengerti. Di titik inilah dapat dipahami mengapa hadir banyak definisi mengenai politik, puluhan definisi bahkan lebih.
Dalam pengertian luas, politik misalnya banyak didefinisikan sebagai cara atau seni hidup yang baik dalam mengarungi alam semesta dengan seperangkat hukumnya sendiri (sunatullah atau hukum alam). Dalam konteks itu, manusia mesti mengikuti pada setiap ketentuan alam, seperti ketika lapar harus makan, ketika dahaga harus minum, ketika mau punya keturunan harus nikah, ketika siang harus menerima cuaca panas, ketika malam harus menerima cuaca dingin, dan sebagainya.
Dalam pengertian yang luas ini, setiap orang pada dasarnya adalah ‘politisi’ karena semua itu adalah panggilan alam. Memilih untuk mengikuti atau tidak mengikuti terhadap semua panggilan tersebut adalah bagian dari ekspresinya. Di sinilah muncul politics of personal live. Politik menyangkut cara respon manusia terhadap panggilan alam dalam kehidupan sehari-harinya.
Kebaikan Bersama
Sedangkan dalam pengertian terbatas, politik banyak diartikan sebagai cara atau seni hidup bersama dalam keragaman kepentingan dengan bangunan kekuasaan bersama. Berbangsa dan bernegara adalah bagian dari manifestasi cara hidup bersama. Oleh karena itu, politik dalam konteks itu selalu dikaitkan dengan isu-isu kebangsaan dan kenegaraan, seperti sistem pemerintahan dan kekuasaan. Praktek merebut, mempertahankan dan memperluas kekuasaan sangat melekat di dalamnya. Gejala ini melahirkan politics of public live.
Oleh karena itu, manusia baru dapat dikatakan berpolitik manakala mereka mulai memiliki pikiran bagaimana hidup bersama dan bagaimana mengelolanya. Inilah yang disebut dengan panggilan politik, atau dalam istilah Max Weber, politik adalah panggilan (politics is vocation).
Panggilan politik seperti itu sejalan dengan konsep politik yang pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles (384-322 SM). Konsep yang merujuk pada kehidupan bersama di negara kota atau Polis di Yunani Kuno. Kehidupan manusia yang beradab karena memiliki sistem hidup harmonis dalam ikatan kesepahaman kekuasaan bersama. Dan belakangan kata politik itu sendiri diambil dari kata polis, yang kemudian berkembang menjadi publicum (kepentingan umum) dan politics.
Tantangan
Pengertian terbatas mengenai politik menjadi yang paling disoroti banyak pihak karena ia dipraktekan dalam ruang yang lebih terbuka dan senantiasa bersentuhan dengan kepentingan orang banyak. Dan menjadi kian disoroti manakala politik cenderung diekspresikan dengan mengikutsertakan sejumlah gimik.
Sayangnya gimik dengan praktek-praktek keburukan telah menjadi strategi pintas yang banyak dipilih ketika orang-orang melakoninya. Penyebaraan hoaks, fitnah, ujaran kebencian, dan jual beli suara dalam setiap kontestasi kekuasaan adalah contoh nyata dari sejumlah praktek kotor yang melingkari politik.
Yang paling disayangkan lagi, praktek keburukan tersebut kerap menggerek isu-isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antara Golongan). SARA dijadikan bensin yang diguyurkan untuk mempercepat besarnya nyala api keburukan, dengan tujuan lebih memudahkan dalam meraih simpatik publik guna mendapatkan keuntungan-keuntungan politik yang berlimpah-ruah.
Tentu praktek-praktek tersebut memporak-porandakan fitrah politik. Oleh karena itu, wajar bila politik seringkali diidentikan dengan praktek kotor, yang kemudian direkonseptualisasi dengan sandingan kata yang sebenarnya saling kontradiktif. Sebut saja seperti politik kebencian, politik adu domba, politik genderewo, dan sebagainya.
Kata-kata tersebut memiliki makna yang bertolak belakang satu sama lain. Politik memiliki konotasi cara, seni, dan aktivitas kebaikan umum, sementara itu kata benci, adu domba, dan genderewo memiliki konotasi kejahatan.
Kendati demikian, “pencapaian kebaikan bersama dengan didahului oleh aktivitas kejahatan”, dewasa ini memang menjadi tren dan semakin semarak. Padahal pepatah banyak yang mengatakan bahwa capaian yang baik namun diraih dengan cara-cara buruk maka hasilnya akan buruk. Demikian juga, cara-cara baik namun bercampur aduk dengan cara-cara buruk maka cara itu adalah buruk.
Dalam konteks itulah urgensinya melakoni politik harus dengan cara-cara yang baik dan sekaligus menebarkan kebaikan. Politik demikian itulah dikatakan politik thayyibah. Dua kata yang memiliki konotasi positif dan saling melengkapi.
Bila merujuk pada tafsir tentang kata thayyibah sebagaimana diutarakan di atas, maka politik thayyibah adalah seni mengajak orang untuk mengelola kehidupan bersama dan kebaikan umum di atas keberagaman sekaligus mencegah kemungkaran melalui cara-cara yang mulia (karimah).
Selain itu, politik thayyibah dapat juga dimakani sebagai tindakan atau kebijakan mengenai bagaimana menggali, mengelola dan mempromosikan nilai-nilai kebaikan bersama dalam kehidupan berkeagamaan, berkemasyarakatan, berkebangsaan, dan berkenegaraan.
Dengan kehadiran politik thayyibah di tengah-tengah masyarakat, Program Studi Ilmu Politik pada giliranya juga akan berkontribusi nyata bagi masyarakat. Yang berarti pula ikut memperkuat peran UIN Bandung yang unggul dan kompetitif dengan bingkai akhlak karimah. Akhirnya, dirgahayu UIN Sunan Gunung Djati Bandung, barakallah fii umrik. Semoga semakin pinunjul dan berkah bagi sekalian alam. Wallahu’alam bishawab.
Asep Sahid Gatara, Ketua Jurusan Ilmu Politik FISIP UIN Sunan Gunung Djati Bandung