Hijrah Semangat

Hijrah merupakan perintah Allah kepada Nabi Muhammad. Akan tetapi, tempatnya tidak ditentukan, terserah Nabi. Dipilihlah Madinah. Pilihan ini didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman beliau ketika menjalani kegiatan dagang. Nabi menemukan Madinah sebagai tempat yang tepat untuk dipilih.

Di Abad Keenam Masehi, Madinah merupakan tempat istimewa di semenanjung Arabia. Masyarakatnya heterogen; terdiri dari banyak suku, agama, dan kultur. Selain itu, sudah berabad-abad Madinah merupakan kota transit para pedagang antarkawasan. Sebagai mantan pedagang yang biasa pulang pergi Makkah-Yaman, Nabi mengetahui secara persis potensi Madinah. Sebelumnya, Nabi pernah uji coba dengan mengirim sekitar enam puluh orang berhijrah ke Thaif, namun tempat tersebut tidak kondusif dan tidak potensial untuk dijadikan tempat hijrah.

Di Abad Keenam Masehi, Madinah merupakan daerah yang subur dan memiliki persediaan air yang cukup dibanding kawasan lain; terdapat banyak oase di kawasan tersebut. Kehidupan masyarakat Madinah tidak lagi nomaden. Mereka merupakan masyarakat yang telah bermukim secara tetap, dengan aktivitas pertanian dan peternakan.

Tingkat nalar masyarakat Madinah telah sedikit maju di banding masyarakat kawasan lain di sekitarnya, seperti Makkah. Kultur Makkah pada Abad Keenam Masehi sangat terbelakang dan berada dalam kultur feodal, yang membedakan hak tuan dan budak. Tingkat intelektual mereka begitu rendah, sehingga sangat sulit menerima ide-ide cemerlang dan maju yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Sebagai masyarakat yang telah menetap, masyarakat Madinah berbeda dalam tingkat daya nalar. Dibanding dengan masyarakat kawasan lain di semenanjung Arabia, mereka telah sedikit maju. Oleh sebab itu, ketika Nabi Muhammad membawa ajaran tentang persamaan hak, tauhid, dan pengetahuan, mereka merespon dengan sangat terbuka. Kedatangan Nabi Muhammad disambut secara gembira dan meriah dengan mendendangkan syair-syair yang berisi sanjungan.

Sebagaimana diketahui, pada Abad Keenam, dunia sedang didominasi oleh feodalisme Romawi. Sejak peradaban Yunani runtuh di awal Abad Kedua Masehi, Romawi mengendalikan peradaban dunia hingga Abad Keenam.

Berbeda dengan Yunani, feodalisme Romawi tidak menghargai pengetahuan. Orang-orang berpengetahuan dianggap sebagai ancaman kekuasaan sehingga banyak di antara mereka yang dikerangkeng dan dijauhkan dari masyarakat awam. Ilmu pengetahuan tidak menjadi ciri khas peradaban ketika itu, berbeda dengan masa sebelumnya, Yunani. Kebodohan merupakan gejala umum dan identitas kolektif masyarakat. Gerakan individu yang berbeda dengan kebanyakan orang saat itu dianggap anomali atau penyimpangan, seperti yang dialami Nabi Muhammad. Ketika mengajak masyarakat berpengetahuan, dia dianggap gila (majnun).

Nabi Muhammad, secara khusus di Madinah, membuka kembali saluran pengetahuan yang telah dimampetkan oleh bangsa Romawi. Kehidupan ilmiah kembali menjadi ciri khas masyarakat saat itu. Orang-orang berilmu mendapatkan kedudukan istimewa karena ilmunya. Bahkan, dia membuat sebuah “instruksi teologis” yang berisi berisi; mencari ilmu merupakan kewajiban setiap orang. Terjadi transformasi bersar-besaran di Madinah, secara khusus, dan semenanjung Arabia secara umum. Bahkan, tranformasi ini melanda juga negara-negara di luar Arab, setelah Nabi Muhammad mengirim delegasi dengan missi pengetahuan dan dakwah.

Prestasi luar biasa apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad. Dia tidak berbekal modal mumpuni untuk melakukan perubahan besar tersebut. Dia bukan orang yang memiliki modal besar, seperti uang, pengikut, dan keturunan. Sebelumnya, dia hanya seorang mantan pengembala kambing padang pasir. Betul bahwa selanjutnya dia seorang Nabi yang mendapat bekal wahyu. Akan tetapi, wahyu tidak mencover kapasitas Muhammad sebagai manusia biasa. Berbagai kerja keras dicurahkan olehnya.

Tepat sekali pilihan Umar bin Khatab yang menetapkan hijrah Muhammad sebagai titik mangsa tahun Islam (Hijriyyah). Penetapan ini didasarkan prestasi gemilang Nabi dalam membuka kembali pintu pengetahuan yang sebelumnya mati dan tertutup feodalisme Romawi. Penetapan tahun Hijriyyah berbeda dengan penetapan tahun Masehi yang didasarkan pada kelahiran Nabi Isa. Nabi Muhammad berhasil melakukan transformasi pengetahuan kepada masyarakat yang yang telah berabad-abad dibekukan dalam ruang kebodohan oleh sebuah sistem feodal. Masa kebodohan dan keterasingan pengetahuan dari masyarakat ketika itu diistilahkan oleh Nabi dengan sebutan jahiliyyah (kebodohan).

Saya mencatat beberapa pelajaran penting dari hijrah. Pertama, keberanian Nabi Muhammad dalam berbeda dengan kultur masyarakat ketika itu, yang tertutup dan tidak mau membuka diri. Di saat orang menganggap bahwa dunia luar adalah dunia penuh roh jahat dan kehidupan yang tidak jelas, Nabi justeru berbeda dengan pola pandang masyarakat saat itu. Dia berkeyakinan bahwa bumi ini adalah milik Allah yang pasti ditentukan dan dikuasai oleh-Nya.  

Kedua, kemajuan memerlukan keberanian mengambil resiko dan teguh keyakinan. Sebelum hijrah, Nabi dilanda kegalauan, sebab harus meninggalkan tempat tinggalnya yang telah puluhan tahun ditempati. Di saat akan berangkat, dia mengaku betapa berat meninggalkan Makkah, namun hal itu harus dijalaninya untuk keadaan yang lebih baik.

Ketiga, perjalanan dari Makkah ke Madinah, di saat sistem transportasi dalam keadaan sangat sederhana, menunutut keberanian dan semangat tinggi. Masa tempuh selama dua belas hari bukan perkara enteng. Memerlukan kesiapan mental dan daya juang yang serius. Selamat Tahun Baru Hijriyyah 1434!

strong>Sumber: Pikiran Rakyat, 14 November 2012

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *