Hasil Kompromi Terbaik

UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan hasil kompromi terbaik pada masa itu. Menurut Prof Jaih Mubarok, mengapa sebagian kalangan mulai keberatan dengan adanya amendemen UU Nomor 1 Tahun 1974, di antara sebabnya adalah semakin liberalnya sebagian kalangan Islam.

“Amendemen dikhawatirkan akan semakin menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai Islam itu sendiri,” katanya. Berikut perbincangan wartawan Republika, Nashih Nashrullah, dengan Guru Besar Hukum Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung tersebut.

Nuansa fikih munakahat sangat kental da lam undang-undang tersebut. Bisa dijelaskan? Sepanjang yang saya tahu, di Indonesia diakui dua ragam hukum: hukum positif (hukum tertulis) dan hukum alam (hukum tidak tertulis). UU Nomor 1 Tahun 1974 terasa bernuansa fikih munakahat karena mendapat dukungan dari hukum tidak tertulis, yaitu fatwa atau keputusan ormas Islam yang turut terlibat (setidaknya pada saat hearing) dalam pembentukan UU tersebut.

Perlu diketahui bahwa sebelum UU Perkawinan disahkan, Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama pada 1962 yang kemu dian dikuatkan dengan keputusan dalam Muktamar Thariqah Muktabarah 1968, menetapkan mengenai tidak sahnya perkawin an antara laki-laki Muslim dan perempuan non-Muslim dan begitu pula sebaliknya.

Setelah UU 1 Tahun 1971 tentang Perka winan disahkan, tidak sahnya perkawinan beda agama didukung antara lain oleh fatwa Majelis Ulama Indonesia yang ditetapkan pada 26 Mei-1 Juni 1980 dalam Musyawarah Nasional MUI yang kedua; Muktamar Tar jih Muhammadiyah (pada tahun 1980) menetap kan haramnya perkawinan beda agama secara mutlak karena secara sosiologis perkawinan sering kali dijadikan media pemurtadan.

A Hassan (pendiri Persatuan Islam [Persis]) berpendapat bahwa laki-laki yang bukan beragama Islam tidak dibenarkan atau tidak sah menikah dengan perempuan yang berasal dari kalangan Muslimah karena hal itu tidak dibenarkan Alquran, sunah, dan juga tidak ada contoh dari sahabat Nabi SAW. Sebagian kalangan menilai perlunya revisi UU tersebut. Menurut Anda?

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terlihat mengakomodasi beberapa paham hukum (antara lain, hukum Barat dan hukum adat) dan merupakan hasil kompromi terbaik yang berhasil dilakukan oleh bangsa kita pada waktu itu. Kompromi memiliki dua kemungkinan, memuaskan semua pihak atau sebaliknya. Wajar jika sebagian warga bangsa memandang perlu untuk “mengamendemen” undang- undang tersebut.

Umat Islam yang dianggap paling terakomodasi fikih munakahatnya belum tentu merasa puas dengan substansi undang-undang perkawinan. Misalnya, termuatnya kembali substansi hukum perkawinan dalam Komplisi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991) dan pernah dimunculkannya Rancangan Undang- Undang mengenai Hukum Terapan Peradilan Agama (sekira 1994) merupakan indikator ketidakpuasan umat Islam terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974.

Mengapa sebagian kalangan mulai ke beratan dengan adanya amendemen UU Nomor 1 Tahun 1974, di antara sebabnya adalah semakin liberalnya sebagian kalangan Islam sehingga amendemen dikhawatirkan akan semakin menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai Islam itu sendiri.

Dalam beberapa hal, UU tersebut dinilai tak berpihak pada HAM. Menurut Anda?

Saya tidak mengerti jika Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dianggap tidak berpihak kepada HAM.
Bukankah orang dipenjara (membatasi kele luasaannya berbuat hukum) juga secara sepintas terlihat melanggar HAM; akan tetapi dibolehkan karena dibenarkan hukum.

Larangan perkawinan beda agama bukan sebatas persoalan ikhtilaf fiqhiyyah (perbedaan pendapat para ahli fiki); tapi dilarang oleh Alquran, antara lain, pada surah al-Maidah ayat 5, al-Baqarah 22, dan an-Nisa 141, demikian juga hadis. UU Nomor 1 Tahun 1974 bersifat kodikasi (bukan unifikasi). Oleh karena itu, eksistensi hukum perkawinan masing-masing agama diakui oleh UU tersebut.

Apa dan bagaimana konsep ideal internalisasi hukum Islam dalam hukum negara?

Bagi umat Islam, eksistensi negara sebagaimana dijelaskan al-Mawardi (w. 450 H) dalam kitab “al-Ahkam al-Sulthaniyyah”
adalah untuk menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia (hirasat al-din wa siyasat al-dunya). Oleh karena itu, wajar jika umat Islam Indonesia menjadikan negara sebagai media untuk amar makruf dan nahi munkar.

Bukankah ulama, antara lain, Isma’il Razi al-Faruqi (dari International Institute of Islamic Thought [USA]) dan Kuntowijoya sangat menganjurkan agar ajaran Islam yang bersifat normatif menjadi ajaran yang bersifat empirik?

Oleh karena itu, tidak melakukan perkawinan beda agama merupakan bentuk ketundukan dan ketaatan kepada agama dan sekaligus kepada negara. Idealnya umat Islam taat pada aturan agama dan UU Nomor 1 Tahun 1974 terkait larangan perkawinan beda agama. Semua pihak diminta menghormati substansi larang an tersebut karena melakukan perkawinan beda agama melanggar Quran dan sunah serta UU Nomor 1 Tahun 1974.

Undang-undang ini rawan memicu polemik.Apa solusinya?

Saya berharap akan tumbuh kembangnya kesadaran hukum bangsa Indonesia (terutama umat Islam) terhadap nilai-nilai luhur agama, termasuk kesadaran untuk tidak menikah dengan pasangan yang berbeda agama.
Oleh karena itu, diperlukan dua langkah strategis, perlunya internalisasi nilai-nilai agama yang difasilitasi negara melalui regulasi yang berupa peraturan perundang- undangan yang mengarahkan umat Islam untuk melakukan amar makruf dan nahi munkar.
Perlu penguatan gerakan kultural (masya ra kat sipil) yang dilakukan oleh ber ba gai komponen bangsa untuk saling menguatkan nilai-nilai masing-masing agama dengan hidup berdampingan yang saling menghormati perbedaan masing-ma sing agama dan keyakinan.

Semoga gerakan masyarakat sipil berjalan sinergis guna membangun masyarakat Islam yang nasionalis-religius Islami. Saya berharap, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan terhadap substansi UU Perkawinan terkait perkawinan beda agama karena tidak sesuai dengan nilai ketuhanan yang terdapat dalam Pancasila dan UUD 45.

Sumber, Republika 14 September 2014.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter