Harapan Yang Sederhana

Harapan rakyat itu sangatlah sederhana. Namun sebagian besar telah membuangnya, karena tak kunjung nyata. Sementara bagi kebanyakan pemimpin politik, harapan rakyat itu rumit, sekedar janji pemanis dalam kampanye, tanpa keinginan kuat untuk menepatinya. Akibatnya, jangan disalahkan bila kini, kepada pemimpin dan aparat hukum sudah tak ada percaya, pun kepada sesama. Gambaran umum dari apa yang disebut low trust society. Dalam politik, golput menjadi pilihan, karena memang tak ada harapan. Fatwa haram tak lagi mempan, jika sekedar memilih, hasilnya tetap sama, untuk apa?

Demokrasi formal yang telah berjalan puluhan tahun, masih saja menghasilkan wakil rakyat yang mayoritasnya begundal. Partai politik gagal melakukan kaderisasi, melahirkan pemimpin  yang berjuang untuk memberikan daulat kepada rakyat. Jika pun ada, pemimpin daerah yang berhasil dari parpol tertentu, lebih banyak karena faktor tidak sengaja.

Rakyat tak muluk-muluk, hanya meminta agar sembako diperoleh dengan mudah dan harganya murah. Pendidikan dan kesehatan dinikmati gratis. Kepastian hukum ditegakkan. Infrastruktur tersedia baik di seluruh tempat. Perumahan diperoleh dengan murah. Bekerja dan berwirausaha sangatlah mudah. Fasilitas dan ruang publik dinikmati bersama, dengan jumlah yang cukup untuk semua usia, tanpa rasa was-was akan kriminalitas. Birokrasi melayani rakyat dengan mudah, gratis dan sikap ramah.
Dengan begitu, rakyat dapat merasakan lingkungan yang aman, nyaman dan tertib. Saling menghormati tumbuh di antara warga. Di jalanan, sesama pengendara saling menghormati, tetap taat hukum walau tak ada polisi. Banjir dan macet menjadi kejadian yang sangat langka, karena pembangunan dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan lingkungan.

Hingga kini, deretan harap itu masih jauh dari kenyataan.  Pangkal sebabnya, karena pemimpinnya lupa dengan janji dan birokrasinya tak berdaya. Korupsi menjadi budaya. Lima tahun terlampau sebentar untuk merealisasikan janji. Karena itu butuh periode kedua dan seterusnya. Amanat-janji dititipkan ke istri, anak dan cucu yang dengan segenap daya upaya diperjuangkan untuk menjadi penerus tahta. Birokrasinya tetaplah mati, tak mampu menjangkaukan janji pemimpinnya dengan harap rakyatnya. Demokrasi hanya formalitas tanpa substansi. Karena pelaku politik di dalamnya lebih banyak pencuri dibandingkan pemimpin sejati.

Untuk merealisasikan itu semua ternyata mungkin, meski tak bisa dikatakan mudah. Walikota Surabaya Risma bekerja selepas subuh dan terus berusaha memastikan tak ada lagi rakyatnya yang sengsara. Menjadikan Surabaya sejuk, tertata, fasilitas publiknya dapat diakses dengan mudah dan murah serta mulai menjauh dari maksiat. Bantaeng, kota kecil di Sulawesi awalnya saban tahun dilanda banjir. Kini menjadi daerah dengan fasilitas publik sangat layak,  dan rakyatnya merasakan hasil pembangunan dengan nyata. 

Bandung kini mulai berbenah dan harapan untuk mencapai kemajuan dititipkan kepada Ridwan Kamil. Pendekatan budaya dilakukan Kang  Emil. Memberikan rasa aman, kini ada program satu polisi satu RW. Bupati Dedi Mulyadi menjadikan simbol dan nilai budaya Sunda sebagai basis dasar pembangunan di Purwakarta.

Pemimpin Perubahan
Pemilihan Umum 2014 yang tinggal menghitung hari pelaksanaannya dapat menjadi awal melangkah. Kepada 19.699  orang wakil rakyat, baik di pusat maupun daerah, kita titipkan mandat. Sudahlah, muka lama yang jelas-jelas tak ada kerjanya dihukum bersama-sama dengan tidak lagi memandatkan kedaulatan kepada mereka. Rumusan sama kita terapkan untuk pemilihan Presiden-Wakil Presiden dan kepala daerah.

Beri kesempatan kepada yang muda dan baru, dengan mengetahui rekam jejaknya terlebih dahulu. Pastikan semua pemimpin eksekutif dan wakil rakyat untuk melaporkan secara periodik kinerja. Setahun sekali, secara independen, dengan dilakukan perguruan tinggi, selenggarakan survey kepuasan kinerja setiap anggota legislatif dan senator juga seluruh jajaran pemerintahan dari mulai Presiden hingga Lurah atau Kepala Desa. Hasilnya menjadi parameter kinerja, sekaligus penentu, apakah nanti baiknya dipilih kembali atau dibiarkan terjangkiti penyakit post power sindrom.

Harapan menjadi kenyataan adalah rumus dari sebuah perubahan. Hanya saja, pemimpin di jajaran eksekutif  penentu utama sukses atau tidaknya visi-misi perubahan diimplementasikan. Karena itu, dibutuhkan banyak sekali pemimpin nasional dan daerah yang menjadi inspirasi bagi seluruh proses perubahan. Tidak ada satu orang pun yang langsung mampu menjadi pemimpin besar. Jujur, mau mendengarkan semua stake-holder (pemimpin pendengar), memiliki tim yang hebat, fokus pada persoalan satu persatu, mau terus belajar dan bekerja keras menjadi awal kesuksesan kepemimpinan.   

Dalam bukunya yang berjudul The Execution Premium: Linking Strategy To Operations For Competitive Advantage, Robert S Kaplan dan David P Norton mengingatkan agar para pemimpin mampu memobilisasi perubahan yang tengah dilakukan. Menerjemahkan strategi ke dalam tahapan yang lebih operasional. Menyelaraskan struktur organisasi ke dalam strategi yang telah disepakati bersama semua pemangku kepentingan dan inisiatif-inisiatif yang berkembang di lingkungan staf terbawah sekalipun. Pemimpin juga harus terus memotivasi semua orang untuk melaksanakan strategi perubahan. Selanjutnya, mampu mengelola strategi yang telah ditetapkan kepada sebuah proses berkesinambungan dalam jangka panjang.  

Tentu saja, dalam seluruh tahapan yang dilakukannya, pemimpin tidak boleh “masuk angin”. Risma, Jokowi dan Nurdin Abdullah, memberikan teladan bahwa keluarga dan pengurus partai jangan jadi pintu masuk lobi untuk bancakan proyek.  Dalam proses merealisasikan harapan menjadi pembangunan yang dirasakan bersama oleh rakyat, reformasi birokrasi merupakan harga mati. Karena mesin pembangunan, implementator dari visi-misi pembangunan adalah birokrasi.

Melihat pengalaman Risma, Jokowi dan Nurdin Abdullah, dengan kejujuran dan keberanian untuk tidak populer, kebijakan tetap dapat dilaksanakan. Hambatan dari DPRD tetap dapat dilewati. Dengan gaya kepemimpinan penuh kejutan, pemberian hukuman, penghargaan dan keteladanan, birokrasi dapat digerakkan sesuai harapan dalam waktu beberapa bulan. Tentu saja, pada awal kepemimpinan, perlu kerja keras turun langsung ke lapangan (blusukan), tidak lagi duduk di belakang meja menunggu laporan. Seleksi siapa saja di jajaran birokrasi yang dapat mengikuti pola kerja, dilakukan secara terukur.

Dalam bahasa John P Kotter, dalam proses perubahan, buang para penghambat (blocker dan sleeper), kuatkan para pendukung (sponsor dan supporter), hati-hati lah dengan staf yang berprilaku seperti ular, tiba-tiba mematuk dari belakang, menggunting dalam lipatan. Begitulah perubahan, tak pernah mulus seperti yang diharapkan. Namun lebih penting lagi adalah, jika telah berubah, pastikan tidak pernah berhenti melakukan kritik ke dalam untuk perbaikan.

Jadikan capaian dari proses perubahan menjadi budaya keseharian. Meski boleh dirayakan sejenak, jangan mudah berpuas diri dulu, karena jalan perubahan masih jauh dari tujuan. Itu lah pelajaran penting dari reformasi, setelah Soeharto lengser, berpuas diri.  Lupa dengan tujuan awal memberangus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) hingga akar-akarnya. Setelah 16 tahun, KKN yang dulu dibenci, kini semakin menjadi-jadi.  Meski demikian, mari kembali memungut harapan, simpanlah dalam sanubari, jangan pernah dibuang lagi.  Wallâhu’alam.[]  

Iu Rusliana, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, bergiat di Mien R Uno Foundation Jakarta.

Sumber, Pikiran Rakyat 12 Maret 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *