Harapan Sejati

Harta, takhta, anak, istri, keluarga, serta seluruh atribut yang menyertai kehidupan manusia hanyalah titipan dari-Nya. Semua itu merupakan amanah yang harus disyukuri sepenuh hati dan ikhlas menyerahkannya ketika diminta kembali. Memang tak mudah, tauhidlah yang menjadi fondasinya. Dengan tauhid sejati, semua amanah dari Tuhan akan menjadi kebaikan dan harapan sejati, bekal di keabadian.

Mungkin ini salah satu makna dari pendidikan yang disampaikan Luqmanul Hakim kepada anaknya dan diabadikan Allah SWT dalam firman-Nya, “…Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya di waktu ia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS Luqman [31]: 13).

Pesan Luqman kepada anaknya tentang tauhid merupakan fondasi utama dalam melahirkan sifat mulia lainnya. Tauhid yang benar akan membuat seseorang bersikap selalu ingin mendapatkan keridhaan Allah, bukan demi pujian manusia atau kepentingan pribadi.

Seluruh napas, sikap, dan perilakunya diorientasikan kepada Allah SWT. Baginya kekayaan, jabatan, dan seluruh atribut itu hanyalah titipan. Saat harta diminta, dari semula kaya raya menjadi miskin, kita akan sanggup menerimanya. Pun demikian, awalnya menjabat, kemudian pensiun, kita telah menyadari dan mempersiapkannya.

Namun sebagai manusia biasa, bila anak atau anggota keluarga berpulang ke Rahmatullah, tembok kokoh ikhlas dan sabar itu bisa ambruk seketika. Pada saat itu, hanya akal sehat dan keimanan yang bersatu akan memandu, menyusun kembali hati yang lemah walau dengan susah payah. Dukungan doa sahabat dan keluarga akan menguatkan. Tentunya semua berpulang kepada diri kita, seberapa banyak meminta untuk selalu dipandu oleh-Nya. Berdoa, bacalah selalu Alquran, dan mintalah hidayah dari-Nya.

Kuatkanlah selalu kesadaran bahwa semua kebanggaan dalam hidup merupakan ujian, apakah kita mampu mensyukuri atau sebaliknya, kufur nikmat. “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu); di sisi Allah-lah pahala yang besar (QS at-Taghabun [64]:15).

Bilamana kufur nikmat menguasai, siksaan akan datang tidak hanya di akhirat, tapi juga saat di dunia. Allah SWT memberikan peringatan dalam surah at-Taubah ayat 55, “Maka janganlah harta benda dan anak-anak itu menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedangkan mereka dalam keadaan kafir.”

Anak dan harta merupakan kebanggaan. Kepada keduanya harapan masa depan dititipkan. Warisan dan sekolah yang terbaik untuk anak pasti disiapkan. Hanya saja kita kerap lupa bila keduanya hanyalah amanah, kapan pun pemilik sejatinya meminta, harus ikhlas menyerahkannya.

Lagi-lagi, tauhid yang kokoh menjadi kekuatan. Anak yang hebat, gagah, dan cantik hanyalah ujian, apakah kita mampu mendidiknya agar mereka menjadi anak yang saleh sebagaimana dicontohkan Luqman di atas. Sebuah jihad yang luar biasa dari orang tua untuk anak-anaknya. Rezeki yang dinafkahkannya harus terjamin halal dan toyib, keteladanan, didikan, dan lingkungan harus memastikan anak tumbuh sebagai pribadi yang kuat imannya dan mulia akhlaknya.

Akhirnya, hanya harta yang dimanfaatkan untuk kebaikan, ilmu yang bermanfaat, ibadah vertikal dan horizontal yang optimal, serta anak salehlah yang akan menjadi sebaik-baiknya harapan.

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS al-Kahfi [18]:46). Wallâhu’alam.

IU RUSLIANA, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Bandung, aktif di Mien R Uno Foundation (MRUF) Jakarta.

Sumber, Republika 26 Februari 2015.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *