Haji Mabrur Kado Terbaik Untuk Bangsa

Perhelatan ibadah haji, ritual besar tahunan umat Islam kini telah usai.  Para jemaah haji sudah berkumpul kembali dengan keluarga masing-masing di rumah. Kita sebagai kerabat, family, saudara yang kebetulan belum berkesempatan menunaikan ibadah haji, selayaknya mengucapkan selamat dan  syukur atas kepulangan mereka. Semoga mereka menjadi haji mabrur. Ritual haji akan terus berulang setiap tahun. Sebab haji merupakan ibadah tahunan bagi mereka yang mampu dan memenuhi berbagai persyaratan lainnya.

Sebagai muslim, kita patut bangga terhadap meningkatnya jumlah jamaah haji Indonesia yang berangkat ke Makkah. Bahkan banyak yang harus ”antre” menunggu jadwal keberangkatan tahun berikutnya.  Jumlah jamaah haji yang terus bertambah setiap tahun itu, dari satu sisi, memberikan kegembiraan tersendiri. Kondisi tersebut melahirkan dua asumsi dasar. Pertama, merupakan potret nyata tingginya spirit keagamaan masyarakat muslim di Indonesia. Kedua, menunjukkan indikasi perkembangan standar perekonomian masyarakat. Sekalipun dunia dilanda krisis ekonomi global, semangat untuk menunaikan rukun Islam kelima itu tak pernah surut, meski ONH (ongkos naik haji) terbilang mahal.

Lalu, pertanyaannya, dalam konteks Indonesia, apakah banyaknya jamaah haji tersebut bisa dijadikan barometer kualitas keagamaan sekaligus indikator kesesjateraan umat? Pertanyaan itu layak dilontarkan mengingat Indonesia adalah negara yang mayoritas berpenduduk muslim dan menjadi salah satu negara yang memberangkatkan jamaah haji paling banyak.

Berkaitan dengan pertanyaan tersebut, bila para hujjaj (orang yang telah naik haji) sudah mampu jadi haji mabrur, tentu hal itu sudah bisa menunjukkan kualitas keagamaan yang tinggi. Persoalan haji mabrur memang sangatlah abstrak, sehingga setiap individu memungkinkan memiliki penilaian tersendiri. Sesungguhnya yang lebih mengetahui apakah haji seseorang itu mabrur atau mardud (ditolak) hanyalah Allah semata. Namun setiap orang yang melaksanakan ibadah haji tentu berharap agar hajinya mabrur. Sebab haji yang mabrur pahalanya sangat besar yaitu surga. Rasulullah saw bersabda, “Bagi haji mabrur itu tidak ada balasannya melainkan surga” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berbahagialah orang yang diberi kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan memperoleh haji mabrur. Adakah yang lebih berharga daripada surga? Dunia beserta isinya tidak ada apa-apa dibandingkan dengan surga.

Haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah Swt. Menurut sebahagian ulama, haji mabrur adalah ibadah haji yang pengaruhnya terlihat bagi pelakunya, sehingga perilakunya berubah menjadi lebih baik dibandingkan sebelumnya. Pendapat yang lain, haji mabrur adalah ibadah haji yang tidak dicemari dengan dosa. (Subulussalam, 2/283).

Haji mabrur bukanlah sekedar haji yang sah. Mabrur berarti diterima oleh Allah, dan sah berarti menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya diterima oleh Allah. Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrur. Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan, “Yang hajinya mabrur sedikit, tapi mungkin Allah memberikan karunia kepada jamaah haji yang tidak baik lantaran jamaah haji yang baik.”

Sedangkan untuk meraih haji mabrur, antara lain dapat dilihat dari indikator dan kriteria berikut:

Pertama, Ibadah haji dilakukan dengan ikhlas. Syeikh Taqiyuddin Ibn Taymiyah berkata, “Seorang yang hendak melaksanakan ibadah haji wajib berniat untuk mengharapkan ridha Allah Swt, mendekatkan diri kepada-Nya, tidak bertujuan karena harta duniawi, atau untuk berbangga-banggaan, atau untuk mendapatkan gelar haji, atau karena ingin mendapatkan nama baik. Karena yang demikian menyebabkan amal menjadi batal dan tidak dierima disisi Allah Swt.” (Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, 4/3)

Kedua, melakukan ibadah haji sesuai dengan petunjuk (sunnah) Rasulullah saw. Suatu ibadah yang dikerjakan tanpa petunjuk Rasul saw. tidak akan diterima oleh Allah Swt. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu urusan agama yang bukan berasal dari petunjuk kami maka amalannya tersebut ditolak” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Ketiga, ibadah haji dibiayai dengan harta yang halal, bukan haram. Biaya haji tidak boleh berasal dari harta riba, hasil penipuan, judi, pencurian, korupsi, atau lainnya yang merupakan perbuatan yang diharamkan. Akan tetapi harus dari harta halal. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya Allah itu baik. Dia tidak akan menerima kecuali yang baik…” (HR. Muslim dan Tirmizi). Maka, harta yang baik (halal) merupakan syarat diterimanya ibadah.

Keempat, meninggalkan maksiat dan hal-hal yang diharamkan pada waktu mengerjakan ibadah haji, berdasarkan firman Allah Swt, “Barangsiapa mengerjakan (ibadah) haji pada (bulan-bulan) itu, maka janganlah ia rafats, berbuat fasik, dan jidal dalam (melakukan ibadah) haji..” (QS. Al-Baqarah: 197).

Kelima, Setelah selesai melaksanakan haji, perilakunya menjadi lebih baik dari perilaku sebelumnya. Ia akan selalu menjaga dirinya dari  maksiat dan dosa, baik berupa ucapan maupun perbuatan.

Menurut Syaikh Abdul azis bin Abdullah bin Baz, tanda haji yang mabrur adalah melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua kemaksiatan dengan tanpa sedikitpun terus-menerus dalam suatu perbuatan maksiat. Imam Nawawi berkata, “Menurut  pendapat  yang shahih dan masyhur, yang dimaksud dengan mabrur adalah tidak dicemari dengan dosa. Ciri-cirinya, buah kemabruran tampak pada dirinya, seperti perilaku setelah melaksanakan ibadah haji jauh lebih baik dari perilaku sebelum haji.” (Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, 4/5)

Keenam, ia menjadi lebih ramah dan pemurah sesampainya kembali di Tanah Air. Biarpun skalanya kecil-kecilan, ia nampak pemurah di antara sesamanya. Ia tersenyum lebih dulu ketika berpapasan dengan saudaranya semuslim. Ia mengucapkan salam lebih dulu. Ia menjulurkan tangannya lebih dulu ketika bersalaman. Ia bertegur-sapa lebih dulu. Bila saat makan tiba, ia lebih dulu mengajak makan. Untuk keramahan dan kemurahan itu semua, ia tak merasa terbebani sedikit pun. Ia merasa biasa-biasa saja.

Rasulullah Saw. Bersanda: “Wahai Rasulullah apakah (tanda) kemabruran haji itu? Beliau bersabda : Memberi makanan (bantuan sosial, kedermawanan), baik ucapan (lemah lembut, tidak kasar, arogan), dan menebarkan kedamaian (mencari banyak teman untuk kebaikan dan menghilangkan permusuhan)”.

Ketujuh, mendedikasikan dirinya sebagai agen perubahan bagi masyarakat sekitar, negara, atau minimal bagi diri sendiri. Itu berarti, kondisi kehidupan sosial, baik secara pribadi maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, selayaknya jauh lebih baik setelah pelaksanaan ibadah haji. Dengan kata lain, melahirkan transformasi kesalehan dari setiap individu hujjaj sesudah kembali dari melaksanakan ibadah haji di tanah suci Makkah ke negara asal.

Mengacu kriteria itu, muncul pertanyaan kritis, mengapa negara kita masih tergolong peringkat pertama di dunia dalam persoalan korupsi, penyalahgunaan wewenang, manipulasi, sebagaimana yang marak terjadi di kalangan elite akhir-akhir ini?

Padahal, kalau kita mau jujur, para petinggi negara kita, baik yang duduk di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tidak hanya sekali menginjakkan kaki di baitullah untuk menunaikan ibadah haji. Lebih dari itu, di antara mereka ada yang setiap musim haji melaksanakan haji. Ironisnya, fakta di lapangan memperlihatkan, implikasi positif dalam ranah kehidupan sosial dari gelar haji mereka masih sangat minim.

Di sinilah diperlukan niat untuk berhaji yang berangkat dari panggilan Allah semata. Predikat haji yang sama sekali tidak memberikan efek positif dalam kehidupan sosial seperti penegakan hukum, keteguhan dalam menjalankan tanggung jawab kenegaraan, adalah predikat haji yang patut dipertanyakan kualitasnya.

Bisa saja, pelaksaan haji yang demikian hanya berangkat dari upaya mengejar kepentingan politik, reputasi, atau hanya mengikuti tren semata -dengan tidak mengatakan mengikuti bujukan setan. Ini jelas bahwa mereka hanya haji-hajian. Sebab, haji mabrur, antara lain ditandai dengan meningkatnya amal dan ibadah. Ada unsur duniawinya dan ada unsur ukhrowinya. Alangkah besar makna haji mabrur, kalau setiap tahun, puluhan ribu orang Indonesia meningkat amal dan ibadahnya. Mereka akan memberi dampak yang sangat positif pada lingkungannya dan mereka akan memancarkan ajaran Islam yang insya-Allah akan menerangi bumi di sekitarnya.

Dengan kata lain, dalam konteks kehidupan sosial dan bernegara, salah satu tanda kemabruran ibadah haji bisa diraih jika muncul pengikisan praktik-praktik pelanggaran hukum saat kembali ke tanah air.

Diyakini, jika seluruh jamaah haji Indonesia mampu mengaktualisasikan predikat hajinya menjadi agen perubahan bagi bangsa dan negara, kita akan berhasil menjadi bangsa maju yang bersih dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme, dan seluruh problematika sosial yang terjadi selama ini.

Dengan demikian, seorang yang hajinya mabrur adalah mereka yang mampu melakukan perubahan mentalitas dan perilaku sehingga memiliki kesalehan individual dan kesalehan sosial. Mari kita buktikan bahwa kita bukan hanya menang dalam jumlah jamaah haji, tapi juga mampu mencerahkan kehidupan masyarakat dan negara dengan gelar haji mabrur. Semoga!

Penulis adalah Pembimbing Umrah Qiblat Tour serta Dosen Fak. Dakwah dan Komunikasi UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter