(UINSGD.AC.ID)-Dalam narasi para ulama ditarik simpulan, alhajju wal umratu rihlatun lizziyaraati walliqooi ma’allah, esensi ibadah haji dan umrah adalah perjalanan untuk betamu dan bertemu dengan Allah. Dua hal ini sejatinya menjadi orientasi sekaligus pusat kesadaran seluruh jemaah haji.
Sebagai esensi bertamu kepada Allah, unsur-unsur etik dan normatif yang sejatinya melekat pada diri seorang tamu Allah, tidak bisa ditawar lagi. Sebut saja hal-hal seperti; kejernihan pikiran, kebeningan hati, kesantunan tutur kata dan keindahan perilaku, harus menjadi bagian yang tidak dipisahkan dari seorang jemaah haji.
Dalam kesadaran etik normatif ini, setiap jemaah diyakini akan mendapatkan kehormatan untuk bertemu dengan Allah. Makna bertemu dengan Allah tentu bukan wajhan biwajhin, bertatap muka (face to face). Sebab dalam makna ini, kelak Allah janjikan di surga. Pertemuan dengan Allah dalam simpulan para ulama adalah bertemu dengan rahmat-Nya.
Rahmat Allah adalah sesuatu yang teramat mahal, sampai-sampai Rasulullah saw bersabda. Abu Hurairah berkata, ia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Amal seseorang tidak akan memasukkannya ke dalam surga.” “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanya karena karunia dan rahmat Allah.” (HR. Bukhari no. 5673 dan Muslim no. 2816)
Dalam bahasa arab, kata rahmat disebut, mustarak, yakni satu kata yang memiliki banyak makna. Dianatara makna rahmat itu adalah cinta dan kasih sayang-Nya, dibersihkan dosa-dosa, dianugerahi rizki, dan dimasukan surga.
Dalam makna rahmat sebagai cinta dan kasih sayang, ibadah haji adalah perjalan untuk bertemu dengan cinta dan kasih sayang Allah. Ketika menunaikan ibadah haji, setiap jemaah lazimnya dihantarkan pada kesadaran holistik, yakni; sadar diri, sadar posisi dan sadar fungsi. Pada kutub kesadaran ini, seorang jemaah lazimnya mengenal dan mengetahui siapa dirinya. Bila begitu, man arafa nasahu faqod ‘arafa rabbahu, siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal tuhannya. Buah dari pencapaian ini, Allah akan melimpahkan cinta dan kasih sayang-Nya.
Makna rahmat berikutnya adalah dibersihan dosa-dosa. Pada makna ini, ibadah haji adalah perjalan untuk menghapuskan dosa-dosa. Dari Abu Hurairah ra, ia berkata, bahwa ia mendengar Nabi saw bersabda,“Siapa saja yang berhaji karena Allah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana hari ketika dia dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521).
Berikutnya, dari Abdullah bin Mas’ud ra, Rasulullah saw bersabda, “sertakanlah ibadah umrah kepada haji, karena keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa sebagaimana pembakaran menghilangkan karat pada besi, emas, dan perak.” (HR. An-Nasai no. 2631, Tirmidzi no. 810, Ahmad 1: 387). Dalam spirit hadits ini, ibadah haji bisa mematik dianugerahi rizki dan dijauhkan dari kemiskinan.
Dalam makna rahmat sebagai surga. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda; Dan haji mabrur tidak ada balasan yang pantas baginya selain surga.” (HR. Bukhari no. 1773 dan Muslim no. 1349). Menurut hadits ini ibadah haji adalah pertemuan dengan surga sebagai sebaik-baiknya tempat kembali.
Dalam pertemuan dengan rahmat-Nya, buah yang dipetik dari ibadah haji, bukan hanya diraihnya cinta dan kasih sayang Allah, dibersihkan dosa-dosa, dianugerahi rizki, namun juga dijanjikan menjadi penghuni surga. Semoga.
Dr. Aang Ridwan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Sumber, Pikiran Rakyat 27 Juni 2023.