Saya lahir dari keluarga guru. Darah yang mengalir di tubuh saya adalah “darah” Guru. Takdir, juga karena “warisan” darah itu pula, pekerjaan saya sekarang adalah seorang Guru.

Di jaman nenek, bapak juga ibu saya (saya masih ingat) Guru adalah profesi yang “menyedihkan”. Menjadi Guru, sekalipun dia menempati posisi “istimewa” sebagai orang yang berkontrbusi menyuntikan ilmu dan pengetahuan juga akhlak kepada anak didik, adalah profesi yang sulit untuk mencapai maqom kaya. Lain soal jika seorang Guru memiliki profesi sampingan.

Bayangkan, untuk memiliki sebuah kursi, bapak saya harus mengumpulkan uang selama setahun. Dan untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti menyekolahkan anak, bapak harus rela “menitipkan” SK PNS nya di bank. Lalu untuk menutupi kebutuhan sehari-hari? Karena gaji hanya cukup seminggu, Ibu yang juga seorang Guru, sering menyiasati hidangan dengan melakukan improvisasi. Kami makan cukup dengan garam. Atau telor yang diiris tipis-tipis. Atau, cukup dengan membeli kuah gulai.

Dahsyat..

Menjadi Guru di jaman nenek, bapak juga ibu saya, harus punya mental baja dan kemampuan untuk ngutang sana-sini jika tidak ingin terpelanting menjadi miskin semiskin-miskinnya. Benar, posisi Guru adalah posisi yang dihormati tetapi dalam strata ekonomi, profesi Guru menempati lapisan yang dekat dengan garis kemiskinan.

Zaman memang berubah posisi dan kemuliaan guru dari sisi ekonomi merangkak membaik. Negara mungkin sedikit berbaik hati untuk mengangkat harkat dan martabatnya. Dibuatlah regulasi tentang sertifikasi, tunjangan untuk makan dan remunerasi. Sekalipun dengan administrasi yang kadang memberatkan dan berbelit, nafas Guru bisa sedikit lapang. Dan niat negara untuk meningkatkan kesejahteraan Guru layak dihargai.

Tapi tetap saja, profesi Guru sering dipandang sebelah mata. Tak jarang perlakuan yang diterima Guru sering tidak mengenakan. Ada Guru yang dilecehkan anak didiknya. Ada Guru yang dihina orang tua murid. Ada Guru yang harus menerima resiko digunduli oleh aparat keamanan.

Pantaskah Guru menerima hukuman sedemikian hebat? Apakah mereka melakukan kejahatan yang tak terampuni sehingga harus dibuat malu? Bagaimana dengan bangsat duit milayaran? Bukankah merekalah yang pantas untuk digunduli?

Bisa jadi benar, mereka telah melakukan kekeliruan hingga nyawa anak didiknya melayang. Tapi seharusnya, mata hukum dan keadilan lah yang pertama mengenali lalu menyimpulkan hukuman apa yang pantas mereka dapatkan.

Tanpa digunduli, saya yakin para Guru itu malu sendiri. Tidak hanya malu, hati mereka pasti sakit menyaksikan anak didiknya tewas dibawa air deras. Teriakan kepanikan, suara minta tolong serta ketidakmampuan menyelamatkan adalah hukuman yang lebih menyakitkan.

Hormati Guru. Perlakukan mereka secara beradab. Jangan jadi bangsa yang tak tahu balas budi. Tidak ada profesi yang lahir di negeri ini tanpa bantuan Guru.

Duh Gusti!

Bandung, 26 Pebruari 2020.

Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter