Guru dan Pemimpin

Prof. Mukti Ali pernah mengkaji perbedaan antara guru dan pemimpin setelah ia membaca buku Joachim Wach yang berjudul Meister und Junger. Menurutnya, seorang guru adalah orang yang berani berpendapat berdasarkan keilmuannya yang sangat luas meskipun pendapat itu terkadang berbeda dengan pendapat orang banyak, tetapi seorang pemimpin adalah orang yang berbuat sesuai dengan keinginan orang banyak, meskipun bertentangan dengan logika ilmu. Selanjutnya, kata Mukti Ali, seorang guru adalah orang yang terus menerus berusaha menambah dan mendalami ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya, sementara seorang pemimpin adalah orang yang terus berusaha menambah jumlah pengikutnya.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa seorang guru berkewajiban untuk mengemukakan pendapat yang obyektif, tidak terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan ekonomi maupun politik, independen dalam berpendapat dan berijtihad meskipun ada tekanan-tekanan dari kekuatan di luar dirinya, ia tetap berupaya untuk  berpihak kepada logika ilmu pengetahuan, bukan logika kekuasaan. Selain itu, seorang guru harus mau dan mampu mengembangkan ilmu dan pengetahuan dengan cara membaca, menelaah, menulis, dan meneliti topik-topik baru yang dapat memberi kontribusi pemecahan masalah, baik untuk masyarakat ilmiah maupun untuk masyarakat dan bangsanya.

Ini artinya seorang guru tidak boleh hanya mengajar saja sehingga ilmu yang diajarkan itu seperti kaset atau video yang diputar ulang dari semester ke semester, dari tahun ke tahun, tidak ada perubahan, tidak ada revisi dan oleh karena itu, mahasiswanya menjadi jenuh dan bosan karena sudah tahu ilmu dan pengetahuannya tidak berkembang. Seorang guru harus menguasai perkembangan ilmu yang ditekuninya dari awal kemunculan hingga perkembangan modern dan kontemporer dari ilmu itu sehingga tampak adanya perkembangan dan revisi-revisi dari ilmu pengetahuan normal masa lalu.

Dengan demikian, diharapkan seorang guru mampu melihat adanya anomali-anomali dalam setiap ilmu dan kemudian memunculkan apa yang dinamakan ilmu revolusioner, yakni ilmu baru yang mengoreksi kesalahan-kesalahan masa lalu.

Ini tidak berarti kita tidak menghargai para ulama terdahulu. Justru ulama terdahulu itu lebih berhak diagungkan dan dimuliakan daripada ulama sekarang. Hanya saja, di setiap ilmu dan kebenaran, selalu ada kesalahan dan kekeliruan. Seperti yang dikatakan oleh seorang ulama hadis dan imam madzhab, Muhammad b. Idris al-Syafi’i, “Pendapat saya benar, tetapi mungkin mengandung kesalahan. Pendapat Anda salah, tetapi mungkin mengandung kebenaran.”

Jadi, seorang guru tidak boleh mengabsolutkan pendapat-pendapat dan pandangan-pandangannya. Ia harus pula mampu menghargai pendapat dan pandangan orang lain yang mungkin berbeda dengan dirinya, karena perbedaan metodologi atau kerangka teori yang digunakannya. Dengan cara semacam ini, ilmu pengetahuan menjadi terbuka kembali seperti pada zaman Islam awal dan tidak tertutup lagi. Sebaliknya, jika seorang guru atau akademisi bersifat tertutup, maka ia tidak akan melahirkan para pemikir-pemikir besar, tetapi justru akan melahirkan  para pengikut yang berpandangan sempit dan picik yang pada gilirannya tidak mampu hidup di masyarakat secara damai. Sebaliknya, jika yang dikembangkan adalah pemikiran yang terbuka, maka yang akan lahir adalah para pemikir-pemikir besar yang toleran dan berjiwa besar dalam menghadapi perbedaan-perbedaan, baik dalam masalah teologi, fikih, tashawuf, maupun kajian-kajian Islam lainnya.[]

Ali Masrur, Dosen Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *