(UINSGD.AC.ID)-Pada musim dingin, diantara destinasi ziarah yang menarik bagi jamaah umrah adalah Gua Hira. Situs bersejarah ini berada di Jabal Nur dengan ketinggian 281 M dan panjang pendakian sekitar 645 M. Sebelum diangkat menjadi nabi dan rasul, Gua Hira menjadi tempat pilihan Rasul untuk uzlah dan bertakhanuts dari bisingnya kemusyrikan yang dipraktikan kaum jahiliyah. Di Gua Hira pula, Rasulullah menerima wahyu yang pertama, yakni Qur’an surat Al-‘Alaq ayat 1-5.
Dalam konteks kekinian dan ke disinian, diantara pesan utama dari lima ayat yang turun pertama kali di Gua Hira ini adalah pentingnya literasi Al-Qur’an. Dalam makna yang dinamis dan aksiologis, literasi Al-quran adalah langkah akseleratif dan sistematis dalam menumbuh kembangkan tiga kemampuan utama dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an.
Pertama, kemampuan membaca, menulis dan menghafal Al-Qur’an. Pada tahap ini ditemukan sejumlah metode yang populer. Sebut saja; metode qira’ati, yanbu, Iqra dan metode Imla. Kedua, kemampuan memahami luasan arti dan kedalam makna Al-Qur’an. Literasi pada tahap ini bisa diwujudkan dalam bentuk interaksi intensif dengan terjemah dan ragam metodologi tafsir. Ketiga, kemampuan menyiarkan pesan Al-Qur’an. Pada tahap ini, literasi Al-Qur’an, bisa dilakukan melalui tiga kegiatan, yakni; khitobah (public speaking Al-Quran), kitabah (writing Al-Qur’an) dan I’lam (Broadcasting Al-Qur’an).
literasi Al-Quran sangat urgen dipraktikan terkait urgensi memiliki ketahan diri di tengah tantangan digitalisasi. Kuatnya pengaruh intenet, telah menghantarkan manusia bersimbiosa dari homo sapien kepada homo digitalis. Hari ini, di sini, dan di negeri ini, dunia digital telah mengambil alih dan menguasai semua sisi kehidupan.
Pusat kesadaran dan keberadaan manusia bukan lagi pada pikiran, sebagai mana Rene Descartes berkata, cogito ergo sum (aku berfikir maka aku ada). Namun berpusat pada digitus, yakni aktivitas jemari dalam; mengunggah (uploading), mengirim pesan (posting), ngobrol (chating), mencari sesuatu (browsing), dan seterusnya.
Di ruang digital, homo digitalis memiliki kebebasan yang hampir tidak terbatas. Pada kutub ini, teknologi digital selain telah memiliki manfaat yang luar bisa, ternyata juga mewariskan sejumlah masalah yang cukup pelik. Dalam simpulan Yasraf Amir Piliang (2011: 275), ruang digital menjadi semacam ruang untuk pelepasan energi libido atau dorongan hasrat yang jauh lebih bebas ketimbang di dunia nyata. Di ruang digital, iblis menemukan tempat paling aman untuk menggoda manusia.
Ruang digital menjadi arena produksi kultural yang bebas tanpa batas dalam memproduksi, mereproduksi dan mendistribusikan konten-konten yang; narsis, pornografis, rasis, radikalis, isu-isu sara dan konten sampah lainnya. Menyertai itu, ruang digital telah menghantarkan siapapun pada apa yang disebut Ralph Keyes dengan The Post Truth Era (Era Pasca kebenaran).
Dalam kasus Indonesia, disebabkan kemajuan teknologi digital kurang asimetris dengan adaptasi pemerintah, adanya momentum rutin kontestasi elektoral melalui ragam pemilu, dan hidden agenda kaum ekstrimis. Maka era digital menjadi era post truth, suatu era dimana fakta yang benar harus bersaing dengan hoaks dan kebohongan yang dipercayai publik.
Pada kutub masalah ini, pesan dari Gua Hira tentang urgensi literasi Al-Qur’an, menjadi solusi nyata untuk membangun ketahan diri dalam menghadapi Hoaks dan ragam dampak negatif era digital. Dengan begitu, kita tidak bermetamorfosa regresif, dari homo digitalis pada homo barbaris. Semoga.
Aang Ridwan, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Sumber Pikiran Rakyat 1 November 2022