Golput Sebagai Wacana Politik Umat

Para ahli menyatakan bahwa demokrasi itu memiliki rukun dan syarat tertentu, sehingga substansi atau nilai-nilai demokrasi itu menyatu dalam satu cita-cita kemerdekaan bagi bangsa Indonesia, yakni tegaknya keadilan di negeri ini. Jika keadilan bisa ditegakkan oleh pemimpin, maka kesejahteraan dan kedamaian akan secepatnya bisa dirasakan oleh segenap bangsa. Sebab, kesejahteraan dan kedamaian itu bukan penyebab melainkan akibat yang baik dari penegakan “pohon” keadilan.

Persoalannya, keadilan yang bagaimana yang dimaksudkan itu? Karena banyak sekali keadilan disebutkan orang. Adil menurut penguasa belum tentu cocok dengan nilai-nilai keadilan yang dituntut oleh masyarakat. KH. Aceng Zakaria, ulama Persatuan Islam Garut, memberikan perumpamaan yang pas tentang keadilan seperti itu. Kyai Aceng memberikan tamsil tentang keadilan antara penguasa dengan rakyat.

Diceritakan bahwa pada suatu hari para penguasa hutan; singa, harimau, dan anjing berburu. Ringkas cerita, singa menyuruh harimau untuk membagikan hasil buruan mereka. Maka, tampillah harimau melaksanakan tugas untuk membagikan binatang hasil buruan yang terdiri dari kerbau hutan, kambing, dan kelinci. Harimau meyakini bahwa yang disebut adil itu adalah pemerataan dan proporsional. Dengan konsep proporsional itu, harimau membagikan binatang-binatang hasil buruan mereka. Harimau menyatakan, “Terimalah tuan singa, ini kerbau bagianmu! Dan, terimalah wahai anjing, ini kelinci bagianmu! Sementara kambing untuk bagian saya.” Begitulah harimau mengakhiri tugasnya.

Namun, dengan seketika, singa marah besar dan memukul harimau hingga pingsan. Singa menuduh harimau telah berlaku tidak adil. Harimau pun menerima hukumannya. Kemudian singa menyuruh anjing untuk membagikan hasil buruan mereka. Maka, tampillah anjing itu dan memulai membagikan buruan meraka: “ini tuan singa, kerbau bagianmu untuk sarapan pagi. Kambing ini juga bagianmu untuk makan siang. Dan, kelinci ini juga bagianmu untuk makan malam.”

Atas pembagian itu, singa memuji-muji anjing yang telah bertindak seadil-adilnya dalam membagikan basil buruan itu dan singa menjanjikan kepada anjing itu sebagai pembantunya. Anjing mengomentari pujian singa itu dengan menyatakan; “saya bertindak demikian karena melihat harimau yang telah terlentang mati dibutuh singa. Saya tidak mau bernasib demikian,” kata anjing sambil secepatnya menyingkir dari hadapan singa, takut nasibnya seperti harimau.

Itulah keadilan versi binatang. Sementara keadilan versi manusia tentu tidak seperti itu. Ia tidak hanya terletak pada konsep pemerataan dan proporsional, apalagi sampai kekayaan negara atau pusat-pusat ekonomi itu hanya berada dalam genggaman segelintir orang seperti yang digambarkan oleh prototipe singa di atas.

Kalaupun tidak sanggup melaksanakan keadilan yang mampu memunculkan kesejahteraan dan kedamaian bagi rakyat, maka keadilan versi harimau dengan konsep pemerataannya, tampaknya jauh lebih baik dibanding dengan realitas keadilan yang dirasakan oleh bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak 65 tahun lalu. Bangsa ini belum pernah sekalipun merasakan keadilan seperti yang diyakini oleh binatang harimau itu. Bahkan, keadilan di bidang hukum pun tampak telah jauh dari nilai-nilai keadilan itu sendiri. Keadilan di negara ini hanya berlaku bagi rakyat kecil, tetapi tidak berlaku pada orang-orang yang memiliki akses pada kekuasaan atau bagi orang-orang yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik.

Lantas apa gunanya rakyat ikut Pemilu, untuk mengganti pemerintahan demi pemerintahan sebagai fungsi melaksanakan kontrol rakyat terhadap kekuasaan, jika mereka para pemegang kekuasaan: eksekutif, legislatif dan yudikatif, bersepongkol membohongi rakyat yang telah mengamanatkan jabatan kepada mereka. Apa bedanya, kekuasaan otoriter dengan demokrasi. Jika ujung-ujungnya rakyat hanya sebagai objek dari kekuasaan?

Secara teoretis memang partisipasi politik (political participation) sering dianggap sebagai sebuah sarana yang menghubungkan antara tatanan politik dengan tatanan sosial ekonomi yang lebih luas. Para teoretisi klasik, dari Alexis Tocquiville hingga Thomas Jefferson, percaya bahwa partisipasi politik, khususnya pemberian suara dalam pemilihan umum (voting), merupakan kunci menuju suatu pemerintahan yang demokratis.

Pemberian suara merupakan mekanisme yang memungkinkan pemerintah dapat mempertanggungjawabkan perilaku politik mereka di hadapan rakyat. Selain menekankan arti penting pemilihan umum, para teoretisi politik pun menekankan pentingnya kelompok kepentingan (interest group) dan kelompok penekan (pressure group) dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Namun di pihak lain, para teoretisi konflik dalam sosiologi melihat bahwa hampir semua bentuk partisipasi non elit hanya sebagai ritual yang bersifat simbolik daripada tindakan memilih yang rasional sehingga menganggap pemilihan umum sebagai alat yang tidak efektif dalam mengontrol elite politik.

Di lain pihak, munculnya sikap masyarakat yang meragukan calon-calon pemimpin yang ada dan kemudian melahirkan golput (non-vote) atau memilih untuk tidak memilih, seperti wacana yang muncul setiap menjelang pemilu tingkat nasional maupun pemilukada di negeri ini.

Keberadaan golput itu sendiri di samping memenuhi asas demokrasi, juga tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, termasuk dengan ajaran Islam yang merupakan agama yang dianut mayoritas penduduk negeri ini. Bahkan, golput merupakan barometer tersendiri bagi pelaksanaan demokrasi di seluruh negara di dunia. Karena semakin tinggi golputnya dalam pemilu, maka semakin demokratis. Semakin rendah golputnya, tampak semakin tidak demokratis pelaksanaan pemilu itu. Hal ini bisa terlihat dalam setiap pelaksanaan pemilu di zaman Orba di negeri ini.

Kehadiran buku ini sesungguhnya berasal dari pengembangan pemikiran tentang Golput dari keempat penulisnya: Badri Khaeruman, Deden Effendi, Jaih Mubarok dan Idzam Fautanu, yang  kemudian diberi judul: Islam dan Demokrasi: Mengungkap Fenomena Golput sebagai Alternatif Partisipasi Politik Umat, dan diterbitkan oleh PT Nimas Multima, Jakarta.

Karena itu, buku ini layak menjadi referensi untuk menguatkan sikap politik kaum golput, demi menentang kekuasaan yang zalim, yang dihasilkan dari sistem demokrasi di negeri ini.

Judul    : ISLAM DAN DEMOKRASI: Mengungkap Fenomena Golput sebagai Alternatif Partisipasi Politik Umat
Penulis    : Badri Khaeruman, Deden Effendi, Idzam Fautanu, Jaih Mubarok
Cetakan    : I
Tahun     : 2004.
Penerbit: PT. Nimas Multima, Jakarta

 

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *