Garis Merah Proses Demokrasi di Amerika Serikat

Rabu kelabu bagi demokrasi di Amerika, dan juga mungkin di dunia. Tanpa diduga, para pendukung Presiden Donald Trump menyerbu Capitol Hill. Bahkan, empat orang dilaporkan tewas. 

Sebuah fase sejarah yang akan dicatat dengan garis merah dalam proses demokrasi di Amerika khususnya, dan di dunia umumnya. Pemicunya adalah klaim dari Trump bahwa pemilu yang dimenangkan Joe Biden telah dicurangi.

ADVERTISEMENT

Setelah kejadian itu, seluruh dunia mengecam. Bahkan, wakil presiden incumbent tidak sependapat dengan presidennya. Hal yang menarik perhatian adalah reaksi dari berbagai kalangan, misalnya, dari penyokong dana bagi Partai Republik. Hal ini memastikan bahwa terdapat collective agreement -kalimatun sawa-, “Katakan tidak untuk kerusuhan!”

Media sosial menjadi media yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan. Jarimu harimau-mu, Trump dengan twit-nya “memberi angin” pendukungnya untuk bertindak di luar nalar, bahkan mendegradasi nilai demokrasi yang telah lama dibangun. Pada konteks individual, penyalahgunaan penggunaan media sosial, kerap kali memaksa penggunanya untuk berada di balik jeruji besi. Karenanya, medsos kerap kali dijadikan sebagai mesin provokasi untuk menghiperbola atau mendegradasi.

Tindakan di luar nalar dari sebagian pendukung Trump, mendorong mereka melakukan kerusuhan. Kerusuhan merupakan tindakan bersama, atau dalam perspektif-nya Neil J Smelser disebut tingkah laku kolektif collective behavior.

Menurutnya, ada enam faktor yang menyebabkan tingkah laku kolektif; 1) pendorong struktural, 2) ketegangan struktural, 3) pertumbuhan dan penyebarluasan kepercayaan umum, 4) faktor pencetus, 5) mobilisasi pemeran, 6) bekerjanya pengendalian sosial.  Jika menilik dari apa yang terjadi pada Rabu kelabu itu, keenam faktor tersebut walaupun ada yang berdiri sendiri, akan tetapi tetap saling melibatkan. 

Bentuk kerusuhan tidak hanya tindakan bersama yang bersifat massif, pun dapat muncul secara terselubung. Ideologisasi merupakan salah satu kerusuhan pemikiran yang dilakukan oleh the ruling party. Sejarah mencatat, tingkah laku kolektif untuk ideologisasi bahkan lebih merusak. Tidak pada tempatnya, vis a vis yakni menganggap orang lain selalu salah, dan kita selalu benar. 

Hal itu, harus karena sama-sama saling menghargai dan menghormati keyakinan masing-masing. Sikap ini bukan saja antar penganut keyakinan, namun yang lebih penting adalah sesama penganut keyakinan. 

Islam mengajarkan “lakum diinukum waliyadiin”, sebuah pernyataan ideologis untuk memantapkan keyakinan seorang muslim. Pada tahapan selanjutnya mengenai tafsir ayat tersebut, tentu harus menggunakan metodologi memahami al-Quran, ulum al-Quran. Dan mengutip Nadirsyah Hosen (tafsir ayat al-Quran di Medsos), bahwa fase ketiga sampai kelima dalam memaknai wahyu acap kali menimbulkan interpretasi yang berbeda. Dari interpresi yang berbeda inilah, pemaknaan tentang “lakum diinukum waliyadiin” akan sangat tergantung pada siapa yang menyampaikan. 

Pada fase pemaknaan yang berbeda itulah, yang menurut penulis terjadi “kerusuhan” pemikiran. Penutur tentang ayat lakum diinukum waliyadiin -misalnya- akan dipengaruhi oleh 6 faktor yang disebutkan oleh Neil J Smelser di atas. Maka, catatan sejarah selalu saja ada fase saling berhadapan. Vaksinasi oleh vaksin A atau B. Mendukung “sampai mati” A. Islam Yes, Partai Islam No. Politik identitas vs politisasi identitas. Jika kita memahami alur diatas, maka realitas vis a vis itu selalu ada.

Karenanya, “kerusuhan” menurut A akan dimaknai berbeda oleh B. Namun yakinlah, Islam menegaskan dalam QS al Israa [17]: 8, “Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.”

Mudah-mudahan kerusuhan yang terjadi di negara adidaya Amerika Serikat pada Rabu kelabu, tidak terjadi dalam konteks demokrasi di Indonesia. Karenanya, figur pemimpin menjadi sangat penting dan mendasar, karena titahnya menjadi nyata. Keliru menempatkan penentu kebijakan dalam mekanisme apapun, akan berakibat fatal. 

Bukan saja merugikan diri sendiri, lebih dari itu, kebijakannya akan berdampak pada banyak orang dan lingkungan. Pun sebaliknya, tepat memposisikan penentu kebijakan, akan memberikan dampak positif bagi hidup dan kehidupan manusia.  Wallahu a’lam.  

Dr Dindin Jamaluddin (Wakil Dekan FTK UIN SGD Bandung)

Sumber, Republika 16 Januari 2021

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *