Filsafat Ekonomi Islam

Buku yang bertemakan tentang Filsafat Ekonomi Islam terbilang belum banyak terpublikasi di masyarakat Indonesia. Sementara itu, praktik dan aktivitas ekonomi Islam yang tercermin dalam kegiatan perbankan syariah dan lembaga-lembaga ekonomi lainnya menjamur di masyarakat. Oleh sebab itu, penting dihadirkan sebuah buku yang dapat membekali pengetahuan filosofis kepada masyarakat untuk mengoperasikan ekonomi yang berbasis pada ajaran-ajaran Islam.

Buku yang ditulis oleh M. Anton Athoillah dan Bambang Qamaruzzaman, yang berjudul Filsafat Ekonomi Islam ini tepat untuk dihadirkan.

Dalam kata pengantarnya, Rosihan Fahmi menuliskan mengkaji Filsafat Ekonomi Islam, pada dasarnya memang tidak akan semudah membalikan tangan, namun bukan berarti hal tersebut tidak bisa dipelajari dengan cara yang mudah. Ketika filsafat diposisikan sebagai “ibunya segala ilmu”, dengan demikian bisa difahami keberadaan filsafat dalam kajian ini sebagaimana yang pernah diungkap oleh Bertrand Russel, “…filsafat adalah tidak lebih dari suatu usaha untuk…menjawab pertanyaan-pertanyaan terakhir, tidak secara dangkal atau dogmatis seperti yang kita lakukan pada kehidupan sehari-hari atau bahkan dalam kebiasaan ilmu pengetahuan. Akan tetapi secara kritis, dalam arti: setelah segala sesuatunya diselidiki problem-problem apa yang dapat ditimbulkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang demikian itu dan setelah kita menjadi sadar dari segi kekaburan dan kebingungan, yang menjadi dasar bagi pengertian kita sehari-hari…” Dengan demikian berfilsafat tentu saja tak hanya sekedar meletakan “tanda tanya” secara khas oleh filsafat, yaitu sistematis, radikal, kritis, integral dan bersifat reflektif. Hal inilah yang kemudian menjadi akar pembeda antara kajian ilmu ekonomi dengan filsafat ekonomi.

Buku yang berjudul Filsafat Ekonomi Islam ini didasarkan pada aspek pemahaman dan keyakinan Islam sebagai agama yang universal dan komperhensif. Universal berarti bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia di muka bumi dan dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman. Komprehensif artinya bahwa Islam mempunyai ajaran yang lengkap dan sempurna (Kaffah). Kesempurnaan ajaran Islam, dikarenakan Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah ritual semata, tetapi juga aspek mu’amalah yang meliputi sosial, politik, budaya, hukum, ekonomi, dan sebagainya.

Al-Qur’an secara tegas mendeklarasikan kesempurnaan Islam tersebut. Ini dapat dilihat dalam beberapa ayat, seperti pada surat Al-Maidah ayat 3 “Pada hari ini Kusempurnakan bagi kamu agamamu dan Kusempurnakan bagi kamu nikmatKu dan Aku ridho Islam itu sebagai agama kamu”. Dalam ayat lainnya Allah berfirman, “Kami menurunkan Al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu” (QS.16:89). Kesempurnaan Islam ini tidak saja disebutkan dalam Al Quran, namun juga dapat dirasakan baik itu oleh para ulama dan intelektual muslim sampai kepada non muslim.

Seorang orientalis paling terkemuka bernama H.A.R Gibb mengatakan, “Islam is much more than a system of theologi its a complete civilization” (Islam bukan sekedar sistem theologi, tetapi merupakan suatu peradaban yang lengkap). Sehingga menjadi tidak relevan jika Islam dipandang sebagai agama ritual an sich, apalagi menganggapnya sebagai sebuah penghambat kemajuan pembangunan (an obstacle to economic growth). Pandangan yang demikian, disebabkan mereka belum memahami Islam secara utuh.

Islam lebih mengutamakan amal daripada ide, demikian ungkap Mohammad Iqbal dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, karena itu Islam dapat terwujud sebagai suatu peradaban.Islam hadir bukan hanya sebagai gagasan agama, namun sebagai benih dan model peradaban yang Kosmopolitan. Al-Quran bukan sekadar sebuah doktrin, melainkan seruan untuk mengungkapkan kasih sayang dalam amal perbuatan: menumpuk harta kekayaan tidaklah baik dan yang baik adalah berbagi kekayaan secara merata dan menciptakan masyarakat yang adil di mana orang miskin dan lemah diperlakukan secara hormat. (Armstrong, 2012:18). Sifat ajaran Islam yang seperti ini mengembangkan jenis peradaban baru yang lebih aplikatif tidak melulu teoritis.

Filsafat ekonomi, merupakan dasar dari sebuah sistem ekonomi yang dibangun. Berdasarkan filsafat ekonomi yang ada dapat diturunkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, misalnya tujuan kegiatan ekonomi konsumsi, produksi, distribusi, pembangunan ekonomi, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dsb. Filsafat ekonomi Islam didasarkan pada konsep triangle: yakni filsafat Tuhan, manusia dan alam. Kunci filsafat ekonomi Islam terletak pada manusia dengan Tuhan, alam dan manusia lainnya. Dimensi filsafat ekonomi Islam inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya kapitalisme dan sosialisme. Filsafat ekonomi yang Islami, memiliki paradigma yang relevan dengan nilai-nilai logis, etis dan estetis yang Islami yang kemudian difungsionalkan ke tengah tingkah laku ekonomi manusia. Dari filsafat ekonomi ini diturunkan juga nilai-nilai instrumental sebagai perangkat peraturan permainan (rule of game) suatu kegiatan.

Permasalahan besar hari ini, dalam mengkaji ilmu pengetahuan seperti halnya ilmu ekonomi berkembang saat ini yang nota bene kadung di klaim atas nama barat, literatur sejarah teori ekonomi biasanya langsung loncat pada masa abad pertengahan di Eropa. Pemikiran ekonomi yang diproduksi oleh para pemikir Islam ditiadakan, bahkan mungkin dianggap tidak ada. Padahal semua pihak mencatat bahwa ada peradaban Islam pada abad pertengahan yang kemudian memunculkan peradaban modern, abad pencerahan. Jadi, seharusnya, pada abad pertengahan itu kemajuan peradaban dan pengkajian ilmu juga berkembang di wilayah peradaban Islam.

Dalam Encyclokipaedia Britania, Jerome Ravetz menulis, ”Eropa masih berada dalam kegelapan, sehingga tahun 1000 Masehi di mana ia dapat dikatakan kosong dari segala ilmu dan pemikiran, kemudian pada abad ke 12 Masehi, Eropa mulai bangkit. Kebangkitan ini disebabkan oleh adanya persinggungan Eropa dengan dunia Islam yang sangat tinggi di Spanyol dan Palestina, serta juga disebabkan oleh perkembangan kota-kota tempat berkumpul orang-orang kaya yang terpelajar”.

Dalam konteks inilah perkembangan ilmu ekonomi tidak sepenuhnya milik barat. Dengan demikian keberadaan Filsafat Islam, bagaimanapun, harus diakui sebagai jembatan emas bagi perkembangan pengkajian filsafat di Eropa. Tema pembahasan ekonomi setelah dikemukakan oleh para filsuf Yunani Kuno, seperti Plato dan Aristoteles, juga dibicarakan oleh Filsuf Muslim seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, Al-Ghazali, dan sebagainya. Kemudian karya mereka menjadi sumber kedua (setelah filsafat Yunani) dalam perkembangan keilmuan ekonomi di Eropa.

Kontribusi pemikiran Islam selalu dianggap tidak ada, sumber pemikiran modern selalu dirujukkan pada pemikiran Yunan (dan Bible). Samuelson, misalnya, dalam buku teks Economics edisi 7, menyebutkan bahwa asal muasal Ilmu ekonomi adalah Bible (Injil) dan filsafat Yunani –tanpa menyebut kontribusi Filsuf Muslim terhadap perkembangan kajian ekonomi. Demikianpu dengan A History of Economic Thought yang ditulis John Fred Bell (1967). Bagi Samuelson St Thomas Aquinaslah sumber inspirasi utama dari pemikiran Quesney dan Merkantilis, lalu dari kedua pemikir ini menjadi basis bagi pemikiran yang digagas oleh Adam Smith. Kita tahu, Adam Smith adalah tokoh utama dari pemikiran ekonomi konvensional. Bermula dari Adam Smith inilah kita mengenali teoti motif ekonomi, invisible hand, pasar bebas, dan sejenisnya.

Abdul Azis Islahi pada tulisan The Myth of Bryson and Economic Thought in Islam mengekukakan bahwa Filsuf Muslim tidak menerjemahkan The Greek oikonomia dengan bahasa Arab ‘ilm tadbir al-manzil (the science of household management) namun juga menambahkan ruang lingkup bahasan ekonomi. Jika ekonomi Yunani terbatas pada pembahasan gagasan, ‘wants and their satisfactions’, ‘economy of self sufficient households’, ‘division of labour’, ‘barter’, and ‘money’ Filsuf Muslim memperluasnya ke wilayah market function and pricing mechanism, production and distribution problems, government economic role and public finance, poverty eradications, and economic development, etc. Kesimpulan Islahi ini diperkuat dengan tulisan Spengler (1964, p. 304) yang menegaskan bahwa “Muslim scholars extended this branch of knowledge ‘far beyond the household, embracing market, price, monetary, supply, demand phenomena, and hinting at some of the macro-economic relations stressed by Lord Keynes’.”

Kesimpulan Islahi ini menunjukkan adanya perluasan bahasan ekonomi dari pemikiran Yunani ke wilayah yang lebih luas. Ekonomi tidak sekadar pengurusan kebutuhan rumah tangga masyarakat, melainkan lebih dari itu. Situasi perluasan ini dapat dipahami karena peradaban Islam telah berkembang sedemikian rupa sehingga berhadapan dengan sejumlah permasalahan baru yang sebelumnya tidak ditemukan pada zaman Yunani.

Akhir kata, keberadaan Filsafat Ekonomi Islam bukan sekadar ihktiar dalam melakukan islamisasi ilmu pengetahuan semata, lebih dari itu keberadaan Filsafat Ekonomi Islam memberikan sumbangan pengetahuan dan keterlibatan dalam mengkonstruksi peradaban manusia, menuju peradaban perekonomian manusia menuju yang lebih baik, yang didasarkan nilai-nilai pada ruh Islam yang universal.

Buku Filsafat Ekonomi Islam yang dilengkapi data-data dan illustrasi ini dapat memudahkan para pembelajar filsafat ekonomi islam dalam mencerna dan mempraktikannya dalam keseharian. Penyajian buku Filsafat Ekonomi Islam yang dikemas dengan bahasa yang common menjadikan nilai lebih dalam mempelajarinya. Dengan demikian, menjadi manusia pembelajar filsafat ekonomi islam menjadi tidak terbatas hanya dikalangan akademik saja, namun berlaku juga bagi siapa saja yang konsern dalam pengembangan dan mempraktikan ekonomi islam menjadi way of life. []

Judul : Filsafat Ekonomi Islam
Penulis : M. Anton Athoillah dan Bambang Q-Anees
Editor : Rosihan Fahmi
Penerbit : Sahifa
Cetakan : 1
Tahun : 2013
Halaman : 417
ISBN : 978-602-95442-1-3

 

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter