Fenomena Aliran Keagamaan dalam Islam

Pengantar

Kehadian saya di sini tidak untuk ikut-ikutan memvonis atau bahkan menghujat aliran-aliran di lingkungan umat Islam yang belakangan ini muncul, karena 1) kapasitas untuk melakukan itu tidak saya miliki, baik dari sisi intelektualitas keagamaan (saya bukan ulama, kyai, ustadz, tokoh agama, dll), maupun membawa suara ormas-ormas Islam yang ada; 2) saya hanyalah seorang guru agama yang terbatas pada pengajaran agama yang sangat spesifik, yang bahkan secara metodolgis kurang populer di kalangan kebanyakan umat Islam, yaitu ilmu kalam dan ilmu perbandingan agama, yang didalamnya hanya mengangkat fakta-fakta keagamaan yang terlepas dari penilaian ”benar-salah”nya suatu fakta keagamaan itu; 3) Perbedaan, mengkuti pendapat Nurcholish dan para cendekiawan Islam (ulama) lainnya, adalah sunnatullah-hukum alam, yang setiap orang memiliki kecenderungan untuk berbeda; 4) Oleh karena itu, atas basic keguruagamaan saya itulah, saya hanya mencoba merefleksikan pemahaman saya atas fakta yang ada, baik berdasarkan fakta sejarah maupun fakta yang sekarang sedang terjadi. 

Dalam menyikapi perbedaan, saya teringat dengan ungkapan seorang intelektual dan ulama besar, Al-Ghazali. Dengan kecermatan metodologisnya, dia mengatakan, bahwa : “Janganlah anda mengkritik sesuatu (dalam hal ini filsafat) sebelum menguasai betul hal tersebut, bahkan kalau bisa anda mengungguli ahli-ahlinya.” Selama kurang lebih dua tahun, al-Ghazali mengabdikan dirinya untuk mempelajari filsafat secara sistematik, dengan tujuan untuk mengkritiknya, ternyata ia betul-betul menguasainya. Hasil penelitiannya itu ia abadikan dalam karyanya, Maqasid al-Falsifah. Setelah ia menganggap dirinya menguasai filsafat, barulah ia melancarkan kritiknya yang tajam dan jitu terhadap ajaran-ajaran para filosof daalam karyanya yang lebih dikenal Tahafut al-Falasifah.

Sumber Islam : Alqur’an dan As-Sunnah

Sumber utama Islam dan sekaligus sebagai pedoman hidup umat Islam, adalah sumber yang berdasarkan wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah, Alqur’an; kemudian Rasulullah mengajarkannya (As-Sunnah). Karena sebagai sumber kehidupan, maka Alqur’an dan ajarannya adalah rahmat al-’alamin, yang sudah barang tentu bernilai universal. Prinsip pokok yang diajarkan dan menjadi doktrin yang harus diyakini kebenarannya terumuskan dalam paradigma Rukun Iman dan Rukun Islam. Paradigma ini harus menjadi sistem hidup dan kehidupan umat Islam. Dengan demikian, setiap umat Islam berhak dan bebas memahami Alqur’an dan As-Sunnah, selama tidak keluar dari paradigma tadi.

Karena Alqur’an adalah wahyu Ilahi yang berisi nilai-nilai universal kemanusiaan, maka diturunkan bukan hanya untuk sekelompok manusia, tetapi untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Oleh karena itu pula, nilai-nilai dasar Al-Qur’an mencakup berbagai aspek kehidupan manusia secara utuh dan komprehensif. Tema-tema pokoknya mencakup aspek ketuhanan, manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, alam semesta, kenabian, wahyu, eskatologi, dan makhluk-makhluk spiritual. Eksistensi, orisinalitas, dan kebenaran ajarannya dapat dibuktikan oleh sains modern , sedang tuntunan-tuntunannya adalah rahmat bagi semesta alam.

Namun demikian, Al-Qur’an tidak boleh ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus dimitoskan, karena hal tersebut bisa menciptakan jarak antara Al-Qur’an dengan realitas sosial. Alqur’an di satu pihak diidealisasi sebagai sistem nilai sakral dan transendental; sementara di pihak lain realitas sosial yang harus dibimbingnya begitu pragmatis, rasional, dan materialistis. Seolah-olah nilai-nilai Al-Qur’an yang diadreskan untuk manusia berhadap-hadapan dengan realitas itu.

Kenapa terjadi perbedaan?

Untuk menjawab ini, kita mesti melihat dinamika (pemikiran) umat Islam sejak perjalanan Rasul sampai sekarang, termasuk di Indonesia. Para ahli dari berbagai bidang disiplin ilmu, hampir semuanya mengarah kepada suatu kesimpulan, bahwa munculnya perbedaan faham (aliran keagamaan) di lingkungan umat Islam, adalah ketika ”teks suci” (Alquran dan kemudian dipraktekkan Rasulullah/As-Sunnah) ”dikontekstualkan” berdasarkan kenyataan-kenyataan yang sedang berkembang. Oleh karena itu, faktor-faktor 1) Kapasitas intelektual yang menjadi syarat dalam memahami teks suci; 2) latar belakang sosial-kultural; dan 3) dinamika kehidupan ekonomi dan politik sangat mempengaruhi pemikiran, pemahaman atau pun ijtihadi umat Islam. Dengan demikian, setiap pemahaman sudah barang tentu akan melahirkan pemikiran; dan, setiap pemikiran, baik langsung maupun tidak langsung, akan dipengaruhi oleh sosial kultural dimana Islam itu hidup dan berkembang.

Dalam sejarah pemikiran Islam awal, faktor politik begitu dominan, terutama setelah wafatnya Rasulullah. Kemunculan dan perjalanan aliran Khawarij, Murjiah, dan Syi’ah, adalah berawal dari pertikaian masalah imamah. Ketiga aliran pemikiran ini, secara metodologis maupun subtantif masih mewarnai pemikiran muslim sekarang. Berkaitan dengan ini, Dr. Muh. Al-Bahiy, menyebutkan adanya tiga faktor yang menjadi penyebab munculnya perbedaan pemahaman atau aliran-aliran : 1) adanya pergolakan politik dalam negeri; 2) Mengalirnya pemikiran non-muslim; dan 3) akibat proses perubahan kultural dan politik, dari masyarakat/budaya tradisional rural ke budaya/masyarakat maju; dan dari politik regional ke dunia.
Sebagai sebuah realitas historis, sosiologis, dan kultural, maka Islam harus teraktualisasi dalam kehidupan nyata.. Tetapi, aktualisasi pesan-pesan Islam bisa terjadi hanya apabila Alquran telah ditafsirkan dan diperjelas, tidak saja dengan menggunakan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW, melainkan juga dengan ijtihad para ulama, yang sering dipengaruhi konteks sosio-historis, dan kultural tertentu. Ketika intervensi seperti ini terjadi, tidak bisa dihindari muncul berbagai corak paham, aliran, dan mazhab.
Dalam perkembangan lebih lanjut, sebuah paham, aliran, atau mazhab menjadi mainstream, arus utama, ketika penafsiran tetap berada dalam batas-batas kerangka universalitas doktrin Islam. Sebaliknya, jika sebuah penafsiran melewati batas-batas universalitas tersebut, maka ia menjadi penafsiran marginal. Sebagai konsekuensinya, para pemegang penafsiran yang berbeda ini, yang kemudian disebut sebagai kelompok marjinal, menjadi sasaran penindasan. Penindasan tersebut bukan hanya secara sosial, juga secara politik dan kekuasaan

Bila kita lihat ke belakang, akibat intensnya persentuhan umat Islam dengan politik kekuasaan dan perebutan kekuasaan pada masa dan pasca-Dinasti Abasiyah dan Umayah, perkembangan pemikiran Islam itu menjadi stagnan. Terlebih lagi, setelah daerah kekuasaan Islam banyak yang jatuh ke tangan bangsa kolonial lewat Perang Salib ataupun perang saudara. Untuk mengatasi keadaaan yang semakin terpuruk itu, saat itu para ulama menyerukan agar ijtihad diberhentikan. Alasannya, jika perbedaaan pemahaman keagamaan diteruskan berlanjut, umat Islam semakin terpuruk karena terjadi perang saudara. Pada akhirnya, fikih boleh berkembang dibatasi hanya pada 4 (empat) mazhab: Hambali, Maliki, Hanafi, dan Syafii, sedangkan kalam (teologi) yang banyak dianut adalah teologi Asy’ariah dan tasawuf serta filsafat yang dijadikan rujukan adalah paham yang dibawa oleh Al-Ghazali.

Fenomena Aliran Keagamaan di Indonesia.

Perkembangan pemikiran Islam sampai munculnya faham-faham keagamaan di dunia Muslim, senantiasa menarik untuk diamati. Sebab, dari perkembangan pemikiran itu dapat dilihat bagaimana corak pergerakan dan cara pandang keagamaan yang sangat memengaruhi kehidupan sosial, politik, dan budaya umat Islam. Terlebih dalam konteks Indonesia, umat Islamnya sampai sekarang ini sudah mencapai jumlah kurang lebih 90 persen dari total penduduk. Oleh karena itu, perkembangan pemikiran Islam tentu sangat berpengaruh pada situasi dan kondisi Indonesia.

span style=”font-family: “Arial Narrow”,”sans-serif”;”>Perubahan ”orde” dari yang ”lama”, ”baru”, sampai yang sedang terjadi sekarang, ”reformasi”, bukan saja merubah sistem dan tatanan dalam berpolitik, juga sangat mempengaruhi pola dan dinamika pemikiran umat Islam. Saya pernah membuka dan membaca dalam internet, suatu refleksi seorang umat Islam dalam menyikapi keadaan masyarakat Indonesia sekarang : ”Belakangan ini dapat kita lihat, betapa tidak sedikitnya tokoh yang menawarkan diri untuk menjadi pemimpin, mencalonkan diri sebagai presiden, bahkan––tidak tangung-tanggung––ada pula orang yang mengaku diri sebagai nabi atau malaikat. Betapa heboh nya dinamika bangsa ini. Bukan saja dalam hal kebangsaaan, melainkan juga dalam hal kehidupan ruhaniah keagamaan”.

Tampaknya, kebebasan ’ala reformasi’, memberi peluang kepada semua orang untuk mengekspresikan jati dirinya baik melalui ide, harapan, maupun keinginan-keinginan yang selama ini (orde baru) terkunci. Demikian pula, kemunculan aliran-aliran keagamaan di Indonesia yang dipandang tidak sejalan dengan keyakinan pokok umat Islam yang mayoritas itu tidak terlepas dari beberapa faktor, baik pembinaan internal, partisipasi pemerintah, stabilitas politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Namun demikian, salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan adalah karena dangkalnya akidah dan pengetahuan sebagian umat Islam. Sehingga pada saat bersamaan, jika ada upaya pendangkalan akidah umat Islam karena tidak suka dengan berkembangnya Islam, akan mudah terpengaruhi.

Harus diakui, bahwa semua ormas dan orsospol Islam belum maksimal dalam membina aqidah umat. Pembinaan yang serius boleh jadi belum berhasil sepenuhnya.Di tataran akar rumput, harus diakui pula bahwa umat ini masih belum mendapat sentuhan pendidikan dan pembinaan keagamaan. Fenomena maraknya pengajian dan ceramah baru menyentuh lapis luar. Sedangkan akar rumput rakyat yang terselip di sana-sini, luput dari sentuhan pembinaan. Angka 250 aliran yang dipandang ”nyeleneh” dan masih mengakui sebagai umat Islam sepanjang 26 tahun, menunjukkan secara telanjang bahwa begitu mudahnya sebuah aliran itu lahir dan punya pengikut.

span style=”font-family: “Arial Narrow”,”sans-serif”;”>Kita pun patut mempertanyakan kepedulian pemerintah, dalam hal ini lembaga terkait, seperti Departemen Agama, sudah sejak lama berkembang aliran-aliran keagamaan yang dipandang tidak sejalan keyakinan akidah mayoritas umat Islam Indonesia, tapi ”tidak” maksimal dalam bentuk tindakan nyata. Hal ini nampak, ketika umat sudah terjebak tindakan anarkis, barulah bertindak. Seolah-olah kebakaran jenggot. Alasannya memang begitu klise, pemerintah tidak boleh berpihak dan harus mengayomi semua aspirasi masyarakat.

Belum adanya payung hukum yang jelas untuk mengukur ”sesat tidaknya” sebuah aliran keagamaan, sehingga, kalaupun ada yang sudah dipandang ”sesat” oleh sebagian komunitas muslim maupun MUI, tidak dianggap sebagai melawan hukum. Kalau pun ada yang ditangkap, bukan karena urusan aqidah yang sesat, tapi karena dianggap meresahkan masyarakat.

Untuk menyikapi semaraknya aliran keagamaan yang ”nyeleneh”, yang perlu dilakukan, diantaranya :
Pertama; tugas dan kewajiban untuk meluruskan akidah yang dianggap ”nyeleneh” adalah tugas para ahli agama, seperti para Ulama, Kyai, para Da’i, cendekiawan dan intelektual Muslim, maupun ormas-ormas Islam. Karena mereka semua memiliki kapasitas keilmuan, kewibawaan, dan ketokohan yang dapat diterima oleh umat Islam. Oleh karena itu, satu sikap, saling kerja sama, dan memiliki visi dan misi yang sama untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam supaya menjadi warna kehidupan bangsa Indonesia, adalah suatu tugas yang sangat mulia dan suci.

Kedua; pembinaan internal dilingkungan umat Islam lebih digiatkan dengan penyajian materi keagamaan yang terstruktur, misalnya mulai dari pemeliharaan dan pendalaman keimanan sampai kepada masalah-masalah yang berhubungan dengan berbagai aspek kehidupan. Dengan demikian, Islam tidak hanya dikesani sebagai urusan mesjid, majlis ta’lim, maupun perayaan-perayaan Islam lainnya, tetapi jauh dari kesan itu, yaitu sebagai way of life, sebagaimana dipesankan Alqur’an.

Ketiga; lembaga yang sudah diakui keberadaannya sebagai ”partner” pemerintah dalam urusan-urusan keagamaan, yaitu MUI, benar-benar menjadi representasi umat Islam Indonesia, juga, tidak hanya sebatas memberi fatwa-fatwa, tetapi juga memiliki dampak hukum yang mengikat. Oleh karena itu, MUI memerlukan payung hukum supaya lebih leluasa dalam upaya preventif dan melakukan pelarangan terhadap aliran-aliran keagamaan yang ”nyeleneh”.

Keempat; semakin maraknya aliran yang nyeleneh di berbagai tempat sangat meresahkan masyarakat. Para ulama dan umara kiranya perlu bersikap dan bertindak lebih tanggap mengantisipasi keadaan sebelum terlambat. Ulama dan umara diharapkan tidak tinggal diam bila mengetahui keberadaan suatu ajaran agama yang nyeleneh. Jangan dibiarkan berkembang dan membuat masyarakat resah sekaligus juga bisa menimbulkan ketidakstabilan masyarakat. Masyarakat yang resah bisa saja mengambil tindakan sendiri. Kericuhan dan kekacauan massa bisa terjadi tiba-tiba.

Wallahu a’lam

(makalah disampaikan dalam sarasehan KNPI Kota Bogor di Auditorium RRI Bogor, 26 Januari 2008)

 

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *