FAH UIN SGD Kuatkan Mutu Tri Dharma PT Menuju WCU

Kerja keras, cerdas, cermat, ikhlas, niat karena Allah dan tawakal menjadi faktor yang tidak boleh diabaikan dalam mewujudkan UIN Sunan Gunung Djati (SGD) Bandung yang unggul, kompetitif menuju world class university (WCU).

Pernyataan itu disampaikan oleh Rektor UIN SGD Bandung Prof. Dr. H. Mahmud, M.Si. saat membuka acara Rapat Koordinasi (Rakor) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) bertajuk “Menguatkan Akuntabilitas Tata Kelola Akademik dan Administrasi dalam Rangka Penguatan Mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi di FAH UIN SGD Bandung.

Dia menyampaikan tentang Indikator Kinerja Utama (IKU) yang telah disepakati antara rektor dengan para dekan sebagai rujukan. Untuk cita-cita UIN SGD Bandung menjadi world class university harus dimulai secara bertahap.

“Tentu tidak mudah dan butuh waktu untuk menuju world class university, tapi ini harus menjadi prioritas dan dilakukan secara bertahap. Karena Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) semua prodinya sudah terakreditasi A semua, maka untuk level nasional sudah selesai, berikutnya bertahap untuk level ASEAN, Asia, dan kemudian internasional,” papar Mahmud, pada akhir pekan lalu.

Rektor menegaskan faktor lain menuju world class university yang tidak boleh dilupakan semangat kebersamaan, dan jangan sampai mengabaikan urusan kecil yang berpotensi menjadi batu sandungan.

“Kerjakan dari yang besar sampai hal-hal kecil, urus semua yang menuju ke situ (WCU) dengan baik, termasuk masalah publikasi ilmiah. Kerjakan semuanya dengan niat karena Allah, semangat dan keikhlasan, insyaf Allah di mana ada kemauan di situ ada jalan, karena kita hanya berusaha dengan maksimal, soal hasil kita tawakal pada Allah,” jelasnya.

Dekan FAH Dr. H. Setia Gumilar, M.Si. menekankan tentang pentingnya acara rapat koordinasi untuk menjalin kebersamaan kesepahaman antar ASN di lingkungan fakultas. Kebersamaan dan kesepahaman menjadi faktor utama untuk menunjang peningkatan mutu tri dharma di lingkungan Fakultas Adab dan Humaniora.

Menurutnya, ada dua isu penting dalam rapat koordinasi ini, pertama, internal tentang peningkatan akreditasi di tingkat Asia Tenggara (AUN-QA). Kedua, eksternal tentang publikasi ilmiah para dosen FAH, baik jurnal maupun kepemilikan HKI dosen yang berjumlah 80 sertifikat.

“Semua prodi di Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) sejak lama sudah bernilai A, sekarang waktunya, sesuai instruksi Pak Rektor, kita akan mulai mempersiapkan diri untuk AUN-QA, karena pihak fakultas telah mempersiapkan bantuan dana di tahun ini untuk publikasi ilmiah para dosen agar menjadi tambahan semangat dalam meneliti,” tutur Setia.

Diakuinya, tantangan eksternal yang dihadapi di masa depan sangat kompleks. Dengan mengutip tulisan Dendy Raditya yang di muat di IndoPROGRESS, 6 April 2016 tentang Matinya Ilmu Sosial dan Humaniora, Matinya Kemanusiaan. Dalam tulisan itu Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menginstruksikan untuk menutup fakultas-fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora yang ada di 60 universitas nasional di negaranya. Terdapat 26 universitas di antaranya mengonfirmasi akan menutup atau menimbang ulang keberadaan fakultas-fakultas tersebut.

Dalam pandangannya, saat ini ilmu sosial dan humaniora sering dianggap sebagai jurusan kelas dua dan orang lebih mengutamakan ilmu praktis atau eksakta.

“Salah satu dampak dari revolusi industri, adalah hilangnya nilai-nilai kemanusiaan, sehingga saat ini rasanya tidak wah, jika tidak kuliah di jurusan fisika, kimia, teknik dan ilmu eksakta lainnya. Ini menjadi tantangan bagi kita untuk membuktikan bahwa ilmu sosial dan humaniora tidak kalah penting dengan ilmu lainnya, agar nilai-nilai kemanusiaan tidak merosot. Semoga kedua isu ini bisa dijadikan pijakan untuk menelurkan program-program kerja pada rapat koordinasi kali ini,” tandasnya.

Acara rakor yang diikuti seluruh dosen dan tenaga pendidik di lingkungan FAH UIN SGD Bandung dari tanggal 23-25 Januari 2020 dihadiri Guru Besar Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Prof. Dr. H. Nurwadjah Ahmad EQ., MA. Guru Besar Ilmu Sejarah, Prof. Dr. Sulasman, M.Hum.

Prof. Dr. Bunyamin Maftuh, M. Pd., MA. (Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia) tampil sebagai narasumber yang membahas tentang “Pergeseran Sistem Pendidikan di Indonesia Pada Era Revolusi Industri 4.0: Realitas dan Proyeksi” yang dipandu oleh Wakil Dekan I Bidang Akademik FAH, Dr. Dadan Rusmana, M. Ag.

Dalam pemaparannya, Prof. Bunyamin menjelaskan dampak positif dan negatif revolusi industri 4.0, khususnya bagi pendidikan tinggi. Salah satu dari beberapa dampak yang cukup mendapat banyak sorotan adalah tentang kemandirian belajar mahasiswa untuk mencari sumber belajar sendiri dan pembelajaran yang tidak selalu harus di dalam kelas. Meskipun demikian, menurutnya tatap muka di dalam kelas tetap diperlukan.

“Sistem blended learning (paduan tatap muka dan online) menjadi alternatif paling tepat, karena bagaimanapun juga tatap muka tetap penting, sebab penanaman karakter, moral atau akhlak hanya bisa dilakukan lewat tatap muka,” jelas Bunyamin.

Mantan Direktur Karier dan Kompetensi Sumber Daya Manusia pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini menekankan pentingnya para dosen untuk memiliki soft skill yang mampu mengimbangi perkembangan pembelajaran di era revolusi industri, di samping memiliki kepakaran di bidang keilmuannya.

“Tidak perlu khawatir dengan perkembangan IT di era revolusi industri saat ini, dengan catatan para dosen harus mengikuti perkembangan dengan terus belajar agar tidak ketinggalan.” tuturnya. Pentingnya pendidik memiliki empat kemampuanskill penting di masa kini, seperti critical thinking, creative, communication, dan collaboration.

“Dosen harus memiliki keempat, soft skill yang penting ini dan menularkannya pada mahasiswa. Misalnya saja, seorang dosen bahasa Inggris mengajar writing, pernah nggak mewajibkan mahasiswa mempraktikkan written communication dengan pihak luar? Hal seperti ini penting untuk mengajarkan kemampuan kolaborasi pada mereka,” pungkas Bunyamin. (okky adiana)

Sumber, Inilah Koran 26 Jan 2020, 12:15

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter