Embrio Sick-Lus, Kampanye Cinta Alam Ala Teater Awal

[www.uinsgd.ac.id] Butir hujan masih menetes saat Auditorium UIN SGD Bandung mulai gelap. Pukul tujuh malam para penonton  berkerumun menunggu kurasi pementasan Embrio Sick-lus dari Teater Awal Bandung, Rabu (28/1/2015). Beberapa puluh menit kemudian, seseorang mengumumkan agar penonton memasuki ruang Auditorium.

Sebelah kiri pintu masuk terdapat kayu yang dibuat secara berundak, beberapa tanaman bergantung padanya, dan terletak berada di tengah ruangan. Panggung dibuat beralaskan serbuk kayu. Penonton masuk dan diatur duduk lesehan, lampu menyala dari atas panggung dengan temaram.

“Tanah adalah bumi, ia ada sebagai wujud semesta. Karena Yang Maha Kuasa tak bertanah. Maka kita adalah tanah itu sendiri, yang akan melebur bersamanya. Sekaligus menjadi tanah. Ya sekaligus menjadi tanah,” dialog yang diucapkan lelaki berjubah merah ditengah tanah yang ia hirup.

Sosok pria berjubah merah berjalan dengan wajah lusuh memegang buku besar. Ia merasa sendiri dan membutuhkan seorang teman agar  bisa kembali menuliskan kisah di bukunya. Tak lama terdengar suara pukulan besi “teng…teng…” ia merasa ada teman  menghampirinya. “Tunggu aku… tunggu aku,” katanya sambil berlari mencari sumber suara itu yang semakin lama semakin menghilang.

Adegan pembuka pentas berjudul  Embrio Sick-lus karya bersama Teater Awal.  Penonton yang memadati  ruang Auditorium UIN SGD Bandung yang telah ditata dengan lampu temaram, sejenak hening terkesima di Rabu malam.

Suasana hening hampir pecah saat suara pukulan besi kembali “teng…teng… teng..” seorang pria keluar dari kanan panggung dengan memegang besi sambil sedikit bergoyang. Rombongan yang berperan sebagai tumbuhan pun mulai masuk ke area panggung dengan wajah yang sumringah, memperlihatkan tumbuhan masih subur nan hijau. Begitupun dengan rombongan perempuan yang berperan sebagai air, melenggak-lenggok diatas pentas yang juga diikuti oleh rombongan yang berperan sebagai akar. Serta rombongan burung yang berkicau merdu dengan gaya yang selalu selaras.

Wajah-wajah yang bahagia dari semua peran, menipis bahkan habis. Dua besi yang didorong dari kedua arah panggung dengan kasar menggambarkan ketamakan manusia merusak tanah. Rombongan tanaman kembali ke atas pentas tanpa senyum dengan membawa tanaman yang tak lagi berdaun, begitupun dengan rombongan yang berperan sebagai air “kering…. tanahnya kering,” kata salah satu pemain. “emak.. emak.. tak ada air,” kata anak kecil berlari menghampiri ibunya yang merasa kekeringan.

Pria berjubah pun kembali masuk ia mulai mengerti dengan keadaan. “aku tak lagi bisa menulis, aku tak lagi punya inspirasi. Tak ada lagi burung-burung, aku kehilangan imagi,” katanya bersedih sambil menaiki besi yang sudah merusak tanah. Tak lama besipun di balikan lalu menampakan wajah garang dengan beberapa tangan dan kaki yag menjulur keluar.

Penonton masih tetap terkesima, dan hening. Lalu seorang anak kecil berlari sambil berkata dengan suara yang lirih, berdoa agar manusia tak lagi tamak dan serakah sambil duduk menghadap kepada penonton yang disoroti lampu kuning yang terkesan sangat artistik. Penonton bertepuk tangan dengan meriahnya sambil berteriak memberikan apresiasi.

Menurut Sutradara, Yayan Ktho Musiarso ada pesan yang ingin disampaikan dalam pertunjukan ini lewat pemeran utama yang berjubah merah yang sudah mulai kehilangan imagi akhir dengan unsur dari luar ia sebut dengan sick. “unsur dari segala macam kesakitan tanah, air bahkan persoalan limbah yang tak kunjung usai,” ujar pria berambut berambut gondrong tersebut diakhir pertunjukan. [Desti Nopianti, Isthiqonita/Suaka]

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter