Efisiensi Pilkada Serentak

Sempat menguatnya keinginan Pilkada kembali ke DPRD dari Pilkada langsung,  terutama terkait dengan efisiensi anggaran, baik anggaran resmi yang disediakan Pemerintah maupun cost politik yang dikeluarkan para calon. Pilkada oleh DPRD lebih efisien puluhan kali lipat ketimbang Pilkada langsung, sehingga salah satu rekomendasi bersyarat untuk kembali ke Pilkada langsung harus lebih memiliki visi efisiensi. Pilkada langsung jangan sampai menjadi ajang pestapora anggaran di antara kemiskinan yang masih diderita oleh sebagian besarrakyat.

Salah satu upaya untuk menunjukkan visi efisiensi dalam penyelenggaraan Pilkada, di antaranya munculnya gagasan Pilkada Serentak. UU No. 1/2015 tentang Pilkada menyebutnya pemungutan suara serentak : jadwal pemilihan suara dilaksanakan secara bersamaan dalam satu hari. Model Pilkadasepertiitusempat diamanahkan jugadalam UU No. 12/2008 revisi UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, tetapidenganistilah Pilkada Gabungan yang pernah diimplementasikan di berbagai daerah, termasuk padaPilgubJabar2013 yang digabungandengan pemilihan Walikota Cirebon, Walikota Sukabumi, dan Bupati Sumedang.

Pilkada Serentak berangkat dari harapan, di antaranya, untuk menekan biaya penyelenggaraan yang selama ini dipandang sangat tidak masuk akal. Biaya Pilkada yang sangat mahal ini pula dipandang sebagai bentuk titik awal kepala daerah melakukan berbagai tindakan korupsi.Ia berusaha mengembalikan cost politik yang telah dikeluarkannya.Pilkada Serempak diharapkan mendorong penghematan dan penyederhanaan sistem penyelenggaraan Pilkada. ApalagiPilkada yang dilaksanakan dengan alokasi waktu berbeda-beda dipandang sebagai sumber konflik horizontal di masyarakat.

Sebagai contoh, hasil kajian Absoridkk. (2012) menyimpulkan, penyelenggaraan Pilkada Serentak di Kalimantan Selatan efektif dapat menghemat biaya peyelenggaraan. Kendati teknisnya, setiap daerah yang akan menggelar Pilkada tetap menyusun anggaran, tetapimenjelang penyelenggaraan, pemerintah provinsi mengumpulkan semua daerah untuk membahas anggaran bersama; memastikan siapa membiayai apa. Oleh karena itu, sangat memungkinkan ada beberapa point yang tidak perlu dibiayai kabupaten/kota karena sudahdibayarkan oleh provinsi. 

Penyelenggaraan Pilkada Serentak bisa dilakukan sharing antara pemerintah provinsi dengan kab/kota dengan komposisi variatif bergantung kesepakatan. Selama ini, anggaran terbesar Pilkadaadalah untuk honorarium petugas; bisa mencapai 60-70%. Dengan PilkadaSerentak, biaya tersebut  bisa diefisienkan karena petugas cukup menerima honor satu kali untuk pekerjaan dua Pilkada.

Dalam penelitiannya, Afrosin Arif  (2012)jugamenemukan bahwa keuntungan Pilkada Serentak adalah Efisiensi Anggaran. PenyelenggaraanPilkada Serentak bisa menghemat biaya karena biaya semestinya dikeluarkan dua kali (untuk membiayai Pilbub/Pilwalkot danuntukPilgub), cukupsekalidenganditanggungbersamapadaAPBD ProvinsidanAPBD Kabupaten/Kota. Sebagaibahanpembanding, banyakjuga model pembagian anggaran Pilkada Gabunganyang dapatdijadikanrujukanbariPilkadaSerentak.

Hal lain yang harus dipertimbangan dalam visi efisiensi anggaran sebagai target Pilkada Serentak. Dalam konteks Pilkada Serentak antara Pilbup, Pilwalkot, danPilgub, secara langsung terjadi efisiensi, terutama dalam pembiayaan petugas. Mereka cukup mendapatkan honorarium satu, baik dari APBD Provinsi maupun dari APBD Kabupaten/Kota.Padahal mereka bisa menangani dua penyelenggaraan Pilkada, yakni sebagai petugas Pilkada Bupati/Walikota dan Pilkada Gubernur.

Namun, jika Pilkada Serentak hanyaantara Pilkada Bupati dan Walikota, kendati Pilkadanyabanyak, seperti di Jawa Barat tahun 2015 akandiselenggaranoleh 8 Kabupaten/Kota, cenderungtidak menyuratkan banyak efisiensianggaran. Masing-masing petugas hanya akan menyelenggarakan satu Pilkada dan mereka akan mendapatkan satu honorarium dari APBD Kabupaten/Kota. Kendati pun ada peluang efisiensi dalam penghonoran petugas supervisi yang dilakukan oleh KPU (Pusat), KPU Provinsi, Bawaslu (Pusat), dan Bawaslu Provinsidengandidapatdari APBN atau APBD Provinsi.

Kemungkinan makin sulitnya mewujudkan visi efisiensi anggaran dalam Pilkada Serentak antara beberapa Pilkada Bupati dan/atau Pilkada Walikota, sesuai isi UU No. 1/2015, dalam hal penarikan masa jabatan Bupati/Walikota yang masih menyisakan beberapa bulan atau beberapa tahun masa jabatannya. Dalam ketentuan UU No. 1/2015, mereka akan diberhentikan di tengah jalan, dengan mendapatkan konpensasi pembayaran “gaji” sampai akhir masa jabatan plus dana pensiun. Sementara itu, jabatannya ditempati oleh Pjs. atau pelaksana tugas yang notabene juga harus mendapatkan tunjangan. 

Dalam konteks tersebut, Pemerintahharus mengeluarkan biaya tambahan, yakni konpensasi bagi Bupati/Walikota yang diberhentikan sebelum waktunya plus dana pensiun, termasuk juga tunjangan untuk Plt/Pjs-nya. Dalam satu sisi hal itu adalah pemborosan karena tidak terjadi pada Pilkada-Pilkada sebelumnya. Hal ini pula yang harus menjadi pertimbangan dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak yang melibatkan Pilkada Bupati dan Walikota saja, betulkah sudah terjadi efisiensi atau malah sebaliknya. 

Apalagi jika Pilkada Serentak pun diasumsikan akan menjadi salah satu jalan keluar dari setumpuk problem Pilkada langsung yang terjadisejak 2005 lalu, dipastikan akan sangat sulit. Pilkada langsung selamaini, di antaranya, dicapterlalu banyak menghamburkan dana rakyat, rentan konflik horisontal, dan rendahnya tingkat partisipasi.Untuk meningkatkan partisipasi politik dan meminimalisasi konflik horizontal pun masih belum ada jaminan karena sejumah Pilkada Gabungan yang pernah dilakukan pun di beberapa daerah masih menimbulkan konflik dan tingkat partisi pasipolitik yang rendah. Bahkan, Pilkada langsung pun dituntut harus signifikan dengan terpilihnya Kepala Daerah yang dapat membawa rakyat pada perbaikan kesejahteraan.Itu mungkin masih akan menjadi mimpi.

Kendatiada cita-cita besar dari para penggagas Pilkada Serentak bahwa sejatinya Pilkada Serentak dilakukan bagi seluruh Pilgub, dan Pilbub/Pilwalkot di seluruh Indonesia yang diharapkan terjadi tahun 2020-2022 mendatang.Penyelenggara Pemilu di Indonesia kedepan diharapkan cukup tiga kali, Pilkada, Pemilu Legislatif, dan Pemilu Presiden, sehingga Parpol tidak disibukan Pemilu setiap tahun seperti tahun-tahun kemarin. Untuk menyerentakkan penyelenggaraan Pilkada tersebut perludilakukan bertahap, sehingga jikalau pun Pilkada Serentak tahun ini tidak memberikan hasil yang positif, dapat dianggap sebagai investasi bagi cita-cita besar tersebut.Namun, adakah jaminan cita-cita besar tersebut akan terwujud karena bukan merupakan rahasialagi, kebijakan politik nasional masih sangat dinamis. Dalam tahun-tahun terakhir ini, Indonesia terbiasa mengubah Undang-Undang Politik setiap lima tahun sekali menjelang penyelenggaraan Pemilu. []

 

Mahi M. Hikmat, Doktor Komunikasi Politik Unpad, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Dewan Pakar ICMI Jawa Barat.

Sumber, Pikiran Rakyat 17 Maret 2015.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *