Dr. Isep, “Nonton TV Ibarat Mengonsumsi Narkoba”

Bisa Pengaruhi Perilaku

[www.uinsgd.ac.id] Media televisi (TV) merupakan salah satu media yang sangat diminati masyarakat. Tak heran bila perkembangan dan persaingannya begitu ketat sehingga setiap stasiun berupaya mengejar rating tanpa menghiraukan dampak negatifnya. TV merupakan kekuatan audiovisual yang langsung memengaruhi perilaku untuk meniru apa yang ditayangkan.

Menurut pakar komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Dr. H. Isep Zaenal Arifin, M.Ag., bahaya audiovisual sa­ngat langsung memengaruhi perilaku. Apa pun yang disodorkan dapat langsung dicerna pemirsa. Secara khusus, kaum remaja akan langsung meniru­nya, karena pada usia tersebut merupakan usia pancaroba.

“Apa yang mereka lihat sering dipraktikkan dan dicoba,” kata Isep yang juga praktisi komunikasi ini, saat ditemui “GM” di kampus UIN SGD Bandung, Jln. A.H. Nasution Bandung, Selasa (26/8).

Menurut Isep, apa pun yang tersaji di TV harus dicermati secara bersama-sama karena meskipun hanya beberapa detik saja melihat secara visual langsung dapat dicerna.

Oleh karena itu, teguran terhadap tayangan TV yang dianggap menyimpang jangan hanya dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), tapi juga harus diperkuat dan didukung lembaga lainnya seperti MUI, kepolisian, Komnas HAM dan Anak.

“Jika hanya KPI saja tentunya tidak akan kuat. KPI ibarat macan ompong saja,” tandas Isep.

Isep juga mencontohkan tayangan yang mengatasnamakan agama, tetapi justru mengganggu kegiatan ibadah tertentu. Contohnya, saat magrib atau lainnya tentunya harus ada kontrol sosial secara perorangan ataupun secara komunitas.

Contoh kontrol secara perorangan, orangtua harus mampu menyeleksi tayangan bagi anak-anaknya. Jangan sampai menyuruh anaknya belajar, tapi orangtuanya justru menonton TV.

Para ustaz, ketua RT dan RW juga bisa memanfaatkan pengaruhnya dalam melakukan kontrol, namun tetap mengedepankan etika. “Betapa indahnya bila ada RT atau RW saat magrib dan isya menginstruksikan warganya yang beragama Islam tidak menonton TV, namun justru pergi ke langgar atau masjid,” kata Isep.

Ketergantungan

Dampak berat dari menonton TV, kata Isep, ibarat mengonsumsi narkoba yang menimbulkan kecanduan. Akibatnya, bila terlalu lama menghabiskan waktu di depan TV, tidak mustahil mengalami addictive behavior (kecanduan).

Di sisi lain, lanjut Isep, menjamurnya TV swasta juga memicu persaingan yang tidak sehat untuk mengejar rating dan mengeruk keuntungan materi hingga menghalalkan segara cara.

Sangat ironis bila pimpinan media hanya fokus pada rating dan tidak peduli pada bangsa, serta mengejar iklan tetapi tidak menghiraukan generasi muda ke depan.

Ditegaskan Isep, pada bulan Ramadan hampir seluruh media TV mengisi kegiatan Ramadan. Namun, yang lebih dikedepankan ternyata sajian yang bersifat hura-hura dan jauh dari makna Ramadan.

Oleh karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentu harus berada di garda terdepan bila ada tayangan yang tidak relevan. Contohnya bila ada tayangan dengan judul bertalian dengan Ramadan, namun muatannya kurang sejalan dengan nilai Islam.

“Bukannya tidak bagus dalam penyajian tayangan Ramadan, namun banyak yang bertentangan, terutama bila menampilkan para selebritis yang menuai pro-kontra di masyarakat,” ­kata Isep.

Isep menilai kurang tepat bila menampilkan artis mengisi bulan ­Ramadan yang perilakunya keluar dari substansi Ramadan, contohnya menampilkan adegan peluk-pelukan. [B.46]

Sumber, Galamedia 27 Agustus 2014

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter