Dunia akademik hari ini bukanlah dunia yang hanya bertumpu pada ekplorasi pemikiran, penyebaran dan transfer ilmu pengetahuan semata. Pun, dunia akademik kontemporer seperti yang kita alami sekarang bukanlah dunia yang hanya berkutat pada hasrat pencarian dan menemukan kedalaman pemahaman terhadap dunia dan kehidupan semata.

Hari ini, dunia akademik juga “disibukkan” oleh tuntutan dan keniscayaan untuk “berpikir” dan menyebarkan ilmu pengetahuan yang rekam jejaknya harus terbaca dan diketahui tidak hanya melalui kertas kerja dan laporan administrasi tapi juga terrekam dalam dunia digital. Adakah tuntutan ini selaras dengan petuah dan tuturan bijak yang menegaskan bahwa “seperti halnya berburu binatang, berpikir dan menyebarkan ilmu juga harus “diikat”? Diikat oleh bukti otentik dan kertas kerja.

Maaf-maaf. Kelayakan Anda sebagai Dosen tidak hanya ditakar dengan kemampuan Anda dalam menganalisa masalahdan keterampilan menyampaikan pikiran dalam proses belajar mengajar di kelas, tapi juga mesti diikuti oleh keharusan Anda untuk menyusun RPS, membuat soal dan kemampuan Anda untuk merevieu kurikulum secara berkala. Tidak hanya ini, ada tuntutan lain yang mesti dipenuhi juga yaitu terdapatnya Laporan Kinerja yang harus Anda buat juga secara rutin.

Inilah zaman “paperwork”. Sebuah masa ketika kinerja, pengabdian bahkan kerja intelektual harus tunduk untuk “dihisab” di hadapan hakim “kertas kerja”. Kenaikan pangkat dan golongan bahkan jika Anda ingin merubah nasib akademik ke dalam strata Guru Besar, mau tidak mau, suka atau tidak, kriteria perubahan status itu sebagian besarnya ditentukan oleh “kertas-kertas” yang Anda ajukan. Hidup dan mati karir akademik seolah ditentukan oleh seberapa Anda produktif menulis di jurnal terindeks Scopus. Seberapa getol Anda menyusun laporan kinerja.

Tapi seperti yang kita lihat, paradigma “paperwork” telah menggeser hasrat insan akademik hari ini. Kesadaran civitas akademika seumpama dibetot dan tenggelam oleh pusaran keharusan pemenuhan bukti otentik dan data-data administratif semata. Inilah yang saya sebut sebagai disrupsi akademik. Sebuah fase inovasi yang menegaskan tentang hadirnya cara-cara baru yang menggeser cara-cara lama. Apakah ini tantangan?

Paradigma “paperwork” tak seharusnya membuat kita tenggelam dihisap oleh gelombang rutinitas “kerja-dengan-kertas” semata, tapi kehadirannya harus menjadi semacam alat ukur dan bukti otentik bahwa kita memang bekerja dan berkhidmat. Harapannya “paperwork” tidak membuat insan akademik alfa tentang tugas kita lainnya yang harus juga diemban yaitu “their real work”.Allahu a’lam[]

Bandung, 24 Oktober 2019

Dr. Radea Yuli A. Hambali, M.Hum, Wakil Dekan I Bidang Akademik Fakultas Ushuluddin UIN SGD Bandung.

WhatsApp
Facebook
Telegram
Print
Twitter

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *